Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka kemiskinan turun di bawah
10 persen September 2019 yang diklaim sebagai dampak pembangunan
infrastruktur, pemerataan pembangunan, serta program dana desa. Perlu
penegasaan, benarkah rakyat miskin semakin menurun dan semakin
sejahtera.
Secara statistik, kemiskinan memang menurun, namun belakangan ada
fakta kenaikan harga kebutuhan pokok, khususnya telur yang terus meroket
di berbagai daerah. Kenaikan tersebut tidak dapat dilepaskan dari efek
kenaikan harga BBM dan listrik yang cukup sering.
Berbagai sektor industri makanan dan minuman juga ikut terpukul
karena pelemahan rupiah. Kenaikan harga akibat tidak optimalnya tata
niaga sembako dari hulu ke hilir juga turut memperparah kondisi ekonomi
masyarakat kelas bawah. Jika kondisi ekonomi kian sulit, mengapa data
statistik berkata lain?
Menurut BPS, garis kemiskinan per September 2019 adalah 401.220 rupiah
per bulan. Seseorang tidak lagi dianggap miskin bila total
pengeluarannya per bulan di atas angka tersebut. Jika diturunkan lebih
sederhana lagi, seseorang dengan pengeluaran di atas 13.777 rupiah per
hari, tidak masuk golongan orang miskin.
Untuk mempermudah pemahaman angka tersebut, mari bayangkan situasi
demikian. Seseorang pemulung yang hanya tinggal di sebuah gubuk kecil
nyatanya mampu berpenghasilan 20 ribu per hari. Sebanyak 15 ribu untuk
makan 2 kali. Total pengeluaran per hari pemulung tersebut telah di atas
13.777, yang hanya untuk makan. Ini belum terhitung pengeluaran lain
yang tentu butuh biaya yang tidak sedikit.
Sekarang, mari gunakan perspektif masing-masing. Apakah pemulung
tersebut sudah layak dianggap sebagai orang mampu hanya karena
pengeluarannya di atas 13.777 per hari? Faktanya, BPS telah mengeluarkan
angka tersebut. Pemerintah pun sudah merasa cukup gembira.
Orang-orang seperti kasus tadi tidak lagi dianggap miskin. Tidak lagi
butuh bantuan pemerintah untuk menopang hidupnya. Sebab, mereka sudah
dianggap sejahtera. Sungguh, sebuah ironi yang jauh dari realitas.
Bappenas menilai, garis kemiskinan BPS tersebut ditetapkan
berdasarkan rumus pendekatan kebutuhan kalori manusia yang dipengaruhi
harga acuan di setiap daerah. Di sisi lain, Bank Dunia menetapkan
standar internasional garis kemiskinan sebesar 1,9 per dollar AS hari,
atau setara dengan 27.170 per hari (kurs 14.300).
Artinya, garis kemiskinan yang ditetapkan internasional mencapai 2
kali dari hitunga n garis kemiskinan pemerintah. Menurut Direktur
Institute for Development of Economics and Finance, Enny Sri Hartati,
jika menggunakan penghitungan Bank Dunia, kemiskinan Indonesia akan
tembus 70-an juta jiwa. Ini sangat jauh melambung dari perhitungan
pemerintah yang hanya 25,95 juta.
Jika garis kemiskinan Bank Dunia dianggap terlalu tinggi, pemerintah
boleh saja tetap teguh berpendirian pada garis kemiskinan BPS. Namun,
harus diingat ada juga istilah masyarakat “rentan miskin” yang selama
ini kerap kali diabaikan. Mereka rentan miskin bila pengeluaran per
kapitanya sedikit di atas garis kemiskinan BPS. Kelompok ini sangat
rawan menjadi miskin kembali jika kondisi ekonomi tergoncang.
Dengan data BPS, pemerintah boleh saja mengeklaim orang miskin telah
berhasil diturunkan beberapa tahun terakhir. Namun, pemerintah juga
harus secara fair menjelaskan stagnasi jumlah orang rentan miskin yang
mencapai 40 juta. Ini jauh lebih banyak dari masyarakat dalam kategori
miskin.
Turun
Banyak indikator untuk mengukur kesejahteraan rakyat secara lebih
spesifik. Sayangnya, indikator-indikator lain itu justru menunjukan
sebaliknya. Misalnya, kenaikan tingkat ketimpangan di perdesaan menjadi
0,324 poin Maret 2019. Ini berarti naik 0,004 poin dari tahun lalu.
Padahal, sebagai lumbung terbesar kemiskinan, ketimpangan ekonomi
perdesaan sudah sepatutnya ikut menurun andai memang kesejahteraan
masyarakat semakin baik. Hal ini tentu menjadi sebuah paradox. Sebab
saat yang sama pemerintah mengeklaim kemiskinan bisa turun. Salah
satunya karena program dana desa yang tahun lalu mencapai 60 triliun
rupiah.
Selama 4 tahun pemerintahan Joko Widodo, upah riil buruh tani juga
menurun dari 39.382 rupiah menjadi 37.711. Ini mengindikasikan, upah
buruh tani yang meksipun secara nominal naik, secara riil tidak mampu
melawan gempuran inflasi akibat melambungnya harga kebutuhan pokok. Ini
tentu menjadi sebuah ironi di tengah fakta, sekitar 60 persen rakyat
miskin bekerja di sektor pertanian.
Indikator lain yang menjadi paradox, penurunan daya beli masyarakat
beberapa tahun terakhir. Padahal, jika kemiskinan dikatakan berkurang,
seharusnya di atas kertas pengeluaran masyarakat miskin bertambah.
Terlepas dari segala paradoks yang muncul, perlu digarisbawahi bahwa
selama 4 tahun pemerintahan Kabinet Kerja berjalan, angka kemiskinan
turun 1,43 persen.
Ini berarti ada pengurangan dari 11,25 persen tahun 2019 menjadi 9,82
persen 2019. Dengan sisa waktu kurang lebih setahun, diharapkan
pemerintah mampu menurunkan angka kemiskinan lebih banyak lagi.
Munculnya angka penurunan kemiskinan dari BPS hendaknya disikapi secara
bijak.
Pengentasan kemiskinan yang inklusif memang tidak mudah dan butuh
waktu tidak sebentar. Semoga kemiskinan bisa diminimalkan dengan
dibangunnya jalan tol atau memperkuat tol laut bersama pembangunan
infrastruktur perdesaan melalui dana desa. Dengan demikian,
produktivitas petani meningkat. Pembinaan dan pengawasan yang ketat
menjadi kunci dalam penyaluran dan pemanfaatan dana desa agar
menghasilkan kebijakan tepat sasaran.
Penulis Lulusan Universitas Brawijaya
0 comments:
Post a Comment