![]() |
Buruh dan karyawan mendengarkan pidato dari direksi perusahaan di Pabrik Sri Rejeki Isman Tbk (Srite x) di Sukoharjo, Jawa Tengah, Jumat (28/2/2025). |
Gelombang PHK dinilai akibat daya saing industri lokal yang kalah dengan produk impor. Kondisi ini membuat suram proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun ini.
JAKARTA KONTAK BANTEN - Per 1 Maret 2025, salah satu produsen tekstil terbesar di Indonesia PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) resmi menutup operasionalnya. Akibatnya, sekitar 11.025 orang kehilangan pekerjaan.
Kepada Validnews, Jumat (21/3), Deputi Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Kependudukan, dan Ketenagakerjaan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Maliki, mengatakan bahwa maraknya PHK bukan karena ada masalah pada tenaga kerja. PHK lebih disebabkan kerentanan akibat kompetisi industri.
Kepala ekonom Permata Bank Josua Pardede juga mengatakan demikian. Melemahnya permintaan global akibat perlambatan ekonomi dunia dan ketidakpastian geopolitik membuat banyak perusahaan menahan ekspansi atau memangkas produksi yang berujung pada PHK. Ditambah, kenaikan biaya operasional, seperti bahan baku dan logistik ikut menekan profitabilitas perusahaan.
"Kemudian adaptasi terhadap otomatisasi dan digitalisasi membuat sejumlah pekerjaan menjadi tidak relevan. Di sektor teknologi, investor pun cenderung lebih selektif dalam pendanaan dan menyebabkan banyak startup melakukan efisiensi," ucap Josua yang berbincang via telepon dengan Validnews, di Jakarta, Jumat (21/3).
Dia memperkirakan gelombang PHK masih berlanjut dalam waktu dekat, khususnya di sektor-sektor yang terdampak tekanan global dan peralihan teknologi. Semisal industri padat karya, seperti tekstil, alas kaki, manufaktur ringan, dan elektronik. Industri ini dinilai menjadi sektor paling rentan akibat penurunan permintaan ekspor dari negara-negara mitra utama, seperti Amerika Serikat dan Eropa.
Data BPS per Februari 2025 mencatat, nilai ekspor mengalami kenaikan 2,58% dibandingkan bulan Januari 2025 atau mencapai US$21,98 miliar. Peningkatan tertinggi ada pada ekspor nonmigas berupa lemak dan minyak hewan/nabati sebesar US$794,1 juta atau 37,04%, yakni dari US$US$2,14 miliar menjadi US$2,93 miliar.
Namun komoditas lainnya, seperti kata Josua, mengalami penurunan, mulai dari nikel dan barang daripadanya yang anjlok 26,18%, dari US$731,4 juta menjadi US$539,9 juta; alas kaki 5,93% dari US$626 juta menjadi US$588,9 juta; hingga mesin dan perlengkapan elektrik serta bagiannya 0,14% dari US$1,319 miliar menjadi US$1,317 miliar.
Antisipasi Naiknya Angka Pengangguran
Satu
hal yang pasti, gelombang PHK yang diprediksi masih akan terus
berlanjut sepanjang 2025 ini akan meningkatkan angka pengangguran di
Indonesia.
Baik Josua maupun pengamat perbankan Arianto Muditomo malah melihat angka TPT malah akan kembali naik ke kisaran 5,5%-6,5% pada akhir tahun.
"Jika tren PHK berlanjut dan penciptaan lapangan kerja baru tidak cukup cepat, angka pengangguran terbuka di Indonesia bisa kembali naik ke kisaran 6%-6,5% pada akhir tahun, setelah sebelumnya berhasil ditekan mendekati 5,3% pada 2024," kata Arianto.
Pemerintah sendiri dalam Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RUU APBN) Tahun Anggaran 2025 pada Agustus 2024 disampaikan oleh Joko Widodo menargetkan untuk menurunkan TPT 4,5% sampai 5% pada tahun 2025. Sementara Presiden Prabowo Subianto dalam pidato dan kampanye Pemilihan Presiden lalu mempunyai target menurunkan TPT 3,5% di 2025 dan 2,5% pada tahun 2030.
"TPT kita targetkan di bawah 5% gitu, mudah-mudahan bisa tercapai," harap Maliki.
Mengantisipasi agar tidak terjadi gelombang PHK lanjutan, Maliki mengatakan perlu dibangun tripartit yang lebih baik agar hubungan, komunikasi, dan diskusi, antara pengusaha, pemerintah, dengan asosiasi pekerja bisa lebih intens, dari sisi ketenagakerjaan. Dia beralasan, ada beberapa hal terkait ketenagakerjaan yang perlu diselesaikan dengan komunikasi atau diskusi lebih intens.
"Selain itu juga, kesesuaian tenaga kerja dengan teknologi yang dimiliki oleh industri itu sendiri. Kadang-kadang industri keep up dengan teknologi yang ada sehingga mereka bisa lebih bersaing, jadi pekerja juga harus cari cara bagaimana supaya keahliannya ini sesuai atau bisa menyesuaikan dengan cepat," cerita Maliki.
Sementara itu, Josua mengatakan Indonesia saat ini membutuhkan pekerjaan yang sesuai dengan kebutuhan ekonomi domestik dan tren global sebagai upaya mengurangi angka pengangguran. Semisal, lapangan kerja di sektor pertanian modern, industri hilirisasi, ekonomi hijau, pariwisata berkelanjutan, serta sektor jasa kesehatan dan pendidikan.
"Selain itu, ekonomi digital berbasis UMKM dan talenta teknologi juga menjadi pilar penting, tetapi perlu disertai dengan peningkatan keterampilan digital dan soft skill agar tenaga kerja mampu beradaptasi," katanya.
