PANDEGLANG-Pengamat politik dari Universitas Mathla’ul Anwar Banten, Eko
Supriatno mengatakan, perlu adanya dorongan untuk mendongkrak
partisipasi masyarakat pada Pilkada 2020 nanti.
Menurut Eko, semakin tinggi tingkat partisipasi pemilih dalam suatu
pemilu akan berdampak positif terhadap legitimasi kandidat atau calon
terpilih, sehingga dapat bermanfaat bagi kandidat terpilih dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai kepala daerah.
“Sebaliknya, manakala tingkat partisipasi pemilihnya rendah dan
apalagi suara calon terpilih kalah dibandingkan yang tidak menyalurkan
hak pilihnya (golput), maka legitimasi calon terpilih menjadi rendah dan
patut dipersoalkan. Partisipasi dan legitimasi politik yang rendah
tentu akan menyulitkan kepala daerah menjalankan fungsi dan perannya,”
kata Eko dalam Keterangan tertulisnya, Rabu (26/2/2020).
Seperti diketahui pada 23 September 2020 mendatang, warga Kabupaten
Pandeglang akan kembali menentukan pemimpin lima tahun kedepan.
Masyarakat sebagai subjek di Pilkada seharusnya menjadi bagian penting
untuk turut serta dalam tahapan pemilihan.
Maka dari itu, dosen fakultas hukum dan sosial UNMA Banten ini
memberi saran pemilihan kepala daerah perlu dibuat eksotis partisipasi
masyarakat secara ideologis tak lepas dari daya eksotis dalam pemilu.
Terutama munculnya persaingan pandangan politik antara kubu para
calon-calon nanti.
“Persoalan partisipasi pemilih, tentu saja tidak berdiri sendiri,
melainkan ada banyak faktor,” kata Pembina Future Leader for Anti
Corruption (FLAC) Regional Banten ini
Pertama dalam undang-undang nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada maupun
PKPU No 7 Tahun 2015 tentang Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil
Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota,
membatasi ruang gerak calon untuk melakukan sosialisasi hanya oleh KPU
kota/kabupaten/provinsi, khususnya terkait pemasangan alat peraga
kampanye di ruang terbuka.
“Regulasi semacam ini bukan hanya dianggap menguntungkan petahana
(incumbent) karena tanpa sosialisasi yang maksimal pun dengan
kedudukannya sebagai pejabat pasti akan lebih dikenal masyarakatnya. Hal
ini juga berakibat kampanye pilkada menjadi kurang meriah dan akhirnya
tidak menarik minat masyarakat,”ungkapnya.
Kedua, sejumlah partai politik hanya sebagai rental politik. Konflik
internal dalam tubuh partai-partai tersebut bukan saja menyulitkan para
Partai Politik dalam memproses dan mengajukan kandidat yang benar-benar
memiliki tingkat elektabilitas dan popularitas tinggi.
Hal itu mengakibatkan pemilih, khususnya konstituennya menjadi tidak
terlalu bergairah mendukung sepenuh hati. Ketiga, calon atau kandidat
yang diusung oleh partai politik maupun yang berasal dari calon
independen dianggap kurang memiliki nilai jual tinggi (marketable),
gereget, dan mendorong sentimen positif masyarakat.
” Keempat, terjadinya trend penurunan tingkat kepercayaan masyarakat
atau pemilih erhadap pilkada, institusi politik maupun kandidatnya
sebagai instrumen perubahan dan perbaikan masyarakat,”tutup Eko
0 comments:
Post a Comment