Sejak kemunculannya, wabah Corona sudah merenggut begitu banyak
kematian di seluruh dunia, termasuk Indonesia saat ini. Meskipun seruan
demi seruan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah dan tokoh agama,
agar mengikuti imbauan jaga jarak, isolasi diri, tapi bagi segelintir
kalangan, bahasa “takut tuh pada Allah bukan pada Corona” masih kerap
didengungkan.
Bahkan terkadang, ada bahasa, yang takut pada Corona, terancam
musyrik. Dosa syirik tiada ampun. Neraka tempatnya. Anjuran itu, sama
sekali tidak salah. Tapi, sungguh arif jika pihak yang merasa memiliki
otoritas keagamaan, menawarkan perspektif lain. Jangan diberi kacamata
kuda. Bahwa, tidak mudah mengajak umat berdoa, apalagi khusyuk, kalau
tak ada rasa takut. Mana bisa air mata menetes jika tak ada yang
membuatnya takut. Rasa takut, lahir dari kesadaran terdalam.
Melalui tulisan ini kita berupaya meluruskan ucapan sebagian orang,
di tengah wabah corona akhir-akhir ini. “Aku ngga takut corona. Aku
hanya takut kepada Allah“.
Simak penjelasanya berikut ini:
Di saat rombongan Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu ’anhu mengadakan
agenda kunjungan ke negeri Syam, beliau mendapatkan kabar bahwa di Syam
sedang tersebar wabah tho’un. Sehingga beliau pun mengurungkan rencana
kunjungan tersebut.
Abu Ubaidah radhiyallahu ’anhu sebagai gubernur Syam ketika itu, menyayangkan batalnya kunjungan itu. Beliau berkata kepada Umar,
يا أمير المؤمنين، أفراراً من قدر الله؟
“Wahai Amirul Mukminin.. Mengapa anda lari dari takdir Allah?“
Lalu Umar radhiyallahu ’anhu menjawab dengan sangat hikmah,
لو غيرك قالها يا أبا عبيدة! نعم، نفرّ من قدر الله إلى قدر الله،
أرأيت لو كانت لك إبل فهبطت واديا له عدوتان، إحداهما خصبة، والأخرى جدبة،
أليس إن رعيتَ الخصبة رعيتَها بقدر الله، وإن رعيت الجدبة رعيتَها بقدر
الله؟
“Aku berharap bukan Anda yang mengucapkan itu, ya Abu Ubaidah.
Iya benar, kami sedang lari dari takdir Allah menuju takdir Allah yang
lain. Seandainya kamu punya unta, kemudian ada dua lahan yang subur dan
yang kering. Bukankah bila Anda gembalakan ke lembah yang kering itu
adalah takdir Allah, dan jika Anda pindah ke lembah subur itu juga
takdir Allah?!
“Iya benar…” Jawab sahabat Abu Ubaidah radhiyallahu ’anhu.
Umar pun takut pada wabah tho’un, kemudian berikhtiar menghindar.
Padahal beliau adalah salah satu dari sepuluh sahabat yang dijamin
masuk surga, Khalifahnya Rasulullah, orang yang Nabi pernah bilang, “kalau ada Nabi setelahku, maka Umar orangnya.”
Sosok yang pernah Nabi ceritakan bahwa setan tidak berani melewati
jalan yang dilewati oleh Umar. Kita siapa? Umar bukan? Nabi bukan? Rasul
bukan? Shalih juga masih ragu-ragu? Kemudian petantang-petenteng?!
Ini menunjukkan bahwa, sebenarnya takut kepada Corona tidak bertentangan dengan takut kepada Allah. Karena takut kepada makhluk yang bisa mendatangkan bahaya, tergolong takut yang sifatnya tabiat (thobi’i).
Allah Ta’ala memaklumi adanya takut seperti ini pada diri
manusia. Karena itu bagian dari fitrah yang Allah tanamkan pada diri
manusia. Sehingga tidak perlu dipertentangkan dengan takut kepada Allah.
Bahkan manusia yang mulian yaitu para Nabi, pun merasakan takut ini. Sebut saja Nabi Musa ‘alaihis salam. Allah Ta’ala berfirman,
فَخَرَجَ مِنۡهَا خَآئِفٗا يَتَرَقَّبُۖ قَالَ رَبِّ نَجِّنِي مِنَ ٱلۡقَوۡمِ ٱلظَّٰلِمِينَ
“Maka keluarlah Musa dari kota itu dengan rasa takut, waspada
(kalau ada yang menyusul atau menangkapnya). Dia berdoa, “Ya Tuhanku,
selamatkanlah aku dari orang-orang yang zhalim itu.” (QS. Al-Qashash: 21)
Saat Allah menunjukkan mukjizat Nabi Musa dihadapan para penyihir
Fir’aun, ketika tongkat beliau berubah menjadi ular, Musa gelisah
ketakutan.
