Praktik ijon proyek di eksekutif dan legislatif harus dicegah dari awal sejak perencanaan hingga pelaksanaannya. Praktik itu biasanya terjadi di awal tahun anggaran. Sebab, di situ pekerjaan proyek akan dimulai dengan pengondisian terhadap rekanan. Hal tersebut disampaikan pemerhati hukum dan kebijakan publik di Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) Agung Adisetiyono. Menurutnya, tindak pidana korupsi pada proyek pemerintah daerah bermula dari ijon proyek.
”Hal itu membuat
lelang proyek hanya formalitas, karena siapa yang mengerjakan proyek
yang dilelang sebenarnya sudah ditentukan saat awal perencanaan. Praktik
ini hampir terjadi di sejumlah daerah di Tanah Air. Dibuktikan dari
beberapa perkara yang disidangkan di lembaga peradilan,” katanya, Sabtu (12/9). Agung melanjutkan, di kalangan wakil rakyat, modus yang dilakukan
hampir sama, yaitu bagaimana anggota DPRD mencari keuntungan untuk
dirinya sendiri dalam proses persetujuan APBD maupun penentuan para
pemenang lelang proyek pekerjaan.
Lebih parahnya lagi, menggunakan dana aspirasi itu untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Praktik fee 10-15 persen dipungut dari pihak rekanan sudah kerap terdengar. ”Praktik ini paling marak terdengar di proyek penunjukan langsung atau yang nilainya di bawah Rp200 juta. Di situ tetap juga mainan fee itu terjadi,” ujarnya. Selama ini, tambahnya, praktik itu belum pernah disentuh aparat penegak hukum di Kotim. Dia mengingatkan DPRD sebagai representasi aspirasi masyarakat, seharusnya menjalankan tugasnya dalam mengawasi dan memastikan jalannya pemerintahan dan pembangunan yang dilakukan pemerintah daerah agar sesuai dengan ketentuan dan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat.
”Harusnya jangan ikut bermain dan kami dorong DPRD Kotim bisa begitu, sehingga pembangunan yang sehat itu tercipta. Tapi, kalau sudah eksekutif bermain, ditambah lagi legislatifnya ikut cawe-cawe, maka di situlah praktik korupsi itu akan merajalela,” tegasnya. Catatan Radar Sampit, praktik mafia dalam pengelolaan anggaran pembangunan dan belanja daerah (APBD) Kotim disinyalir masih terjadi. Akibatnya, terjadi kebocoran dalam APBD Kotim yang berimbas pada tak maksimalnya pembangunan. Praktik mafia anggaran yang masih bergentayangan itu sulit diungkap.
Ketua DPRD Kotim periode 2010-2020 Jhon Krisli pernah mengatakan, anggaran dalam APBD Kotim banyak bocor. Anggaran besar yang dialokasikan untuk pembangunan, tidak sepenuhnya dimanfaatkan untuk kepentingan yang bersentuhan langsung pada rakyat. Hal itu disebabkan masih adanya praktik pemberian fee proyek.
Jhon mencontohkan, untuk pembangunan proyek fisik senilai Rp500 miliar, realisasi hanya berkisar Rp300 miliar, karena banyak potongan dengan berbagai dalih. Praktik semacam itu masih sulit dibuktikan, terutama di daerah. Misalnya, fee proyek pejabat 10 persen, pajak 12 persen, dan keuntungan kontraktor yang bisa mencapai 20 persen, sehingga total uang yang tidak tepat sasaran itu berkisar 42 persen.
”Jadi, wajar saja hampir separuh anggaran itu hilang begitu saja,” katanya. Banyaknya anggaran yang terbuang, bisa dilihat melalui perbandingan proyek jalan yang dilakukan swasta, yakni perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan Rp200 juta, yang bisa membuat jalan hingga satu kilometer. Apabila proyek itu dikerjakan pemerintah, anggaran untuk membangun jalan dengan panjang yang sama, bisa menghabiskan Rp1 miliar.
0 comments:
Post a Comment