SERANG, (KB).- Program kesehatan gratis menggunakan
KTP batal. Salah satu program prioritas Gubernur Banten dan Wakil
Gubernur Banten, Wahidin Halim-Andika Hazrumy itu, akhirnya
diintegrasikan dengan jaminan kesehatan nasional (JKN) Kemenkes dan BPJS
sesuai rekomendasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Menurut Pelaksana harian (Plh) Sekda Banten, Ino S Rawita, selain
mengintegrasikan dana kesehatan dengan BPJS, ada juga rekomendasi KPK
yang dapat dijalankan Pemprov Banten. Antara lain, Pemprov Banten
menanggung biaya hidup bagi keluarga pasien yang berobat di kota.
“Kadang pasiennya ditanggung BPJS, tapi keluarga miskin yang mengantar
atau keluarganya tidak mempunyai bekal saat menunggu pasien dirawat di
rumah sakit. Sepertinya bisa dikembangkan oleh pemprov,” kata Ino S
Rawita, Ahad (22/7/2018).
Tenaga Ahli Gubernur Banten Bidang Media Massa dan Public Relations
(PR), Ikhsan Ahmad mengatakan, dengan adanya integrasi tersebut, Pemprov
Banten juga akan mendata masyarakat tidak mampu agar memiliki BPJS.
Kemudian, biaya pembayaran premi asuransi BPJS mereka akan ditanggung
Pemprov Banten. “Meski secara penganggaran jauh lebih mahal, karena
Pemprov Banten menanggung pembayaran premi setiap bulannya,” ujarnya.
Dia mengatakan, Pemprov Banten harus melaksanakan rekomendasi KPK.
Jika dipaksakan, kata dia, khawatir akan berbenturan dengan aturan yang
lain. “Jadi tidak benar kalau dikatakan KPK menolak program kesehatan
gratis Pemprov Banten. Kami wajib mengikuti saran dan rekomendasi KPK
tersebut, supaya tidak melanggar aturan,” ucapnya.
Menurut dia, pihak-pihak yang mengatakan program kesehatan Pemprov
Banten ditolak oleh KPK dan belum jelas, mengesankan pendapat yang tidak
menghendaki masyarakat Banten meningkat kesejahteraannya. Pada
prinsipnya, kata dia, kesehatan gratis untuk masyarakat miskin sudah
berjalan dengan pola lama, yaitu menggunakan surat keterangan miskin
(SKTM) secara terbatas di RSUD Banten dan RSUD Malingping. Payung
hukumnya juga masih menggunakan Pergub Banten yang lama.
“Alhamdulillah, hasil konsultasi program unggulan kesehatan gratis
Gubernur Banten dengan KPK sudah keluar, kesimpulannya diintegrasikan
dengan program Kemenkes dan BPJS,” tuturnya.
Sebelumnya, KPK merekomendasikan agar program kesehatan gratis
menggunakan KTP diintegrasikan dengan program Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN) Kemenkes dan BPJS. Sebab jika berdiri sendiri, berpotensi
menguras APBD Banten.
Kepala Satuan Tugas (Satgas) Koordinasi dan Supervisi Pencegahan (Korsupgah) KPK, Asep Rahmat Suwandha mengatakan, program kesehatan gratis juga dinilai akan membuat pengeluaran APBD Banten tidak terukur.
Kepala Satuan Tugas (Satgas) Koordinasi dan Supervisi Pencegahan (Korsupgah) KPK, Asep Rahmat Suwandha mengatakan, program kesehatan gratis juga dinilai akan membuat pengeluaran APBD Banten tidak terukur.
“Lebih baik diintegrasikan ke program JKN Kemenkes dan BPJS. Supaya
nanti terukur berapa bebannya, supaya nanti jangan ditanggung oleh ABPD
provinsi, pasti akan berdarah darah juga,” tuturnya.
