Sejenak menelisik realitas demokrasi di
Indonesia beberapa waktu akhir-akhir ini, demokrasi kita kian diramaikan
oleh adegan politik di atas penderitaan rakyat. Politik yang pada
galibnya akrab dengan kehidupan rakyat dan yang substansinya jelas
menjamin kesejahteraan rakyat, berevolusi menjadi sarana yang menjamin
kesejahteraan kaum elite semata. Politik digiring ke dalam penjara
kepentingan para elite, sementara rakyat makin terlempar jauh menuju
jurang ketidakadilan dan kemiskinan struktural.
Tidak
berlebihan kalau dikatakan bahwa politik dan demokrasi di Indonesia
sedang dikendalikan oleh segelintir kaum elite dan oligarki. Politik dan
demokrasi diinstrumentalisasi oleh kaum elite dan oligarki dalam rangka
melayani kepentingan parsial mereka. Alih-alih berkoar-koar
mengumandangkan kedaulatan berada di tangan seluruh rakyat, namun dalam
kenyataannya justru hanya menjadi konsumsi segelintir elite dan
oligarki.
Konsep Tentang Demokrasi dan nilai-nilai Demokrasi
Menilik
bentuk pemerintahan demokrasi sebagai sebuah bentuk pemerintahan yang
di tandai oleh situasi terpenuhinya kepentingan rakyat dan kebebasan
dijamin secara penuh pelaksanaannya oleh pemerintah, kemerdekaan dan
kebebasan individu menjadi prinsip yang fundamental dalam demokrasi.
Namun,
bentuk pemerintahan demokrasi mengalami kemerosotan karena masyarakat
salah menafsirkan kemerdekaan dan kebebasan sebagai sebuah modalitas
untuk bertindak sesuka hati sehingga timbullah kerusuhan yang disebabkan
oleh hadirnya kekerasan, kekacauan, dan ketidaksopanan dalam hidup
bermasyarakat. Aristoteles melihat demokrasi sebagai sebuah penyimpangan
dari bentuk Pemerintahan Politeia. Istilah demokrasi berasal dari dua
kata bahasa yunani yaitu demos yang berarti rakyat dan kratos yang
berarti kekuasaan. Kata rakyat yang dimaksudkan oleh Aristoteles adalah
orang banyak yang miskin. Bentuk demokrasi dikatakan menyimpang karena
kekuasaan tertinggi berada di tangan orang banyak yang terdiri atas
rakyat miskin dan digunakan untuk kepentingan rakyat miskin.
Demokrasi
mempunyai arti yang sangat penting bagi masyarakat yang menggunakannya
sebab demokrasi memungkinkan adanya perwujudan hak masyarakat untuk
menentukan sendiri jalannya pemerintahan dalam sebuah negara. Itulah
sebabnya, dapat dimengerti bahwa semua konsep pemikiran tentang
demokrasi selalu memberikan aksentuasi pada posisi penting bagi rakyat
kendati secara operasional implikasinya di berbagai negara tidak selalu
sama. Abraham Lincoln, misalnya, mendefinisikan demokrasi sebagai the goverment of the people, and for the people (Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat).
Pertanyaan yang perlu diajukan adalah apa makna demokrasi sebagai pemerintahan rakyat?
David Held, mengemukakan tujuh makna demokrasisebagai pemerintahan rakyat.
- 1.
Bahwa semua orang harus memerintah, dalam arti bahwa semua orang mesti
dilibatkan dalam urusan legislatif, dalam memutuskan kebijakan umum,
dan dalam hal administrasi Pemerintahan.
- 2. Bahwa semua orang harus secara pribadi terlibat dalam proses pengambilan keputusan yang penting.
- 3.
Bahwa para penguasa harus bertanggung jawab kepada orang-orang yang
diperintahnya dengan kata lain, mereka berkewajiban untuk mengabsahkan
berbagai tindakannya kepada rakyat, dan dapat diturunkan dari
kedudukannya oleh orang-orang yang diperintahnya.