وَأَلۡقِ عَصَاكَۚ فَلَمَّا رَءَاهَا تَهۡتَزُّ كَأَنَّهَا جَآنّٞ
وَلَّىٰ مُدۡبِرٗا وَلَمۡ يُعَقِّبۡۚ يَٰمُوسَىٰ لَا تَخَفۡ إِنِّي لَا
يَخَافُ لَدَيَّ ٱلۡمُرۡسَلُونَ
“Lemparkanlah tongkatmu!” Maka ketika (tongkat itu menjadi
ular dan) Musa melihatnya bergerak-gerak seperti seekor ular yang gesit,
larilah dia berbalik ke belakang tanpa menoleh. ”Wahai Musa! Jangan
takut! Sesungguhnya di hadapan-Ku, para rasul tidak perlu takut.” (QS. An-Naml: 10)
Lihatlah, Nabi Musa pun takut kepada ular. Apakah sekelas Nabi
Musa yang kualitas takwa dan tauhidnya jelas terjamin baik; bayangkan
beliau termasuk Nabi Ulul Azmi, melihat ular-ular itu kemudian berkata, “Saya ngga takut ular. Saya hanya takut kepada Allah. Sini ular saya cincang kalian.”?! Ternyata
tidak, Allah Tuhan yang maha tahu isi hati manusia sendiri bahkan yang
menceritakan dan tidak mengingkari adanya takut jenis itu pada diri
Musa.
Saudaraku yang dimuliakan Allah…
Ketahuilah bahwa, takut kepada Allah harus didasari ilmu. Bukan bermodal semangat saja.
Di dalam Al-Qur’an, Allah menyandingkan rasa takut kepadaNya dengan ilmu.
إِنَّمَا يَخۡشَى ٱللَّهَ مِنۡ عِبَادِهِ ٱلۡعُلَمَٰٓؤُاْۗ
“Hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah orang-orang yang berilmu. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Maha Pengampun.” (QS. Fathir: 28)
Bisa pembaca rasakan, ungkapan di atas lebih di dasari ilmu atau semangat?
Sama jawaban kita, semboyan di atas hanya didasari semangat tanpa
ilmu. Sehingga lebih pantas disebut nekad, bukan takut kepada Allah.
Bukti bahwa semboyan di atas tidak didasari ilmu adalah, hampir
bisa dipastikan orang yang memegang semboyan itu adalah kalangan awam
terhadap ilmu agama dan ilmu medis. Silahkan perhatikan, tak ada satupun
ulama atau ustadz, yang mumpuni ilmu agamanya, apalagi dokter, yang
berprinsip demikian. Rata-rata yang memegang prinsip itu adalah orang
awam yang tidak punya kapasitas di bidang ilmu agama dan juga kesehatan.
Atau, orang awam yang diustadzkan.
Silahkan, sekarang mau pilih ikut yang mana sahabat?
Kita hidup di bumi Allah teman. Maka harus patuh pada hukum Allah
yang berlaku di bumi ini. Jangan membuat hukum sendiri di alam ini.
Kecuali kalau punya alam sendiri. Allah tetapkan di dunia ini ada hukum
sebab akibat. Anda mau dapat sesuatu, harus ada upaya (ikhtiyar). Anda
tidak mengupayakan sebab, tak mungkin mendapatkan akibat atau hasil.
Maryam saja, sosok yang sudah jelas dicintai Allah, saat akan melahirkan Nabi Isa ‘alaihis salaam, untuk mendapatkan buah kurma, Allah perintahkan dia untuk melakukan sebab, yaitu menggoncang pohon kurma agar buah berjatuhan,
وَهُزِّيٓ إِلَيۡكِ بِجِذۡعِ ٱلنَّخۡلَةِ تُسَٰقِطۡ عَلَيۡكِ رُطَبٗا جَنِيّٗا
“Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya (pohon) itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu.” (QS. Maryam: 25)
Kita siapa brother? Tidak mau berusaha?! Maunya semua gratis? Kadang kita suka pede keterlaluan.
Orang yang seperti itu, sama saja dengan orang yang ingin punya
anak tapi tidak mau nikah. Berdoa saja. Pengen dapat rizki tapi tidak
usah kerja, yang penting doa saja.
Coba kepada orang yang berprinsip seperti itu, kita ajak ke
kandang singa atau buaya. Tolong tinggal di situ satu atau dua jam saja,
sambil lantang berteriak, “Woi singa… woi buaya.. kemari, aku ngga
takut sama kalian. Aku takut kepada Allah.”
Berani menerima tantangan ini?! Kalau masih pikir-pikir berarti
tidak konsisten dengan prinsip yang dia pegang. Wallahua’lam bis
showab.[asa]
0 comments:
Post a Comment