JAKARTA – Kekhawatiran berkurangnya nilai ekspor akibat efek
penurunan ekonomi Tiongkok setelah merebaknya wabah virus korona
mengindikasikan kegagalan strategi perdagangan pemerintah. Kondisi ini
juga menegaskan bahwa kebergantungan pada ekspor bahan mentah merupakan
kebijakan yang tidak berkelanjutan.
Peneliti Institute International Studies (IIS) UGM Yogyakarta,
Indrawan Jatmika, mengatakan negara-negara yang sepenuhnya tergantung
pada Tiongkok akan menanggung dampak ekonomi. “Indonesia juga terdampak
karena banyak mengekspor bahan mentah ke Tiongkok. Di sisi lain, impor
produk Tiongkok ke Indonesia juga cukup besar. Jadi, kalau Tiongkok
tidak sehat, Indonesia ikut sakit,” katanya saat dihubungi, Rabu (5/2).
Berdasarkan data UNComtrade, nilai ekspor bahan mentah Indonesia ke
Tiongkok mencapai 24,41 miliar dollar AS pada 2018 dan 25,85 miliar
dollar AS pada 2019. Dari nilai ekspor 2018 ini, sebanyak 8,79 miliar
dollar AS merupakan bahan bakar mineral dan produk turunannya (lihat infografis).
Banyaknya kerja sama yang dijalin antara Indonesia dan Tiongkok akan
semakin memperbesar dampak ekonomi yang dirasakan kedua negara. Bagi
Tiongkok, Indonesia adalah pasar yang besar melalui proyek-proyek yang
akan dicanangkan pada 2020. “Inilah yang menyebabkan Indonesia sangat
bergantung pada Tiongkok,” ujar Indrawan.
Menurut Indrawan, seharusnya Indonesia sejak dulu mendiversifikasi
produk ekspor sehingga tidak mudah goyah ketika negara tujuan ekspor
mengalami penurunan ekonomi. “Mengapa harus barang mentah yang
diekspor? Seharusnya kan diolah dulu di dalam negeri agar berdaya saing tinggi. Ini karena rent seeking sehingga yang diekspor bahan mentah. Seharusnya, jangan andalkan bahan mentah untuk ekspor” paparnya.
Indrawan menyayangkan para pembantu presiden tak peduli dengan
perkembangan ekspor. Seolah, mereka aji mumpung menjadi pejabat. “Mereka
tidak perduli negara ini jatuh asalkan dia bisa kaya sendiri,”
tegasnya.
Dihubungi terpisah, ekonom Core Indonesia, Piter Abdullah,
mengatakan dampak virus korona sangat signifikan terhadap perkembangan
perekonomian dunia. “Untuk Indonesia sendiri sudah terlihat dengan
menurunnya aliran modal asing di pasar modal dan melemahnya rupiah,”
katanya.
Selain itu, pembatasan impor juga akan menyebabkan dampak negatif
kepada industri yang menggantungkan bahan baku dari Tiongkok sehingga
berpotensi menghambat pertumbuhan ekspor Indonesia. “Wabah korona bisa
menyebabkan turunnya harga komoditas yang akan berpotensi semakin
menahan pertumbuhan ekspor Indonesia,” ujarnya.
Sebelumnya dilaporkan, perekonomian Tiongkok bakal menyusut sekitar
dua persen akibat merebaknya virus korona yang telah menelan korban jiwa
494 orang dan sebanyak 24.607 orang terinfeksi. Apabila pertumbuhan
ekonomi Tiongkok di bawah 4 persen akan berpengaruh ke negara
pengekspor bahan baku seperti Indonesia.
Industri Pengolahan Turun
Sementara itu, Presiden Joko Widodo memastikan pertumbuhan ekonomi
Indonesia akan melambat akibat wabah virus korona dari Tiongkok. “Ini kan masih
dalam proses perjalanan semuanya, jadi hitungnya negara mana pun juga
sulit,” kata Presiden di Istana Negara, Jakarta, Rabu.
Presiden juga mensyukuri partumbuhan ekonomi Indonesia pada 2019 di
atas 5 persen seperti yang dilaporkan Badan Pusat Statistik (BPS).
“Alhamdulillah, ini juga patut kita syukuri bahwa pertumbuhan ekonomi
masih di atas 5 persen, 5,02 persen,” ujar Jokowi.
Sebelumnya, Kepala BPS, Suhariyanto, mengumumkan pertumbuhan ekonomi
Indonesia 2019 turun jadi 5,02 persen, dari capaian 2018 yang mencapai
5,17 persen. Salah satu penyebabnya adalah pertumbuhan sektor industri
pengolahan yang melemah.
Padahal, sektor industri pengolahan memiliki peran tertinggi dalam
ekonomi Indonesia. “Jadi apa yang terjadi di industri, akan memiliki
pengaruh besar,” kata Suhariyanto.
Pada 2019, sektor industri pengolahan hanya tumbuh 3,8 persen, turun dari tahun sebelumnya yang mencapai 4,27 persen. A
0 comments:
Post a Comment