Reformasi birokrasi disorot
Selain kesehatan gratis menggunakan KTP batal, program prioritas
lainnya yakni reformasi birokrasi juga menuai sorotan. Hal itu menyusul
banyaknya kekosongan jabatan dan pejabat rangkap jabatan di struktural
internal Pemprov Banten. Pengamat Pemerintahan dari Universitas
Mathla’ul Anwar (Unma) Banten, Eko Supriatno menilai, kekosongan dan
rangkap jabatan yang terjadi di struktural Pemprov Banten akan membuat
roda pemerintahan tidak stabil atau terancam pincang. Oleh karena itu,
dia menilai rotasi mutasi pejabat sangat diperlukan atau mendesak.
“Kekosongan jabatan, rangkap jabatan, isu bongkar pasang pejabat OPD
Provinsi Banten rasanya sudah sering menyeruak ke permukaan. Ini bukti
ketidakseriusan WH (Gubernur Banten Wahidin Halim) dalam hal reformasi
birokrasi. Padahal, berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 18 tahun 2016
tentang Perangkat Daerah, susunan organisasi tata kerja (SOTK) harus
sudah terisi seluruhnya pada tahun 2017. Di satu sisi, banyak pejabat
Banten yang mumpuni, namun tidak diperhitungkan,” katanya kepada Kabar
Banten, Ahad (22/7/2018).
Menurut dia, kegagalan reformasi birokrasi kemungkinan besar
disebabkan oleh kebuntuan komunikasi tingkat atas dengan antar
birokrasi. Sehingga, berdampak pada pencapaian target-target pemerintah
menjadi meleset. “Tidak ada koordinasi yang bersifat horizontal, meski
ada rapat gabungan. Komunikasi hanya dilakukan parsial dalam pendekatan
short term,” ucapnya.
Komunikasi yang buruk ini menyebabkan pengambilan kebijakan menjadi
tidak tepat, bising di mana-mana, dan akhirnya mengaburkan substansi
yang akan disampaikan. Bagaimana mengharapkan kinerja OPD memperbaiki
komunikasi antar OPD, jika informasi di dalam OPD-nya sendiri gagal
dikelola dengan baik,” tuturnya.
Rotasi dan mutasi
Secara teoritis, kata dia, ada dua pendekatan dalam melakukan rotasi mutasi. Pertama Political-based atau rotasi mutasi yang dilakukan untuk mengakomodasi kepentingan politik yang ada, seperti mengubah konstruksi koalisi partai politik atau memberikan konsesi yang lebih besar kepada partai politik pendukung, termasuk partai politik dari pemimpin pemerintahan sendiri.
Secara teoritis, kata dia, ada dua pendekatan dalam melakukan rotasi mutasi. Pertama Political-based atau rotasi mutasi yang dilakukan untuk mengakomodasi kepentingan politik yang ada, seperti mengubah konstruksi koalisi partai politik atau memberikan konsesi yang lebih besar kepada partai politik pendukung, termasuk partai politik dari pemimpin pemerintahan sendiri.
Kedua, Performance-based atau rotasi mutasi yang dilakukan
berdasarkan kinerja OPD yang tidak optimal. “Rotasi mutasi bukan politik
akomodasi. Rotasi mutasi sepenuhnya adalah hak prerogatif gubernur.
Meski demikian, rotasi mutasi mesti ditempatkan sebagai cara gubernur
membongkar pejabat OPD yang tidak berhasil menunjukkan kinerjanya, dan
memasang penggantinya yang bisa bekerja sesuai harapan masyarakat
banyak,” katanya.
Terkait posisi Sekda Banten yang saat ini diisi oleh Pelaksana harian
(Plh) setelah Ranta Soeharta mengundurkan diri, ia mengatakan, Gubernur
Banten memiliki hak prerogratif untuk menunjuk Sekda Banten. Namun
demikian, penunjukan Sekda Banten harus mengedepankan penilaian yang
objektif.
“Diingatkan juga, karena beban tanggung jawabnya sangat besar dan
memerlukan kerja sama yang solid dan objektif serta transparan, misal
dalam hal pengelolaan keuangan daerah, makanya harus dipilih yang mampu
maksimal segalanya dalam bekerja sama dengan gubernur sebagaimana
diamanatkan Undang-undang ASN,” ujarnya.
0 comments:
Post a Comment