- 4. Bahwa para penguasa harus bertanggung jawab kepada para wakil dari orang-orang yang di perintahnya.
- 5. Bahwa para penguasa harus dipilih oleh orang-orang yang diperintahnya.
- 6. Bahwa para penguasa harus dipilih oleh para wakil dari orang-orang yang diperintahnya.
- 7. Bahwa para penguasa harus bertindak seturut kepentingan dari orang-orang yang diperintahnya.
Demokrasi
sebagai dasar hidup bernegara memberi pengertian bahwa pada tingkat
terakhir rakyat memberikan ketentuan dan masukan-masukan konstruktif
terhadap masalah-masalah pokok yang mewarnai kehidupannya, termasuk
dalam menilai kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh negara sebab
kebijakan-kebijakan tersebut sangat menentukan kehidupan rakyat.
Segala
urusan menyangkut kehidupan rakyat mesti selalu ditentukan oleh rakyat
sendiri. Negara demokrasi adalah negara yang diselenggarakan berdasarkan
kehendak rakyat, atau, jika ditinjau dari perspektif organisasi, negara
demokrasi adalah suatu pengorganisasian negara yang dilakukan oleh
rakyat atau atas persetujuan rakyat karena kedaulatan sepenuhnya berada
di tangan rakyat.
Pemikiran
tentang demokrasi di atas menonjolkan asas-asas demokrasi sebagai
sebuah sistem politik. Di samping sebagai sistem politik, demokrasi juga
dijadikan sebagai pedoman hidup sehingga mengandung unsur-unsur moral
atau nilai-nilai yang dihayati bersama. Henry B. Mayo, mencoba untuk
merincikan nilai-nilai demokrasi sebagai sebuah pedoman hidup, dengan
catatan bahwa perincian yang dibuatnya tidak berarti bahwa setiap
masyarakat demokratis menganut semua nilai yang dirincikan tersebut,
tetapi tergantung pada perkembangan sejarah dan budaya politik
masing-masing negara. Di bawah ini dijelaskan beberapa nilai yang
dirumuskan oleh Henry B. Mayo.
- 1.
Menyelesaikan perselisihan dengan damai dan secara melembaga. Dalam
setiap masyarakat selalu terdapat perselisihan pendapat dan kepentingan,
yang dalam konteks demokrasi dianggap wajar kehadirannya.
Perselisihan-perselisihan ini harus diselesaikan melalui perundingan dan
dialog terbuka sebagai metode untuk mencapai konsensus bersama.
- 2.
Menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat
yang sedang berubah. Dalam setiap masyarakat yang memodernisasikan diri
terjadi perubahan sosial, yang disebabkan oleh faktor-faktor seperti
misalnya kemajuan teknologi, perubahan-perubahan dalam pola kepadatan
penduduk, dalam pola-pola perdagangan, dan sebagainya. Pemerintah harus
dapat menyesuaikan kebijakannya dengan perubahan-perubahan tersebut dan
sedapat mungkin membinanya jangan sampai tidak terkendalikan lagi. Sebab
jika interjadi ada kemungkinan sistem demokratis tidak dapat berjalan,
sehingga timbul sistem diktator.
- 3.
Penyelenggarakan pergantian pimpinan secara teratur. Pergantian atas
dasar keturunan, atau dengan jalan mengangkat diri sendiri dianggap
tidak wajar dalam sistem demokrasi. Pemimpin yang sah dalam sebuah
negara demokrasi adalah pemimpin yang dipilih melalui pemilihan umum
yang bebas, jujur, adil, dan transparan.
- 4.
Membatasi pemakaian kekerasan sampai seminimum mungkin.
Golongan-golongan minoritas yang sedikit banyak mengalami paksaan akan
lebih menerimanya kalau diberi kesempatan untuk turut serta dalam
diskusi-diskusi yang terbuka dan kreatif; mereka akan lebih terdorong
untuk memberikan dukungan sekalipun bersyarat, karena merasa turut
bertanggung jawab.
- 5.
