JAKARTA ( KONTAK BANTEN) Jika seruan menunda pembayaran pajak dari warga negara terus bergema,
maka jelas situasi fiskal negara yang sedang memburuk akan semakin
mengkhawatirkan.
Demikian disampaikan ahli kebijakan publik Ir.
Wijayanto Samirin, dalam acara Paramadina Democracy forum “Etika
Pejabat Publik dan Demoralisasi Birokrasi” yang diselenggarakan
Paramadina Public Policy Institute (PPPI) di Jakarta, Rabu (16/3/2023).
Lebih
lanjut ia menyatakan bahwa terjadinya Negara Gagal (Failed State) harus
diantisipasi dengan serius. “Sayangnya, Kemenkeu menerima situasi itu
dengan sangat defensif. Seharusnya hal-hal itu direspon lanjut dengan
kolaborasi dengan para pihak. Karena permasalahan indikasi korupsi di
Pajak/Kemenkeu jelas di atas kapasitas para pengelola keuangan negara,”
ujar dia dalam keterangannya, Kamis (17/3/2023).
“Kolaborasi
dengan para pihak jelas diperlukan karena dihadapi para pemungut
pajak/kemenkeu bukan hanya jika ingin memperbaiki angka penerimaan pajak
negara, maka yang didisiplinkan bukan hanya supply side, para pegawai
pajak, tapi juga dari sisi demand side yakni para pengusaha besar,
oligarki, tokoh berpengaruh,” tambahnya.
Wija juga menyarankan
solusi pada situasi seperti itu yakni Pertama, “Penegakan hukum,
Pendekatan insentif, dan Pendekatan Budaya. Penegakan hukum, tentu
sangat rumit di Indonesia. Kedua, Pendekatan insentif sudah dicoba tapi
ternyata tidak cukup.”
Pada Pendekatan Budaya lanjutnya, di
tengah masyarakat kita yang masih terjangkit budaya feodal dimana
melihat pada contoh budaya/perilaku para atasan, maka seharusnya
penerapan hidup sederhana dilakukan dengan konsisten.
Pembicara
lainnya Alvin Nicola dari Transparency International Indonesia (TII)
menyinggung Indeks Persepsi Korupsi di Indonesia “Berkaca pada skor
indeks persepsi korupsi di Indonesia yang memburuk belakangan,
mencerminkan upaya reformasi birokrasi banyak menemukan tantangan. Namun
tanggapan pemerintah untuk menanggapi hasil menurunnya skor CPI
Indonesia juga bukan atas apa inti persoalan sebenarnya,” katanya.
“Upaya-upaya
debirokratisasi, digitalisasi dan deregulasi yang selama ini digaungkan
ternyata tidak menyelesaikan banyak hal. Penurunan skor CPI Indonesia
bersamaan dengan semakin langgengnya intervensi politik dalam birokrasi,” ujarnya.
Dalam
paparannya Direktur PPPI, Ahmad Khoirul Umam, Ph.D menyatakan bahwa
secara teoritis, konsep good governance adalah hadiah dari paham
neoliberal yang diharapkan menjadikan proses demokrasi yang transparan
dan akuntabel bisa menghadirkan sebuah tata kelola pemerintahan yang
baik.
“Problemnya, yang terjadi di banyak negara berkembang yang
mengadopsi konsep good governance seringkali memang lebih banyak
berhenti pada proses remunerasi. Minim inovasi dan minim aspek
pengawasan.” Kritiknya.
Good governance dalam konteks reformasi
birokrasi hadir dalam bentuk digital services (OSS, INSP, STID) dan
apa-apa yang disampaikan oleh pak LBP, sama sekali belum menjawab
persoalan. Karena kunci reformasi birokrasi ada pada sumber daya
manusianya, birokratnya dan bukan pada infrastruktur dasar dari
birokrasi itu sendiri.
Umam juga mengkritisi terjadinya
demoralisasi pada birokrasi yang memunculkan pertanyaan penting pada
hal-hal yang dulu pernah dijanjikan oleh presiden Jokowi yaitu revolusi
mental. “Revolusi mental jika hanya dimaknai pada sebuah upaya untuk
menghantam kekuatan-kekuatan tertentu yang tidak sesuai dengan narasi
kepentingan kekuasaan, maka itu bukan revolusi mental,” ucapnya.
0 comments:
Post a Comment