JAKARTA (KONTAK BANTEN) - Perekonomian Indonesia berpotensi kembali menghadapi kondisi twin deficit seiring dengan menurunnya surplus neraca perdagangan. Twin deficit sendiri merupakan kondisi di mana ekonomi mencatatkan pelebaran defisit neraca transaksi berjalan dan defisit fiskal.
Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, kepada Antara di
Jakarta, Kamis (18/4), mengatakan data terakhir menunjukkan kalau
surplus neraca perdagangan Indonesia terus menyusut, sejalan dengan
berlanjutnya normalisasi harga komoditas dan kondisi ekonomi Tiongkok,
mitra dagang utama Indonesia, yang cenderung terus melemah.
"Hal ini meningkatkan risiko pelebaran defisit pada neraca transaksi berjalan pada tahun ini," jelas Josua.
Data Badan Pusat Statistik (BPS), neraca perdagangan barang
Indonesia kembali mencatatkan surplus pada Februari 2024 sebesar 0,87
miliar dollar AS, yang ditopang oleh neraca nonmigas sebesar 2,63 miliar
dollar AS.
Namun, nilai surplus itu turun 1,13 miliar dollar AS secara
bulanan jika dibandingkan dengan Januari 2024 yang tercatat sebesar 2,02
miliar dollar AS.
Di sisi lain, penerimaan negara cenderung menurun sejalan dengan
normalisasi harga komoditas. Data terkini menunjukkan bahwa Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) masih mencatatkan surplus, namun
jika dibandingkan dengan posisi periode yang sama tahun lalu, surplus
cenderung menurun.
Kondisi tersebut memberi kekhawatiran terkait pembiayaan APBN ke
depan sehingga memberikan sentimen negatif pada pasar obligasi
Indonesia. Tercatat bahwa kepemilikan asing di Surat Berharga Negara
(SBN) terus menurun dari awal tahun.
Posisi per 2 April 2024, kepemilikan investor asing pada SBN menurun sekitar 1,73 miliar dollar AS secara year to date (ytd) meskipun investor asing membukukan net buy sekitar 1,48 miliar dollar AS (ytd) di pasar saham.
Sementara itu, defisit transaksi berjalan tahun 2024 diperkirakan
minus 0,7 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) dibanding pada
2023 yang tercatat minus 0,11 persen terhadap PDB. Sedangkan defisit
fiskal 2024 diperkirakan berkisar minus 2,14 persen terhadap PDB atau
dari tahun 2023 yang tercatat minus 1,65 persen terhadap PDB.
Seharusnya Dihindari
Secara terpisah, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas
Katolik Atmajaya Jakarta, YB. Suhartoko, mengatakan defisit kembar
sebenarnya merupakan fenomena ekonomi yang harus dihindari dalam
perspektif stabilisasi nilai tukar.
Defisit APBN merupakan cerminan penerimaan pajak dan penerimaan
negara bukan pajak tidak cukup membiayai pengeluaran negara sehingga
negara perlu berutang.
"Jika utang dalam negeri tidak menimbulkan kenaikan permintaan
valas di kemudian waktu, namun jika utang dalam valas maka akan
menimbulkan kenaikan permintaan valas di kemudian hari dan tentu saja
depresiasi mata uang domestik," kata Suhartoko.
Berkaitan dengan potensi defisit neraca transaksi berjalan yang
bersumber dari defisit neraca perdagangan, menurut Suhartoko, itu
artinya permintaan valas meningkat untuk membayar impor, sehingga
berpotensi juga memperlemah mata uang domestik.
Sementara itu, pakar ekonomi dari Universitas Surabaya (Ubaya),
Wibisono Hardjopranoto, mengatakan meskipun belum tentu terjadi,
pemerintah tetap perlu mewaspadai potensi twin deficit.
"Perekonomian suatu negara tidak bisa dilepaskan dari pengaruh
perkembangan dunia. Jalan keluarnya memang kita harus punya kemandirian,
baik itu pangan, energi, dan lainnya. Tapi ini tidak bisa dicapai dalam
sekejap," tuturnya.
0 comments:
Post a Comment