Mengakui dan menganggap wajar adanya keanekaragaman dalam masyarakat
yang tercermin dalam keanekaragaman pendapat, kepentingan dan tingkah
laku. Untuk hal ini, perlu terselenggaranya suatu masyarakat terbuka dan
kebebasan-kebebasan politik yang memungkinkan timbulnya fleksibilitas
dan tersedianya alternatif dalam jumlah yang cukup banyak.
- 6.
Menjamin tegaknya keadilan. Dalam suatu demokrasi umumnya pelanggaran
terhadap keadilan tidak akan terlalu sering terjadi karena
golongan-golongan terbesar diwakili dalam lembaga-lembaga perwakilan,
tetapi tidak dapat dihindarkan bahwa beberapa golongan akan merasa
diperlakukan tidak adil. Maka, yang dapat dicapai secara maksimal adalah
suatu keadilan yang relatif. Keadilan yang dapat dicapai barangkali
lebih bersifat keadilan dalam jangka panjang.
Dalam rangka mewujudkan nilai-nilai demokrasi di atas perlu diselenggarakan beberapa lembaga yaitu:Pertama, pemerintahan yang bertanggung jawab. Kedua,
suatu dewan perwakilan rakyat yang mewakili golongan-golongan dan
kepentingan-kepentingan dalam masyarakat dan yang dipilih dengan
pemilihan umum yang jujur, bebas, dan rahasia.Ketiga, suatu
organisasi politik yang mencakup satu atau lebih partai politik.
Partai-partai menyelenggarakan hubungan yang harmonis antara masyarakat
dan pemimpin.Keempat, pers yang bebas sebagai sarana bagi masyarakat untuk menyuarakan pendapat secara bebas dan bertanggung jawab.Kelima, sistem peradilan yang bebas untuk menjamin hak-hak asasi dan mempertahankan keadilan.
Konsep Tentang Oligarki
Dua
filsuf Yunani terkenal yaitu Plato dan Aristoteles membangun diskursus
seputar oligarki dalam bingkai filsafat politik, terkhusus dalam
pembicaraan seputar negara dan bentuk pemerintahan. Pada intinya, Plato
dan Aristoteles bertumpu pada keyakinan bahwa oligarki adalah bentuk
pemerintahan yang muncul sebagai sebuah kemerosotan dari bentuk
pemerintahan yang lebih baik. Oligarki, menurut Plato dan
Aristoteles,adalah bentuk pemerintahan negara yang mengabsolutkan peran
kekayaan dan yang berhak memimpin sebuah negara hanyalah orang-orang
kaya yang memiliki kekayaan berlimpah. Plato dan Aristoteles juga
mendasarkan diri pada keyakinan yang sama bahwa oligarki hanya akan
menciptakan jurang yang semakin lebar antara segelintir orang kaya dan
mayoritas orang miskin dalam sebuah negara tertentu. Dalam konteks
oligarki, orang kaya selalu diuntungkan sehingga mereka menjadi semakin
kaya dan orang miskin selalu dirugikan karena mereka tidak mendapat
tempat dalam partisipasi politik dan struktur serta undang-undang yang
dibuat sama sekali tidak berpihak pada nasib mereka sehingga mereka
menjadi semakin miskin.
