![]() |
Jurnalis Inspiratif Indoensia. Dari kiri atas: Najwa Shihab, Linda Christanty, Muhlis Suhaeri, Metta Dharmasaputra.
|
JAKARTA-Ada sebuah kutipan yang terkenal dari Yus Arianto dalam bukunya yang
berjudul Jurnalis Berkisah. “Jurnalis, bila melakukan pekerjaan dengan
semestinya, memanglah penjaga gerbang kebenaran, moralitas, dan suara
hati dunia,”. Kutipan tersebut benar-benar menggambarkan bagaimana
seharusnya idealisme seorang jurnalis dalam mengamati dan mencatat.
Lantas masih adakah seorang jurnalis dengan idealisme demikian?
Menjadi seorang jurnalis bukanlah suatu hal yang mudah. Mereka
mendedikasikan seluruh hidupnya untuk memberikan informasi yang valid
berdasarkan fakta-fakta yang ada. Menyuarakan kebenaran informasi sudah
menjadi prinsip hidup sekaligus tantangan bagi mereka. Dalam menempuh
jalan jurnalistik, akan selalu ada rintangan dari pihak-pihak yang
merasa dirugikan atas pemberitaan.
Apalagi adanya budaya suap-menyuap, sebuah informasi menjadi sangat
mudah untuk diperjual belikan. Hal itu dilakukan semata-mata hanya untuk
memuaskan sebelah pihak. Tanpa adanya profesionalitas, mereka hanya
akan berorientasi pada uang dan dengan mudah disetir oleh pihak yang
berkuasa. Seperti di era Presiden Soeharto dimana kebebasan pers begitu
dikekang oleh otoritas.
Metta Dharmasaputra, salah satu jurnalis yang terkenal karena
keberaniannya dalam membongkar skandal penggelapan dana dalam kasus PT
Asian Agri. Ia adalah pendiri dan direktur PT Kata Data, sebelumnya ia
bekerja sebagai wartawan senior Majalah Tempo dan banyak menulis
peliputan investigatif. Praktik suap dan rekayasa pajak PT Asian Agri
Group yang diusutnya berdampak pada permusuhan dari pihak terkait
terhadap dirinya.
Metta bahkan harus menjalani pemeriksaan oleh Dewan Pers dan terancam
dipenjara. Namun dengan profesionalitas yang dimilikinya, ia sanggup
membela diri dan terlepas dari tuduhan tersebut. Pemberitaan skandal
tersebut membawanya meraih penghargaan Udin Award pada tahun 2010 yang
didedikasikan kepada jurnalis yang memperjuangkan proses pemberitaan
meski memperoleh intimidasi.
Sosok jurnalis lain yang juga memiliki andil besar dalam dunia
jurnalistik adalah Najwa Shihab. Kisah liputannya yang mengharukan saat
meliput kondisi Aceh pasca tsunami pada tahun 2004 dan usahanya merintis
program Mata Najwa merupakan sedikit dari banyak prestasinya. Ia
terkenal akan kecerdasan dan ketegasannya dalam mengusut masalah politik
dan hukum di Indonesia. Tidak jarang kritik-kritiknya membuat jengkel
para politisi.
Menanggapi hal tersebut, Najwa hanya berkomentar, “Tak ada yang salah
dengan keberpihakan, apalagi jika menyangkut kebijakan publik. Kalau
tidak, what do you stand up for?” Jurnalis harus bisa mempertahankan
tugas dan fungsinya sebagai corong informasi, kubu kritik pemangku
kekuasaan, hingga pengungkap kebenaran untuk publik.
Selain itu, ada beberapa jurnalis yang juga memperjuangkan
pemberitaan di daerah konflik. Mereka rela mengorbankan tenaga, waktu,
dan nyawanya demi menghasilkan suatu berita yang berkualitas. Muhlis
Suhaeri salah satunya, ia menjadi saksi sejarah dengan mengabdikan
dirinya untuk memberitakan kondisi di Kalimantan dalam kasus G30S/PKI.
Sosok Linda Christanty juga memberikan kontribusinya dengan
mendirikan dan memimpin kantor berita di Banda Aceh untuk memantau
rekonstruksi dan rehabilitasi pasca tsunami proses perdamaian di Aceh.
Begitu juga dengan Mauluddin Anwar yang terbang ke Lebanon untuk meliput
perang yang terjadi di Beirut. Ia bahkan berhasil mewawancarai presiden
Lebanon tentang konflik yang terjadi di jalur Gaza.
Taruhan nyawa telah menjadi konsekuensi yang harus diambil dalam
memberitakan kondisi saudara kita di daerah konflik. Mereka harus
menyusur daerah yang sulit dijangkau hanya untuk mendapatkan kebenaran
dari tragedi tersebut. Medan konflik bukanlah tempat yang diimpikan
banyak orang, namun semua itu ditepisnya. Bagi mereka, jurnalis tidak
hanya sebatas pemberitaan, tetapi rasa empati yang membawa mereka untuk
bertahan di sana.
Dari perjuangan jurnalis-jurnalis inspiratif tersebut, bidang yang
digeluti para jurnalis memang berbeda-beda. Ada jurnalis di bidang
politik, hukum, kemanusiaan, dan lainnya. Namun, hal tersebut tidak
terlepas dari idealisme mereka sebagai jurnalis yang menjunjung
kebenaran, moralitas, dan menyuarakan suara hati masyarakat. Mereka
adalah jurnalis-jurnalis handal dan profesional yang patut menjadi
panutan bagi jurnalis lain.
Di masa depan, tantangan yang dihadapi dunia jurnalistik dalam
mengabarkan berita faktual akan semakin berat. Di sejumlah negara,
kebebasan pers dalam jurnalistik merupakan hal yang langka. Masih banyak
pegiat jurnalistik di mancanegara yang terbelenggu dalam menyuarakan
kebenaran. Karenanya, Indonesia membutuhkan generasi jurnalis yang
mumpuni untuk menjunjung kebebasan pers.
Kepada jurnalis dan calon jurnalis dunia, tidak ada kata terlambat
untuk memulai berjuang menjunjung kebebasan pers. Kita bisa membuktikan
bahwa jurnalis yang independen dan idealisme sejatinya benar-benar ada.
Selalu siap mengabdi dalam membumikan kebenaran dan menyuarakan suara
hati masyarakat. Layaknya kutipan dari seorang jurnalis, Jarar Siahaan,
“Jurnalisme adalah jalan pedang kalau bukan jalan sunyi”.
Ditulis oleh:Shinta Ulwiya
Mahasiswa Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota ITS
Angkatan 2019
Reporter ITS Online
0 comments:
Post a Comment