Ada masa dimana dulu demokrasi sempat heboh dengan model politik pencitraan yang dikemas apik sedemikian rupa. Ditampilkan seolah sangat sederhana, merakyat, wong cilik, ndeso, senyam senyum, cengar cengir, guya guyu, canda tawa, guyonan dan hal-hal yang dianggap selama ini politik selalu tegang serta kaku. Namun teori tentang politik pencitraan hanya sebatas gelembung politik yang sangat mudah dan rentah pecah atau meledak. Dulu terbantu dengan alat yang cukup efektif bernama sosial media yang kemudian berlanjut sampai pada framing media konvensional atau mainstream.
Teori kepemimpinan yang sedang dikonstruksi melalui media massa atau online merupakan gaya gerakan politik masa kini untuk mensosialisasikan dirinya agar mendapatkan perhatian sekaligus keprercayaan pada rakyat, supaya diberikan amanah menjadi pemimpin negara yang akan menjalani kompleksitas kegiatan kenegaraan yang tidak gampang dan enteng. Kompetisi memperebutkan posisi dan jabatan strategis teetinggi di negara ini menjadi keinginan banyak pihak baik politisi, pengusaha maupun para aktivis.
Situasi negeri ini pernah dilanda politik pencitraan sehingga demam pada satu tokoh hasil framing media dan mengidolakan tokoh sebagai bagian pemimpin yang empati selayaknya sama susahnya dengan rakyat nya dan dianggap akan pemimpin negara sama rasa dan sama harapan yang dibawa. Namun ternyata realitas Politik menafsirkan berbeda, sehingga situasinya juatru bertolak belakang dan sangat kontradiksi dari kenyataan yang diwujudkan dalam bingkai kesejahteraan. Karena ternayata hanya mampu mengelola negara dengan cara-cara bungkus kemasan tanpa isi, menghabiskan kas negara tanpa mampu mengendalikan ekonomi, memakmurkan satu golongan tetapi menafikan jumlah sebagian besar banyak golongan lain, salah dalam memilih kaki tangan untuk membantu kinerja menjadi pergantian orang terus menerus, sampai pada ketidakmampuan membangun narasi negara yang lebih konkrit dan rill di segala sektor. Hanya terbawa dan dibawa pada keadaan cerita-cerita dongeng, cerita curhat, dan cerita seperti anak kecil menceritakan pengalaman liburan maupun pengalaman sekolahnya.
Tenggelamnya gaya politik pencitraan ini dikarenakan pula oleh counter dari sosial media yang mampu melacak jejak digital dan bisa mem blow up, show up, dan display kembali kelakuan pemimpin yang dulunya lahir dari media massa dan online. Politik pencitraan tidak memberikan banyak urgensi dan dampak positif melainkan lebih banyak jatuh serta terjebak pada hal negatif serta hal-hal remeh temeh yang sangat tidak esensial dan substansial bagi keberlangsungan dalam mengelola negara. Yang lebih celaka lagi ialah sebagain besar rakyat kecil justru masih terjebak pada doktrin politik pencitraan, terkesima dengan hal yang rekayasa, antusias dengan sesuatu yang tidak ada urgensinya, terkena mantra framing media untuk membanggakan sosok hasil dari politik pencitraan, suka menelan mentah-mentah terhadap apa yang didapatkan dari output politik pencitraan, bahkan terbawa suasana kenangan masa lalu yang buruk hanya karena politik pencitraan dan fanatisme dalam memberi dukungan sehingga nalar intelektual, akal sehat serta daya kritis hilang begitu saja. Ironi dalam demokrasi refirmasi yang saat ini terjebak pada dinamika politik pencitraan hasil dari agenda setting partai dalam mengkemas sosok kadernya untuk ditawarkan ke rakyat.
Tentu model dari hal semacam ini akan hilang dan tentu tak lagi dihormati sekaligus diminati. Maka Tenggelamnya gaya politik pencitraan adalah keniscayaan rakyat yang semakin hari semakin cerdas dan kritis karena cepatnya mendapatkan segala informasi yang detail. Keadaan saat ini era milenial lebih mengutamakan gaya politik otentik dan politik inklusif yang orisinalitasnya sangat identik, kuat, berkarakter, berkepribadian dan tanpa hasil rekayasa apapun. Kepemimpinan itu bukan sekedar dari bagaimana menjaga, membuat, dan membangun image atau Citra melainkan bagaimana menjadi, mengkonsistensikan, dan mengembangkan karakter yang otentik. Gaya-gaya politik pencitraan ini tak akan lagi laku di jual di pasaran rakyat baik dari kalangan bawah, menengah dan atas. Kalau pun ada hanya sedikit jumlahnya layaknya tidak lagi percaya dan daya beli atau daya kepercayaan telah hilang di mata mereka. Politik pencitraan bisa menjadi bumper politik untuk dapat pangging politik yang langgeng dan bisa pula menjadi racun sendiri sehingga justri bumper politik yang menjatuhkan citra diri sendiri. Itulah pentingnya kepemimpinan dalam mengelola negara yang kaya, besar dan luas ini.
Tidak hanya sampai disitu, situasi Tenggelamnya gaya politik pencitraan ini akan terus menjalar ke segala arah. Karena ia kembali menjadi bumerang membunuh karakter sendiri atas pencitraan yang dibangun diawal namun tak mampu menjaga dan mengensalikannya. Politik pencitraan yang terlalu over dan berlebihan dibangun melalui media massa dan online bisa menghancurkan popularitas dan elektabilitas serta solidaritas penggemar, pendukung atau pemilihnya sendiri. Sebab yang namanya pemilih tidak selamanya bertahan pada satu pilihan bila yang dipilih tidak lagi satu tujuan serta banyak memberikan kekecewaan. Sebab dalam gaya politik pencitraan itu selalu membawa narasi dan konten pada politik identitas, rekayasa politik, politik simbolik, dan politiktainment yang artinya selalu membawa lelucon dalam berpolitik sekaligus mengelola negara sehingga berasa ala-ala stand up comedy, srimulat dan republik dongeng. Tentu yang harus dilakukan ialah politik otentik, politik inklusif, politik demkratis, politik adab dan tentunya politik berintegritas atau berkepribadian tunggal tidak menjadi bunglon, kepribadian topeng, replikasi pemimpin pencitraan yang sangat mencemaskan. Maka sebuah harapan ke depan ialah adanya narasi progresif dalam kepemimpinan kebangsaan dengan memberikan teladan serta keadaan politik yang esensial bikan sebatas simbolik, slogannistik dan pencitraan semata.
Ditulis oleh:
As’ad Bukhari, S.Sos., MA. (Analis Kajian Islam, Pembangunan dan Kebikan Publik)
0 comments:
Post a Comment