Para
ahli Kontemporer, Richard Robinson, Vedi R Hadiz, Jefrrey A. Winters
mencoba mengembangkan lebih lanjut dan lebih kompleks terkait konsep
oligarki yang dijelaskan oleh Plato dan Aristoteles dalam bingkai
Filsafat Politik. Winters mewakili kubu Weberian yang memfokuskan
pembahasannya pada peran dan lokus pemaksaan dalam politik yang
berorientasi pada pertahanan kekayaan. Menurutnya,semua oligarki bisa
digolongkan menurut empat ciri utama, yaitu kadar keterlibatan langsung
oligarki dalam pemaksaan yang menyokong hak milik atas harta dan
kekayaan, keterlibatan oligarki dalam kekuasaan atau pemerintahan,sifat
keterlibatan dalam pemaksaan dan kekuasan itu, apakah terpecah
ataukolektif; dan oligarki bersifat liar atau jinak. Sedangkan, Robison
dan Hadiz termasuk dalam kubu neo-Marxisme yang melihat kerja oligarki
sebagai bagian dari perkembangan kapitalisme global yang merambah masuk
ke seluruh bidang kehidupan manusia., pendekatan aktor (elite) yang
digunakan oleh Winters dan pendekatan struktural (politik dan ekonomi)
yang dipakai oleh Robison dan Hadizbisa digabungkan secara harmonis
tanpa memandang pendekatan yang satu lebih baik dan lebih otoritatif
dari pendekatan yang lain dalam usaha untuk mengetahui substansi
oligarki dan melacak kerja para oligarki di Indonesia.Sekalipun memiliki
pendekatan yang berbeda, terdapat titik temu yang paling substansial
dalam pemikiran Winters, Robison, dan Hadiz, terutama dalam perspektif
sistem politik dan ekonomi di Indonesia. Menurut mereka, Indonesia pasca
Soeharto dicirikan dengan adanya perubahan politik sebagai bagian dari
proses desentralisasi dan demokratisasi, tetapi perubahan tersebut tidak
menyingkirkan oligarki yang telah dibangun sejak tumbuhnya rezim
Soeharto. Baik Winters maupun Robison dan Hadiz berpandangan bahwa
struktur formal demokrasi elektoral dapat hidup berdampingan dengan
kekuasan oligarki, terutama bila demokrasinya hanya bersifat prosedural.
Demokrasi Dalam Cengkraman Oligarki
Kita
akan memulai dari praktik oligarki PADA MASA ORDE BARU, presiden
menjadikan dirinya sebagai sentrum kekuasaan dan menunjukkan peran yang
semakin besar dalam segala lini kehidupan bersama. Secara
berangsur-angsur terjadi pemusatan kekuasaan ditangan presiden karena
presiden Soeharto telah menjelma menjadi seorang tokoh nasional yang
paling dominan dalam sistem politik Indonesia, bukan saja karena
jabatannya sebagai presiden, melainkan juga karena pengaruhnya yang
dominan dalam jajaran elite politik Indonesia.
Selama
masa pemerintahan, Soeharto memproposalkan praktik politik
developmentalis. Politik developmentalis berusaha memberikan aksentuasi
pada perbaikan dan peningkatan kehidupan ekonomi rakyat. Dalam rangka
memperbaiki kehidupan ekonomi rakyat, Soeharto melakukan integrasi yang
erat dengan ekonomi(kapitalis liberal) Barat. Pada bulan Juli 1966,
misalnya, ketika Soekarno masih menjabat sebagai presiden Indonesia dan
belum secara resmi digantikan oleh Soeharto, International Moneter Fund (IMF) sudah diundang masuk kembali ke Indonesia.
Pada
tahun 1967, pemerintah Indonesia di bawah pemerintahan Soeharto secara
resmi menyambut baik investasi asing dan perusahaan-perusahaan
transnasional untuk mengeksploitasi kekayaan alam yang berlimpah-limpah
di Indonesia melalui pembuatan beberapa regulasi yaitu UU No.1/1967
tentang penanaman modal asing,UU No.5/1967 tentang Pengelolaan Kehutanan
dan UU No.11/1967 tentang Industri Pertambangan. Penerbitan
Undang-Undang tersebut membuka peluang yang sangat besar bagi perusahaan
asing untuk membeli dan bahkan mengeksploitasi kekayaan alam di
Indonesia. Selain penerbitan Undang- Undang yang menguntungkan
perusahaan-perusahaan asing, pada tahun yang sama, rezim Soeharto
memberikan jaminan berupa libur pajak (tax holiday) selama tiga
tahun kepada perusahaan-perusahaan asing dan keuntungan- keuntungan
ekonomi yang diperoleh bisa dikirim ke luar negeri yaitu ke
negara-negara asal perusahaan-perusahaan asing. Salah satu temuan
penting Marx dalam pandangannya tentang materialis mehistoris yaitu
bahwa perekonomian sangat menentukan perkembangan di bidang politik dan
ideologi. pemahaman Marx tentang perekonomian dengan mengacu pada modal
ekonomi. Temuan Marx, amat relevan untuk konteks Indonesia pada masa
Orde Baru. Struktur- struktur kekuasaan politis dan berbagai regulasi
politik bisa dengan mudah dipengaruhi oleh modal ekonomi. Kekuasaan
negara akan selalu mendukung para penguasa (oligarki) di bidang ekonomi.