Huda menimpali, masyarakat bisa menuntut janji Pilpres pada pemerintah yang mengatakan membuka jutaan tenaga kerja. Namun, ia menilai situasi saat ini membuat janji itu susah terwujud.
Dia beralasan pasar tenaga kerja akan terbuka apabila ada investasi yang masuk. Disi lain, saat ini SBN menawarkan suku bunga tinggi dan bunga perbankan juga akan meningkat.
"Akibatnya cost of investment akan meningkat. Pengusaha akan menahan investasi untuk ekspansi, akhirnya penyerapan tenaga kerja akan terbatas. Dampaknya pertumbuhan ekonomi akan terbatas di angka 5% saja, susah mengejar ke angka 5,2%, apalagi 8%," timpal Huda.
Menghambat Laju Ekonomi Nasional
PHK
yang diprediksi masih akan terus terjadi ini bakal berdampak pada
pertumbuhan ekonomi nasional. Catatan BPS, struktur PDB Indonesia
menurut lapangan usaha atas dasar harga berlaku pada 2024 didominasi
oleh Lapangan Usaha Industri Pengolahan sebesar 18,98%.
Hilangnya pekerjaan juga membuat masyarakat banyak kehilangan pendapatan, sementara kebutuhan sehari-hari terus berjalan. Akibatnya, terjadi penurunan konsumsi atau daya beli masyarakat. Padahal konsumsi rumah tangga menjadi penggerak perekonomian. Sumbangan konsumsi masyrakat mencapai setengah dari pembentukan PDB nasional, tepatnya 54,04% di 2024.
"Tentu akan memperlambat ekonomi Indonesia (PHK) itu, karena sektor industri adalah sektor yang paling besar menyumbang pertumbuhan ekonomi. Kalau sekarang terjadi banyak PHK di sektor industri ya otomatis kontribusinya dalam perekonomian akan turun, dan turunnya juga karena memang permintaannya berkurang," komentar Deputy Director Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto, Selasa (18/3).
Melihat target pemerintah untuk pertumbuhan ekonomi tahun ini 5,2%, Eko pesimistis target akan tercapai dengan situasi PHK yang masih terjadi. Bahkan menurutnya, mempertahankan 5% itu juga akan relatif lebih sulit sehingga kalau diprediksi malah pertumbuhan ekonomi lebih rendah dari tahun lalu mungkin saja.
"Tahun lalu kan 5,03% ya, masih bisa segitu saja sudah bagus tahun ini. Tapi kayaknya lebih sulit karena start kita 3 bulan pertama ini sudah menggambarkan ekonomi akan tumbuh di bawah 5% gitu. Dari mulai defisit yang sudah melebar, penerimaan negara yang anjlok, dan deflasi, itu merepresentasikan di masyarakat melemah," imbuh Eko.
Josua juga mengatakan hal serupa. Dia menyarankan perlu upaya untuk mempertahankan pertumbuhan dengan didorong melalui percepatan belanja pemerintah, stimulus fiskal, dan program padat karya untuk menjaga konsumsi domestik.
Sementara itu, terkait pertumbuhan ekonomi yang mencapai 5,2% tahun ini, Maliki sendiri cukup optimis meskipun banyak pengamat mengatakan gelombang PHK masih berlangsung.
Maliki tidak menampik memang PHK dapat meningkatkan TPT yang bisa menghambat ekonomi nasional. Namun dia menyampaikan, industrialisasi yang terkait pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) telah menjadi prioritas utama dalam lima tahun ke depan, selain proyek hilirisasi. Begitupun swasembada pangan dan swasembada energi yang diproyeksikan akan menyerap tenaga kerja. Karena itu, dia optimis angka pengangguran akan berkurang.
"Pada akhir tahun ini seharusnya sebagian dari program-program itu sudah mulai mengakselerasi kegiatan mereka dan akhirnya masuk pada kesempatan kerja," ungkap Maliki.
Tugas selanjutnya adalah bagaimana mempersiapkan tenaga kerja, yang mungkin dulunya bekerja di bidang tekstil atau manufaktur, bisa bekerja di proyek-proyek terkait program pemerintah. Salah satunya melalui Kartu Usaha yang menjadi program prioritas nasional 6 oleh Presiden Prabowo dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029.
Kartu usaha dirancang untuk memberikan solusi dalam meningkatkan pendapatan masyarakat dan peluang kerja baru yang berkelanjutan sehingga dapat menurunkan kemiskinan. Program ini juga bertujuan meningkatkan jumlah wirausaha, menciptakan tenaga kerja mandiri, memperkuat daya saing usaha, hingga mendorong pemberdayaan masyarakat.
Antisipasi penyesuaian skill selanjutnya juga dilakukan melalui pelatihan DLK (Diklat Luar Kelas), DLK komunitas, dan program Prakerja pun akan kembali tersedia.
"Kami harapkan apabila nanti setelah program-program ini berjalan lancar, ini menjadi kesempatan bagi yang sudah ter-PHK tadi untuk bisa masuk, dan mudah-mudahan menambah juga lagi pekerjaan formal yang tersedia, terutama untuk penduduk usia kerja," harap Maliki.
Yah, semua
orang bisa berharap dan mencanangkan target optmistis, termasuk
pemerintah. Namun, jika tren PHK ini terus berlanjut, naiknya angka
pengangguran adalah hal nyata yang berimplikasi ke banyak hal. Termasuk,
pencanangan target pertumbuhan ekonomi bisa jadi sebatas angan.
0 comments:
Post a Comment