Oleh : Ir Hadi Wijaksono
Pengamat Kebijakan Publik dan Aktif di LIPI
Derita Rakyat semakin menjadi-jadi. Harga tarif listrik meningkat
drastis, khusus untuk kelompok daya 900 volt ampere (VA). Tarifnya
embali mengalami kenaikan tarif sekitar 30 persen dibandingkan bulan
sebelumnya. Banyak yang tidak tahu bahwa ini merupakan implementasi dari
Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 28 Tahun
2016, pencabutan subsidi bagi pelanggan 900 VA dilakukan secara
bertahap, yakni pada awal Januari, Maret , dan Mei 2017.
Jadi, kenaikan ini sebenarnya sudah dimulai dari Bulan Januari, yang
merupakan tahap pertama. Kemudian tahap kedua di bulan Maret kemaren,
yang naik 31 % dan membuat sejumlah rakyat sudah menjerit. Dan dibulan
Mei ini adalah tahap ketiga dengan kenaikan 30%, yang tentunya akan
membuat rakyat semakin tercekik.
Di tengah tercekiknya rakyat Indonesia dengan harga tarif Listrik yang naik, yang pastinya akan semakin menguras kantong mereka yang sudah
sangat-sangat tipis, para anggota DPR malah “asyik” mengkaji masalah hak
angket DPR terhadap KPK. Seharusnya mereka berjuang demi kepentingan
rakyat, mempertanyakan hal ini, bukan malah menyelamatkan beberapa oknum
di antara mereka saja, yang terjerat masalah korupsi kasus e-KTP.
Okelah mereka ingin menghilangkan stigma di masyarakat bahwa KPK
bukanlah lembaga suci. Tapi lihatlah prioritas terlebih dahulu. Ini
rakyat sedang tercekik dengan nilai uang yang semakin rendah, kemudian
nilai harga yang semakin meninggi, mencekik leher mereka. Dalam masalah
hak angket ini sebenarnya nyata sekali, banyak yang berkepentingan
politik disini, menyelamatkan dirinya yang sudah terjaring dalam kasus.
Tobatlah, pak…
Rakyat diam, bukan berarti tidak bersuara, bapak-bapak yang ada di DPR
dan bapak-bapak yang ada di pemerintahan. Rakyat diam karena sudah capek
dengan kezaliman-kezaliman yang ada. Bukannya semakin sejahtera, maka
semakin menderita. Padahal pemerintah itu ada, kata salah seorang pakar
politik dalam kajian Islam Ibn Khaldun, untuk memberikan kesejahteraan
dan keamanan bagi rakyatnya. Jikalau sejahtera tidak ada, malah yang ada
derita, maka perlu dipertimbangkan ucapan yang dulu pernah disampaikan
Buya Syafii Maarif, yaitu dihilangkan saja pemerintahan INdonesia ini
selama satu atau dua generasi, agar muncul generasi baru yang bebas dari
virus tularan korupsi.
Rakyat diam bukan berarti tidak bersuara, bapak-bapak yang di DPR dan
bapak-bapak yang di pemerintahan, mengutip kata-kata Shams Tabrizi,
seorang bijak, penyair, ahli sufi, dan guru dari Jalaluddin al-Rumi,
bahwa diam itu bukan tanpa suara. Ia ada suaranya. Hanya saja dibutuhkan
ruh untuk memahaminya.
Adakah ruh bapak-bapak di DPR dan bapak-bapak di pemerintahan terhadap derita rakyatnya?
Entahlah, ruh itulah yang menggerakkan. Atau jangan-jangan, rasa itu sudah mati tertutupi dosa kezaliman diri
Entahlah, ruh itulah yang menggerakkan. Atau jangan-jangan, rasa itu sudah mati tertutupi dosa kezaliman diri
0 comments:
Post a Comment