Saat pemilu ada para calon legislatif yang menghalalkan segala macam cara. Keyakinannya adalah berpolitik itu butuh modal. Semakin besar modal yang dikeluarkan maka peluang menang semakin besar.
Saat niat menjadi caleg, apalagi nomor kecil. Angan-angan menjadi caleg semakin membuncah. Para-para penjilat pencari makan pada bangkai nanbusuk mulai menebar pesona.
Mereka berkata "Saya bisa bantu, membujuk para pemilik suara memilih nyonya/tuan, tetapi tidak ada makan siang gratis. "Berapa bisa bayar kami? Berani berapa untuk membeli suara pemilih? " jika deal, maka transaksi untung rugi disepakati.
Jika tidak punya uang, kami tidak akan bantu "Membantu secara gratisan, tentu tidak. Anda punya uang, bayar saya, maka saya akan bantu Anda"A
Apakah Anda tidak punya uang wahai para caleg? Jika tidak punya uang, maka jual semua harta kekayaan Anda, toh nanti juga akan kembali saat telah menjabat. Tinggal korupsi, nepotisme, dan kolusi (manipulasi data). Asal cerdik dan waspada terhadap hukum, akan tetap aman. Bukankah Anda juga bisa membeli hukum, dengan uang-uang kalian.
Lalu, saat pemilu usai ternyata tidak terpilih. Kemana orang-orang yang membantu pemilihan? Apakah setia, atau pergi meninggalkan. Bagaimana uang-uang yang telah dikeluarkan? Apakah bisa kembali ataukah tidak sama sekali?
Dalam politik tidak ada sahabat atau kawan sejati. Adanya suatu kepentingan. Jika tidak.ada kepentingan, maka akan dicampakan dan dijauhi. Seolah cuci tangan, merasa tidak lagi kenal, pergi begitu saja tanpa penjelasan.
Itulah politik kepentingan. Menjadi kawan saat ada. Kepentingan, jika sudah tidak ada kepentingan maka hubungan antarpersonal selesai sudah tanpa bekas.
0 comments:
Post a Comment