Dalam
bahasa Winters, Soeharto adalah salah satu contoh oligarki sultanistik.
Wewenang dan kekerasan hanya dikuasai oleh penguasa utama, sedangkan
para oligarki lainnya menggantungkan pertahanan kekayaan dan hartanya
pada oligarki utama tersebut.Soeharto sebagai oligarki utama mengalahkan
kapasitas oligarki di bawahnya,biasanya dengan mekanisme alat kekerasan
negara atau mencampurkan dengan sarana pemaksaan individu. Para
oligarki bawahan yang tidak bersenjata kemudian mempertahankan kekayaan
dengan menginvestasikan sebagian sumber daya yang dimilikinya kepada
oligarki sultanistik. Dengan itu, oligarki penguasa berkewajiban
melindungi oligarki-oligarki di bawahnya.
Soeharto
sebagai inti dari oligarki Orde Baru telah melahirkan negara predator
dengan berbagai kebijakan yang kontra kesejahteraan rakyat. Oligarki
dimengerti sebagai proses-proses dan perangkat-perangkat yang berkaitan
dengan sejumlah individu kaya raya yang secara unik tidak hanya
diberdayakan oleh sumber-sumber material mereka, tetapi juga karena
kekayaan mereka telah menempatkan mereka dalam pertentangan dengan
banyak lapisan masyarakat (bahkan sering dengan sesama mereka sendiri).
Kemudian
kita akan mencoba melihat PRAKTIK OLIGARKI DI ERA REFORMASI, reformasi
di babat oleh oligarki, berakhirya Orde Baru yang ditandai oleh
lengsernya Soeharto tidak memberikan jaminan bahwa oligarki yang sudah
dibesarkannya juga berakhir.Malahan oligarki menjadi semakin kompleks
yang ditandai oleh fenomena desentralisasi oligarki. Desentralisasi
oligarki adalah sebuah fenomena yang ditandai oleh meluasnya
keterlibatan para oligarki, bukan hanya untuk konteks pemerintah pusat,
melainkan juga sampai pada upaya untuk mempengaruhi kehidupan dan
kebijakan pemerintah daerah. Oligarki pada masa reformasi yang tidak
hanya melibatkan para oligarki warisan Orde Baru, tetapi juga para
oligarki baru hadir dengan agenda kerja utama yaitu membajak semua
elemen fundamental demokrasi di Indonesia seperti pemilu, partai
politik, dan media massa. Pemilu yang mahal, partai politik yang
bersemangat pragmatis karena hanya mengejar profit, dan media massa yang
hanya mencari keuntungan politis-ekonomis menjadi lahan subur bagi
pertumbuhan kerja para oligarki. Belum lagi kebijakan-kebijakan yang di
keluarkan yang sama sekali tidak pro terhadap kepentingan rakyat tapi
hanya semata-mata untuk kepentingan segelintir orang demi untuk
mempertahankan status quo.
Kita
mulai dar iRUU KPK, KPK nampaknya sangat menganggu gerakan dan tatanan
oligarki, maka mempreteli UU KPK menjadi salah satu jalan bagi mereka
untuk bertahan dan berkembang.Dalih ingin memperkuat pemberantasan
korupsi, sejumlah kewenangan utama KPK diamputasi. Salah satunya, dengan
menempatkan KPK sebagai rumpun eksekutif, membuat kewenangan penuntutan
KPK berada diujung tanduk.
