Oleh Hari Sahbano Ketua Kajian Publik Anggota ICW
Kajian lembaga kajian politik, demokrasi, dan kenegaraan Nagara Institute, dalam pemilihan kepala daerah terakhir pada 2023, terdapat 124 calon kepala daerah yang terkait dengan dinasti politik. Jumlah ini terus meningkat signifikan di setiap periode pilkada.
Lantas, apa yang salah dengan dinasti politik? Apa dampaknya bagi publik jika politisi beserta keluarga dan kerabatnya menguasai berbagai posisi strategis di pemerintahan?
Sejumlah studi menunjukkan, dinasti politik kerap berkaitan dengan buruknya pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Dinasti politik adalah momok dalam demokrasi. Ia menjadi gejala memburuknya demokrasi dan arah pembangunan. Ketika demokrasi kehilangan arah untuk waktu yang panjang, pembangunan ekonomi dan kesejahteraan rakyat ikut tergerus.
Kemiskinan
Di Indonesia, dampak dinasti politik itu bisa dilihat di level daerah
yang dipimpin dinasti politik. Penelitian Sujarwoto dari Universitas
Brawijaya, Malang, Jawa Timur, bertajuk ”Desentralisasi, Dinasti Politik
dan Kemiskinan di Indonesia” pada tahun 2023 menunjukkan konsekuensi
buruk dinasti politik terhadap pembangunan dan pengentasan warga dari
kemiskinan.
Sujarwoto menganalisis korelasi antara dinasti politik, pembangunan ekonomi, dan kemiskinan dengan menggunakan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik. Hasilnya, kemiskinan di daerah yang dikuasai dinasti politik tertentu lebih tinggi 5 persen dibandingkan dengan daerah yang tidak dikuasai dinasti politik.
Kecenderungan serupa juga terlihat di negara lain yang memiliki praktik dinasti politik kuat, seperti Filipina. Mengutip penelitian oleh Ronald Mendoza, Edsel Beja Jr, Victor Venida, dan David Yap dari Asian Institute of Management, Manila, bertajuk ”Political Dynasty and Poverty: Resolving the Chicken or the Egg Question”, meski dinasti tidak memperparah angka kemiskinan di Filipina, praktik itu melanggengkan kesenjangan dan kemiskinan yang sudah ada.
Kajian Mendoza dan kawan-kawan juga menyoroti bahwa dinasti politik tumbuh lebih subur di daerah dengan pembangunan ekonomi tersendat dan angka kemiskinan tinggi. Semakin tinggi kemiskinan di suatu daerah, semakin subur pula praktik dinasti politiknya.
Menurut Direktur Eksekutif Komite Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Armand Suparman, Kamis (19/06/2024), dinasti politik membuka celah bagi ketimpangan sosial-ekonomi, kemiskinan, dan menghambat pertumbuhan ekonomi berkualitas dalam jangka panjang.
Hal itu karena dinasti politik biasanya memunculkan kelembagaan politik dan ekonomi yang tidak inklusif atau hanya terpusat pada satu entitas atau keluarga tertentu. Penguasaan sumber daya politik dan ekonomi yang tidak merata itu membuat kesenjangan menjadi-jadi.
Tak ayal, korupsi pun sering muncul di lingkaran dinasti politik, yang semakin menghambat pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. ”Praktik dinasti dapat menutup ruang bagi kelompok lain, seperti masyarakat rentan dan pelaku usaha kecil di luar lingkaran kekuasaan, untuk terlibat dalam pembangunan ekonomi,” kata Armand di Jakarta.
Tata kelola buruk
Kajian tentang tata kelola ekonomi daerah yang dilakukan KPPOD juga
menunjukkan, daerah yang dipimpin oleh dinasti cenderung mengabaikan
tata kelola kebijakan yang bersih (good governance) dan berbasis merit.
Ruang untuk reformasi dan inovasi pun menjadi sempit karena posisi
strategis dalam pemerintahan diduduki oleh keluarga dan kerabat dekat.
Padahal, inovasi penting untuk meningkatkan daya saing ekonomi daerah. ”Ini seperti tesis Peter Drucker (ekolog sosial asal Austria), bahwa tidak ada daerah dan negara yang miskin, tetapi daerah dan negara yang tidak terkelola dengan baik, dan faktanya dinasti politik selama ini erat dengan praktik bad governance,” ujar Armand.
Memang, tidak semua dinasti politik berujung buruk dan korup. Dinasti politik dari keluarga Lee Kuan Yew di Singapura, misalnya, bisa membangun negara yang maju dengan rakyat hidup sejahtera. Namun, menurut Armand, Singapura adalah pengecualian karena mereka sudah memiliki sistem tata kelola pemerintahan yang ajek dan akuntabel, berbeda dengan Indonesia.
”Yang menentukan adalah sistem, bukan karakter pemimpin. Di negara yang sistem pemerintahannya masih rapuh, dinasti politik justru membuka banyak celah penyelewengan,” tuturnya.
Senada, ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mengatakan, dinasti politik yang minim checks and balances juga kerap melanggengkan praktik korupsi yang menghambat masuknya investasi berkualitas akibat ekonomi berbiaya tinggi yang tidak efisien. Investasi berkualitas yang dimaksud tidak hanya berupa angka penanaman modal yang jumbo, tetapi harus bisa menyejahterakan masyarakat.
Saat ini, tingkat Incremental Capital Output Ratio (ICOR) per Maret 2023 berada di level 7,6. ICOR menunjukkan tingkat efisiensi investasi di suatu negara. Semakin tinggi nilainya, semakin tidak efisien suatu negara untuk dijadikan tujuan investasi. Sebagai perbandingan, tingkat ICOR di sejumlah negara maju umumnya di bawah atau di kisaran 3.
”Ketika investor swasta yang ’benar’ mau masuk, mereka akan memilih mencari negara lain yang iklim berusahanya lebih adil dan barrier to entry-nya tidak tinggi. Ini akan mempersulit kita melakukan transformasi ekonomi,” kata Bhima.['['
0 comments:
Post a Comment