Oleh: Regina Caeli Santoso
Menuju akhir periode dari dekade pemerintahan Indonesia saat ini, isu politik uang masih menghantui dinamika demokrasi negara ini. Fenomena ini menjadi suatu manifestasi akan kredibilitas suara rakyat yang dipertanyakan, yang tercermin pada kebijakan publik yang dihasilkan.
Pasal 515 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu akan dipidana penjara dan menerimakan denda. Meskipun telah tertera dengan jelas dalam hukum, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) mencatat setidaknya 25 kasus politik uang di 25 kabupaten/kota yang tertangkap tangan menjelang pemilu yang dilaksanakan pada 2019 silam. Angka kasus dari tahun-tahun sebelumnya pun tak jauh berbeda bahkan meningkat secara eksponensial menyentuh angka 313 kasus, seperti yang terpantau oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam kurun waktu 5 tahun sebelumnya.
Praktik politik uang yang masih marak terjadi akan mengalutkan masyarakat jika tidak teratasi secara tuntas dan mengundang keraguan dari berbagai pihak terhadap kualitas representasi yang adil dan akuntabel terhadap sistem demokratis di 2024 mendatang. Akar dari praktik politik uang yang belum terkupas habis membuat berbagai upaya preventif yang telah dilakukan belum kunjung membuahkan hasil yang signifikan.
Patronase didefinisikan sebagai ‘sebuah pembagian keuntungan di antara politisi untuk mendistribusikan sesuatu secara individual kepada pemilih, para pekerja atau penggiat kampanye, dalam rangka mendapatkan dukungan politik dari mereka’ (Shefter 1994: 283), sedangkan klientelisme dapat disimpulkan menjadi pemberian barang atau jasa merupakan respons langsung terhadap pemberian keuntungan dari pihak lain, menekankan pada hierarki kekuasaan yang tidak seimbang antara patron dan klien, serta repetisi dalam pertukaran klientelistik (Hicken, 2011).
Kedua fenomena di atas membentuk suatu hubungan timbal balik yang menjadi dasar kuat dari imunitas praktik politik uang terhadap hukum. Survei yang dirilis oleh Departemen Politik dan Pemerintahan (DPP) Fisipol UGM mengenai hasil penelitian soal peta potensi politik uang dalam Pemilu 2019 mengemukakan bahwa ekonomi tidak menjadi satu-satunya aspek yang mendasari praktik politik tersebut. Sikap publik yang cenderung acuh tak acuh dengan praktik politik uang juga semakin menegaskan sulitnya pemberantasan praktik korupsi yang telah tertanam dalam masyarakat.
Apakah faktor budaya dan tradisi politik memainkan peran dalam mempertahankan politik uang? Bagaimana sistem hukum dan penegakan hukum mempengaruhi efektivitas pemberantasan politik uang? Hal-hal krusial inilah yang perlu dikuasai baik bagi para politisi maupun masyarakat untuk menebas habis fenomena ini.
Burhanuddin Muhtadi mengemukakan dalam bukunya “Kuasa Uang” bahwa status sosial ekonomi dan tingkat pendidikan seseorang tidak menjadi batasan dalam mendorong seseorang untuk terlibat dalam aksi politik uang. Mada Sukmajati, peneliti sekaligus dosen DPP Fisipol UGM mengungkapkan bahwa salah satu motif utama dari pihak patron adalah calon legislatif (caleg) yang tidak mampu mengembangkan program tetapi berkeinginan untuk menang dengan dukungan minim dari partai politik yang mengusung mereka berhenti pada proses pencalonan saja.
Para pelaku politik uang masih merasa ‘aman’ di bawah regulasi hukum yang kerap kali tidak menghukum mereka sebagaimana mestinya. Mahkamah dalam putusannya menilai bahwa untuk menumpas politik uang dalam ranah legislatif, harus dimulai dengan penegakan hukum secara tegas, menghasilkan efek jera seperti pembubaran partai politik yang bersangkutan.
Sebuah penelitian yang telah dilakukan oleh Kompas menunjukkan bukti pendukung faktor berikutnya, dimana 40% dari responden pernah mengetahui ataupun mengalami sendiri politik uang yang tidak dilaporkan ke pihak berwenang. Mereka berasumsi bahwa suara mereka atas temuan kecurangan itu akan membawa mereka dalam kesulitan politik. Sebagian besar pun turut mengabaikan dengan argumentasi bahwa hal tersebut bukan merupakan bagian dari tanggung jawabnya.
Faktor budaya masyarakat yang telah melekat sejak lama tak luput juga menjadi pilar utama penyebab praktik politik uang tumbuh subur di Indonesia. Misalnya kebiasaan yang sudah mendarah daging di masyarakat Indonesia, yakni tidak pantas jika menolak pemberian dan jika tidak membalas pemberian tersebut akan dipandang sebagai “kurang sopan”. Masih banyak bagian dari masyarakat yang memandang tindakan tersebut sebagai suatu bentuk kerendahan hati dan manifestasi nilai-nilai keagamaan, sehingga mendorong mereka untuk mendukung aksi tidak terpuji di atas. Instrumen kultural ini pun pada akhirnya dimanfaatkan oleh oknum politisi untuk menjalankan politik uang.
Lantas bagaimana cara kita menanggulangi isu politik ini?
Literasi politik masyarakat tentunya perlu mendapat perhatian lebih untuk mengeliminasi praktik politik uang di masa mendatang. Pendidikan politik baiknya disertakan dalam setiap lapisan masyarakat seperti pemerintah, politisi, lembaga pendidikan, mau pun tim penyelenggara pemilu sebagai garda terdepan.
Intervensi sederhana pun dapat ditumbuhkan dengan menggenjot edukasi berupa sosialisasi dengan memanfaatkan era digital, misalnya berupa video pendek yang menjelaskan dampak berkepanjangan yang dihasilkan praktik politik uang menjelang hari pemilu, yang dinilai lebih sesuai bagi generasi muda. Tanpa adanya sinergi figur politik dan publik yang tergerak untuk peduli melawan segala bentuk politik uang, sangat tidak mungkin tindak kecurangan yang mengaburkan visi masyarakat dapat teratasi.
Secara mendasar, upaya untuk mengatasi persoalan politik uang merupakan langkah penting yang memerlukan berbagai strategi yang holistik dan inovatif. Melalui sinergi antara regulasi hukum yang kuat, kesadaran masyarakat yang meningkat, serta komitmen dari para pemangku kepentingan, harapan untuk mewujudkan proses demokrasi yang lebih bermartabat dan representatif dapat menjadi kenyataan. Dengan memanfaatkan potensi ini sebagai pendorong perubahan, kita dapat merintis jalan menuju pesta demokrasi yang lebih transparan dan adil pada tahun 2024.
0 comments:
Post a Comment