“HMI lebih dikenal sebagai organisasi mahasiswa yang telaten mewarnai kajian keilmuan, terutama pedoman pengkaderan dalam bentuk Nilai Identitas Kader (NIK) mulai dipergunakan,” tambah dia.
Menurutnya, beberapa perguruan tinggi bukan agama Islam yang banyak melahirkan banyak profesional, etos intelektualisme tetap tidak kehilangan pamor.
“Mereka banyak yang menjadi aktor di pemerintahan dengan modal intelektual itu. Semacam intelektual embrional (benih-benih intelektual) yang bisa mewarnai sekelilingnya,” ucap dia.
Fachri Ali mengingat masa pengembangan intelektual itu interaksi kader HMI di tanah banyak melahirkan forum kajian hingga lembaga penelitian dan lainnya.
“Etos intelektualisme menjadi modalitas HMI dalam menghadapi dinamika pembangunan. Sepertinya HMI akan tetap dikenang dan dipercaya sebagai wadah melahirkan banyak aktor pembangunan,” pungkasnya.
Di tempat yang sama Veri Muhlis Ariefuzzaman memiliki peralihan generasi mutakhir yang diwarnai oleh prilaku beda dengan para pendahulu HMI.
“Anak sekarang ini tidak seperti kita yang begitu bangga kalau tulisan dimuat di koran. Mereka sudah mempunya dunia sendiri,” jelasnya.
Dia menyarankan pengkaderan harus mengubah pola komunikasi disesuaikan dengan perkembangan media sosial agar transformasi nilai pengkaderan bisa tersampaikan dengan baik dan benar.
“Harus dipikirkan ulang. Karena acara seminari kaya beginian sudah tidak menarik lagi bagi generasi milenial,” tukasnya.
Gid zaman now, kata Veri, lebih tertarik dengan pola pengkaderan yang ramah gadget, materinya berisi hal praktis engga jelimet banyak pemikiran dan pandangan.
“Ini harus dilakukan jika tidak ingin HMI ditinggalkan anak muda. Dulu generasi kami memang bisa demonstrasi, tapi bagi anak kini sudah bukan lagi zamannya,” pungkas dia. [Red]
0 comments:
Post a Comment