JAKARTA – Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, mengakui
besarnya dampak wabah Covid-19 ke ekonomi lebih kompleks dari krisis
keuangan tahun 2008 dan krisis moneter tahun 1998. Hal ini disebabkan
tidak adanya kegiatan ekonomi dan juga tidak ada yang mengetahui kapan
berakhirnya pandemi ini.
“Dampak Covid-19 ini jauh lebih kompleks, bahkan dari krisis
2008–2009 dan 1997– 1998. Krisis sebelumnya kita tahu penyebabnya. Kalau
wabah korona tidak ada jangkar karena tidak tahu kapan berhentinya.
Apakah sudah setelah puncak mengerikan atau dalam situasi lebih baik,”
kata Menkeu Sri Mulyani pada rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI secara
virtual di Jakarta, Senin (6/4).
Untuk itu, Menkeu menekankan kunci utama dalam menghadapi pandemi
Covid-19 adalah tidak boleh terjadi kepanikan di dalam negeri, karena
dari sejumlah negara yang melakukan berbagai kebijakan belum ditemukan
satu rumus yang dianggap sukses dalam mengatasi permasalahan ini.
“Kita tidak boleh panik, yang akan meningkatkan risiko kematian, dan
itu terjadi di beberapa negara. Atau salah langkah dalam melakukan lockdown bisa timbulkan chaos, lalu perburuk penularan,” jelasnya.
Pada kesempatan itu, Menkeu mengungkapkan skenario terburuk ekonomi
Indonesia hanya bisa tumbuh 2,3 persen dari prediksi awal tahun ini
sekitar 5 persen. “Skenario kita 2,3 persen ini dampak dari pertumbuhan
ekonomi yang terjadi di kuartal II dan III, dan mulai membaik di kuartal
IV. Terlihat di sini dari sisi agregat demand konsumsi turun signifikan,” katanya.
Alasan Menkeu itu berdasarkan kinerja investasi yang negatif dan
ekspor yang negatif, tetapi tetap kontraksi bahkan makin dalam, demikian
juga impor negatif (lihat infografis).
Namun, Sri Mulyani optimistis proyeksi pertumbuhan ekonomi
Indonesia masih akan tumbuh di zona positif meski melambat. “Tiga negara
yang masih akan bertahan atau berada di teritori positif adalah
Indonesia, Tiongkok, dan India,” katanya.
Dilakukan Hati-hati
Terkait pengelolaan anggaran, Sri Mulyani memastikan defisit
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 yang diperkirakan
melebar hingga 5,07 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada
2020 akan dilakukan secara hati-hati. “Untuk defisit 5,07 persen, tentu
kami akan mengelola dengan hati-hati,” katanya.
Sri Mulyani mengatakan pelebaran defisit anggaran telah
mempertimbangkan model pembiayaan dari sumber yang memadai dengan risiko
biaya yang rendah.
Pemerintah memutuskan memperlebar defisit anggaran hingga 853 triliun
rupiah atau 5,07 persen terhadap PDB dari saat ini 307,2 triliun rupiah
atau 1,76 persen terhadap PDB. Pelebaran defisit anggaran ini dilakukan
dengan mempertimbangkan turunnya penerimaan dan peningkatan belanja
untuk penanganan kesehatan dan antisipasi dampak Covid-19.
Untuk menutup defisit fiskal tersebut, pemerintah berencana untuk
menambah pembiayaan anggaran hingga 852,9 triliun rupiah atau naik
545,7 triliun rupiah dari target APBN 2020. Berbagai strategi sudah
disiapkan antara lain menambah penerbitan Surat Berharga Negara hingga
160,2 triliun rupiah dari target awal sebesar 389,3 triliun rupiah.
Rencana tambahan pembiayaan lainnya adalah menerbitkan surat utang
termasuk Pandemic Bonds sebesar 449,9 triliun rupiah dan menggunakan
Sisa Anggaran Lebih 45,6 triliun rupiah.
0 comments:
Post a Comment