Di samping makna Lebaran yang sesungguhnya, banyak tradisi hanya sebatas pencitraan diri. Kendati daya beli sedang tidak baik-baik saja.
Lirik lagu anak yang dipopulerkan oleh Dhea Ananda pada era 90-an ini, seolah kembali relevan dengan kondisi masyarakat saat ini. Jika dulu pusat perbelanjaan selalu dipadati masyarakat yang berburu pakaian baru untuk berlebaran, kini pemandangan tersebut mulai berubah.
Seakan menjadi sebuah tradisi, jelang Idulfitri terlihat toko-toko penuh dengan antrean panjang di kasir. Namun, kini toko dan pusat perbelanjaan tak lagi sesak seperti dulu. Diskon besar-besaran yang biasanya menjadi daya tarik, pun tak lagi seheboh tahun-tahun sebelumnya.
Daya beli masyarakat yang melemah, membuat kebiasaan membeli baju Lebaran baru tak lagi menjadi prioritas.
Di balik perubahan ini, ada berbagai faktor yang memengaruhinya, mulai dari situasi ekonomi yang lebih menantang, meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pengelolaan keuangan, hingga pergeseran gaya hidup yang lebih fokus pada esensi Lebaran sebagai ajang silaturahmi dibandingkan sekadar ajang konsumtif.
Meski, tetap saja ada yang menganggap baju baru menjadi bagian tak terpisahkan dari perayaan Hari Raya. Bagi mereka, tampil dengan pakaian terbaik bukan hanya sekadar memenuhi tradisi, tetapi juga bentuk penghormatan kepada keluarga dan kerabat yang dikunjungi.
Berhemat di Tengah Tuntutan Lebaran
Qory Anggraeny, seorang perantau yang telah menetap di Jakarta lebih dari satu dekade, mengaku dalam beberapa tahun terakhir harus berhemat dan mengorbankan keinginannya untuk membeli baju Lebaran. Baginya, prioritas utama ketika mudik bukanlah soal pakaian, melainkan bagaimana bisa membawa cukup uang untuk berbagi dengan keluarga di kampung halaman.
"Di kampung tuh, kalau merantau terus pulang pas Lebaran, pasti dianggap banyak duit. Jadi, mau nggak mau, harus bawa uang lebih buat kasih THR ke keponakan, orang tua, atau bahkan tetangga, meski kenyataannya hidup di ibu kota pun terasa sesak," ujar Qory kepada Validnews, Senin (17/3).
Menjalani profesi sebagai asisten rumah tangga (ART) selama 12 tahun, setiap tahunnya ia harus benar-benar mengatur pengeluarannya. Salah satunya, agar bisa membawa cukup uang saat pulang kampung.
"Saya pribadi sudah nggak beli baju baru. Uangnya lebih baik buat pulang kampung. Anak saya pun hanya satu setel baju baru, itu juga belinya diloakan," kata wanita berusia 38 tahun itu.
Namun, tidak semua orang bisa melepaskan tradisi membeli baju baru saat Lebaran. Bagi sebagian masyarakat, pakaian baru tetap menjadi bagian penting dari perayaan Hari Raya.
Utari misalnya. Baginya, baju baru menjadi salah satu kebutuhan utama saat Lebaran.
"Lebaran itu momen spesial, jadi harus tampil rapi dan sopan saat bersilaturahmi. Baju baru itu bentuk penghormatan kepada tuan rumah saat kita berkunjung, maupun kepada tamu yang datang ke rumah," katanya saat ditemui Validnews di salah satu ajang bazar yang digelar di Jakarta.
Dia rajin berburu diskon besar di bazar-bazar menjelang Lebaran. Menurutnya, membeli saat harga diskon adalah strategi yang sudah biasa ia lakukan agar tetap bisa tampil trendi tanpa menguras kantong terlalu dalam. Namun, bukan hanya kebiasaan membeli baju baru yang mulai berubah, tradisi berbagi hampers pun kini terasa semakin membebani bagi sebagian orang.
Tekanan Sosial Dalam Tradisi Hampers
Amalia Safitri, seorang pekerja kantoran di Jakarta, mengaku merasa terjebak dalam budaya timbal balik saat menerima hampers dari rekan atau kolega.
"Tiap tahun pasti ada saja yang kirim hampers. Begitu dapat, rasanya nggak enak kalau nggak kirim balik," keluh wanita berusia 29 tahun itu kepada Validnews, Rabu (19/3).
Ia menambahkan, tekanan sosial ini sering kali memaksanya mengeluarkan biaya di luar rencana, semata-mata demi menjaga hubungan baik dengan kolega, teman, atau keluarga. Terlebih di era media sosial seperti sekarang, di mana unggahan tentang hampers yang diterima dan diberikan, kerap menjadi ajang pamer. Hal itu secara tidak langsung menambah beban psikologis bagi mereka yang merasa harus ikut serta dalam tradisi ini.
"Kadang sampai harus cari opsi paling murah, misalnya beli dalam jumlah banyak supaya lebih hemat. Tapi tetap saja, akhirnya ada pos pengeluaran yang harus dikorbankan," tambahnya.
Fenomena fear of missing out (FOMO) dalam mengirim hampers semakin nyata, terutama di kalangan pekerja dan komunitas pertemanan yang terbiasa berbagi bingkisan saat Lebaran.
Menurut Sosiolog Universitas Padjajaran (Unpad), Yusar Muljadli, tekanan sosial untuk membeli baju Lebaran dan mengirim hampers memang relatif tinggi.
