
JAKARTA - Tekanan depresiasi terhadap nilai tukar rupiah dinilai
belum akan mereda, meskipun pada pekan lalu mata uang RI itu mampu
berbalik menguat menyusul kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI)
untuk kali kedua sepanjang Mei 2018.
Ancaman pelemahan rupiah pada beberapa waktu ke depan terutama
berasal dari faktor eksternal, seperti persepsi mengenai kenaikan suku
bunga acuan yang lebih agresif oleh Bank Sentral Amerika Serikat (AS)
atau The Fed, setelah pengumuman data pengangguran di negara itu
mencapai level terendah dalam 18 tahun terakhir.
Ekonom Universitas Brawijaya Malang, Candra Fajri Ananda, mengatakan
kurs rupiah memang sempat menguat dalam merespons kenaikan BI-7 Day
Reverse Repo Rate menjadi 4,75 persen.
Namun, penguatan rupiah itu tidak akan lama karena faktor eksternal
sangat kuat memberikan tekanan. “Jadi, sebenarnya penguatan rupiah ini
sifatnya hanya sementara.
Sambil menunggu hasil pertemuan FOMC (Federal Open Market Committee)
yang digelar The Fed pertengahan bulan ini, rupiah berpeluang turun
terus dalam seminggu ke depan ini,” kata Candra, saat dihubungi, Minggu
(3/6).
Nilai tukar rupiah ditutup menguat 97 poin pada perdagangan terakhir
pekan lalu, Kamis (31/5), ke level 13.896 rupiah per dollar AS.
Meski begitu, secara year to date (ytd) per 31 Mei 2018, rupiah masih
terdepresiasi 2,5 persen. Candra menambahkan pergerakan rupiah akan
sangat bergantung pada kebijakan suku bunga The Fed atau Federal Funds
Rate (FFR).
Rapat FOMC pertengahan bulan ini diperkirakan akan menaikkan FFR,
pada saat itulah nilai tukar rupiah diprediksi kembali tertekan.
Dikabarkan, data pekerjaan domestik AS meningkat pada Mei lalu.
Laporan Biro Statistik Tenaga Kerja AS menunjukkan total pekerjaan
nonfarm payroll (NFP) naik 223 ribu dan tingkat pengangguran berkurang
pada level terendah selama 18 tahun pada tingkat 3,8 persen.
Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan bahwa kenaikan upah di AS juga
solid, membuat kenaikan suku bunga AS pada Juni ini semakin pasti, dan
meningkatkan ekspektasi kenaikannya yang keempat pada tahun ini. Oleh
karena itu, Candra memperkirakan bunga acuan BI akan dinaikkan lagi pada
Juni nanti.
“Bunga acuan BI bisa dinaikkan 25 bps (basis poin) ke level lima
persen atau 0,25 bps. Tapi ini memang dilematis karena suku bunga kredit
berpotensi ikut naik. Perbankan sudah gelisah karena kredit bermasalah
bisa meningkat,” papar dia.
Perang Dagang
Selain itu, lanjut dia, faktor eksternal lain yang berpotensi menekan
rupiah adalah meningkatnya tensi perdagangan global belakangan ini.
Perang dagang antara AS-Tiongkok kini juga meluas ke belahan dunia
lain. Seiring dengan pernyataan Presiden AS, Donald Trump, terkait
dengan pemberlakuan tarif impor logam, maka Kanada, Meksiko, dan Uni
Eropa mengatakan ketiganya berencana melakukan pembalasan dengan pajak
bernilai miliaran dollar AS untuk sejumlah komoditas impor dari AS.
“Gejolak politik dan keuangan di Italia dan Spanyol juga akan
meningkatkan ketidakpastian global. Ini akan mendorong investor asing
menarik dana dari emerging market termasuk Indonesia untuk dialihkan ke
pasar yang lebih aman,” papar Candra.
Kerusuhan politik di Italia pada awal pekan lalu juga mendorong indeks dollar AS menyentuh level tertingginya dalam 6,5 tahun.
Sebelumnya, pengamat ekonomi dari Unair Surabaya, Imron Mawardi,
mengemukakan meski BI sudah menaikkan bunga acuan, investor asing masih
menganggap tingkat bunga itu masih rendah.
Sebab, inflasi Indonesia berkisar 3,6–4,5 persen sehingga tingkat
keuntungan riil masih tipis. “Apalagi ditambah dengan faktor risiko
volatilitas rupiah, dan risiko politik.
Jadi, kenaikan suku bunga BI tidak terelakkan,” tutur dia. Sejumlah
kalangan juga mengemukakan hal senada. Bahkan, bunga acuan BI dinilai
belum akan maksimal meredam pelemahan rupiah jika belum sampai ke level
7,5 persen.
Menurut Candra, yang perlu dilakukan pemerintah dalam menghadapi
ketidakpastian global terutama adalah menjaga perekonomian dalam negeri
tetap hidup, antara lain dengan menjaga daya beli masyarakat dan
mengendalikan inflasi.
“Harga pangan juga harus dicek. Apalagi pangan kita sebagian besar
impor. Kalau impor meningkat dan mata uang kita melemah, berarti harga
barang impornya mahal. Itu yang perlu diawasi pemerintah,” kata dia.






0 comments:
Post a Comment