Suatu hari seorang Darwisy (zahid/ulama) menemui “Amir al-Mukminin (pemimpin kaum muslimin, raja) di istananya. Sang Darwisy sengaja diundang untuk dimintai nasehatnya.
Ia kemudian mengatakan ; “Wahai Amir al-Mukminin, aku baru saja
pulang dari mengembara di negeri Cina. Pemimpin negeri itu mengalami
sakit pendengaran sehingga tuli, tak bisa mendengar.
Suatu hari aku mendengar dia menangis. Ketika ditanya mengapa dia menangis, ia menjawab:“Demi Tuhan, aku tidak pernah menangisi ketulianku. Aku telah menerima
keputusan Tuhan atas diriku ini. Tetapi aku menangis karena melihat di
depan pintu istanaku ada rakyatku yang hatinya sakit, karena teraniaya
hak-haknya. Dia tampaknya menjerit meminta tolong, tetapi aku tidak
mendengarnya. Meskipun demikian aku bersyukur kepada Tuhan karena mataku
masih bisa melihat dengan jelas. Sang Pemimpin Cina lalu memanggil
pembantunya dan memintanya untuk mengumumkan kepada khalayak rakyat
bahwa “siapa saja di antara rakyatku yang dizalimi agar mengenakan baju
merah”.
Sang Pemimpin kemudian naik di atas punggung gajah dan berkeliling
menyusuri jalan-jalan di pelosok-pelosok negeri itu (blusukan). Manakala
matanya melihat orang berbaju merah dia memanggilnya dan memintanya
menceritakan nasib dirinya. Ia kemudian memerintahkan para menterinya
untuk segera memperhatikan pengaduannya dan menyelesaikannya sesuai
dengan hukum yang adil.
Si Darwis mengatakan:
”Lihatlah tuan Amir al-Mukminin, betapa dia yang “kafir” (menurut
keyakinanmu-red) itu memberikan kasih sayang dan perhatiannya yang luar
biasa kepada hamba-hamba Allah. Tuan adalah seorang yang beriman
kepada-Nya, bahkan juga termasuk keturunan Nabi. Aku ingin melihat
bagaimana tuan bisa bertindak terhadap rakyatmu dengan penuh kasih,
(seperti dia)”. (Al-Ghazali: al-Tibr al-Masbuk, hlm.24).
Penulis: KH Husein Muhammad, Arjawinangun Cirebon.
0 comments:
Post a Comment