Secara
aturan (PP No. 11 Tahun 2017 jo PP No. 35 Tahun 2018), jaksa selaku PNS
hanya dapat diberi tugas khusus dalam melaksanakan tugas jabatan secara
khusus di luar instansi pemerintah. Dengan pemberlakuan revisi UU KPK
(UU No. 19 Tahun 2019),keberadaan jaksa di KPK tidak lagi relevan. Maka
ke depannya, KPK tidak lagi dapat melakukan penuntutan kasus tindak
pidana korupsi.
Kemudian
PEMBENTUKAN UU CIPTA KERJA UU MINERBA, UU Cipta Kerja tersebut
(termasuk UU Minerba) hematnya adalah hanya berorientasi pada kebutuhan
pasar. Secara kasat mata, dapat dibaca bahwasannya “Ruh” UU Cipta Kerja
hendak menyuburkan iklim kemudahan berusaha dengan mengorbankan buruh
dan lingkungan.
Selanjutnya
adalahUU ITE, hematnya adalah bagian dari sandiwara oligarki media
dengan pemerintah untuk mempersempit/membungkam ruang kritik civil society.
Dimana setiap siapapun yang berusaha mengusik hubungan mesra antara
kapital dengan negara akan diperhadapkan dengan pasal keranjang sampah
dengan tuduhan maka rataupun pencemaran nama baik.
Berikutnya
iyalah KUHP yang baru saja di sahkan, digagas para politisi serangkaian
dengan berbagai peraturan bermasalah yang intinya melegalkan
kesewenangan sekaligus memfasilitasi perluasan penghisapan. Beberapa
pasal yang termaktub dalam KUHP yang di nilai karet dan cenderung tidak
berpihak terhadap masyarakat. Tentu hal ini kontradiktif dengan Negara
yang menjadikan hukum sebagai panglima tertinggi, sebab pada dasarnya
hukum sebagai instrumen untuk menciptakan tatanan masyarakat yang lebih
baik dengan memenuhi prinsip-prinsip hukum yaitu kepastian serta
keadilan. Sebagaimana diketahui, tujuan perubahan KUHP yaitu menjamin
hak asasi manusia. Namun, adanya pengambilan keputusan secara sepihak
ini, justru bertolak belakang dengan tujuan yang ada bahkan termasuk
sudah merampas hak asasi manusia. Contoh pasal-pasal yang bermasalah,
pasal terkait penghinaan presiden dan wakil presiden, penghinaan
terhadap pemerintah atau lembaga negara, demonstrasi dan beberapa
pasal-pasal bermasalah lainnya.
Kemudian
PERPUCIPTA KERJA yang sama saja dengan UU CIPTA KERJA dan merupakan
rangkaian upaya dari pemerintah untuk memberikan karpet merah terhadap
pengusaha tambang, yang dimana segelintir dari mereka adalah pengusaha
tambang, ini merupakan mesin oligarki untuk menguasai lingkungan dan
lagi-lagi mengorbankan buruh dan lingkungan.
PUKUL MUNDUR OLIGARKI !!!
Ketersediaan
kontrol terhadap kekuasaan menjadi satu modal penting bagi masyarakat
sipil untuk melawan oligarki yang terus mencengkeram demokrasi di
Indonesia. Salah satu komponen masyarakat sipil yang bisa diandalkan
untuk menyelamatkan demokrasi dari serangan oligarki adalah mahasiswa.
Dalam catatan sejarah, tidak dapat disangkal bahwa mahasiswa berhasil
memberikan pengaruh yang hebat terhadap keberlangsungan demokratisasi di
Indonesia. Selain itu, oleh karena modal pengetahuan, kekritisan,
independensi, dan posisi mahasiswa yang berada di luar kekuasaan, mereka
dipercayai oleh publik dapat melakukan kontrol terhadap kekuasaan,
memberikan kritikan, dan merancang Strategi Taktik (Stratak)
gerakan-gerakan perlawanan terhadap oligarki.
0 comments:
Post a Comment