"Pembelian baju baru atau pemberian hampers saat Lebaran selalu terjadi karena kebiasaan masyarakat yang ingin mencitrakan diri sebaik mungkin. Kebiasaan ini direpetisi seolah menjadi kewajiban massal," jelasnya.
"Jika tidak dilakukan, akan muncul gunjingan seperti 'Lebaran kok nggak pakai baju baru?' atau 'Aneh, Lebaran sekarang kok nggak ada parsel?' Akibatnya, banyak orang merasa terpaksa mengikuti tradisi ini, meskipun kondisi ekonomi sedang sulit," lanjut Yusar kepada Validnews, Kamis (20/3).
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara menuturkan, meskipun tradisi mengirim hampers masih bertahan, nilainya kini cenderung menurun seiring dengan kondisi ekonomi yang semakin menantang.
"Hampers sebaiknya bukan dijadikan ajang flexing atau simbol status sosial, tapi lebih sebagai bentuk silaturahmi. Jadi, kalau memang harus berhemat, nggak masalah mengirim yang lebih sederhana. Jangan sampai pengeluaran Lebaran jadi impulsif hanya karena rasa nggak enakan atau FOMO," ungkap Bhima kepada Validnews, Rabu (19/3).
Konsumsi Ikut Beradaptasi
Bhima
juga menyoroti tren penurunan daya beli dalam lima tahun terakhir.
Dirinya mencontohkan, jika dulu menjelang Lebaran Pasar Tanah Abang atau
mal selalu ramai, kini pola konsumsi telah berubah.
"Kelompok menengah ke bawah kini lebih memprioritaskan kebutuhan pokok dibandingkan membeli pakaian baru atau aksesoris," katanya.
Survei Konsumen Bank Indonesia (BI) dari tahun 2020 hingga 2024 mencatat, proporsi belanja masyarakat menjelang Lebaran terus menyusut dibandingkan dengan pola konsumsi sepanjang tahun. Pada 2020 dan 2021, proporsinya masih mencapai 0,3% poin.
Namun, pada 2022 angka ini turun menjadi 0,1% poin, stagnan di 2023, dan pada 2024 bahkan mencapai minus 0,4% poin, terendah dalam lima tahun terakhir. Meski demikian, segmen menengah atas masih tetap membeli pakaian baru, meskipun jumlahnya lebih sedikit dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
"Mereka tetap terbantu oleh banyaknya diskon dari platform e-commerce maupun brand fashion yang menawarkan promo khusus menjelang Lebaran," tegas Bhima.
Lebaran Tanpa Stres Keuangan
Di
tengah tekanan ekonomi dan daya beli yang melemah, masyarakat tetap
berusaha mempertahankan tradisi Lebaran, meski dengan cara yang lebih
fleksibel dan adaptif. Salah satu tren yang semakin populer dalam
beberapa tahun terakhir adalah thrifting atau membeli pakaian bekas yang masih layak pakai.
Jika dulu baju baru untuk Lebaran identik dengan belanja di mal, kini banyak orang beralih ke pasar thrift sebagai alternatif yang lebih terjangkau. Selain harganya yang lebih rendah dibandingkan pakaian baru di toko ritel, pilihan pakaian thrift juga semakin beragam dan mudah diakses.
Yusar menuturkan, upaya untuk mengubah kebiasaan ini sebenarnya sudah dilakukan sejak lama, misalnya melalui lagu Baju Baru Alhamdulillah, Tak Punya Pun Tak Apa-apa. Namun, karena tradisi ini sudah begitu mengakar, diperlukan strategi yang lebih efektif untuk menggesernya.
"Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah menggunakan media sosial. Para influencer bisa 'dimobilisasi' untuk mengkampanyekan pentingnya silaturahmi Lebaran dibandingkan sekadar 'festival baju baru'. Jika figur publik atau tokoh agama mulai menyuarakan hal ini, maka perubahan pola konsumsi masyarakat bisa lebih cepat terjadi," ungkapnya.
Senada dengan hal tersebut, Bhima menegaskan bahwa masyarakat perlu lebih bijak dalam mengatur anggaran Lebaran. Ini penting, sebagai antisipasi dari risiko tekanan finansial setelahnya.
"Idealnya, 30% dari pendapatan, termasuk THR, dialokasikan untuk kebutuhan pokok seperti cicilan, makanan, dan biaya sekolah anak. Kemudian, 30% sisanya bisa digunakan untuk keperluan Lebaran, seperti memberikan uang kepada sanak saudara atau membeli baju baru. Nah, sisa 40% harus disisihkan untuk dana darurat dan tabungan," sarannya.
Kuncinya adalah menyesuaikan gaya hidup dengan kemampuan finansial, sehingga tradisi tetap bisa dijalankan tanpa harus memaksakan diri hingga berdampak pada kestabilan ekonomi keluarga. Lebaran seharusnya menjadi momen penuh kebahagiaan, kehangatan, dan kebersamaan. Sebaliknya, hari raya bukan justru menjadi sumber tekanan akibat pengeluaran yang berlebihan.
Sebab pada akhirnya, nilai sejati dari Lebaran bukanlah seberapa mahal pakaian yang dikenakan atau seberapa mewah hampers yang diberikan, melainkan bagaimana momen ini dimanfaatkan untuk mempererat tali silaturahmi, memperbaiki hubungan, serta saling berbagi dengan penuh keikhlasan dan kebijaksanaan.
0 comments:
Post a Comment