![]() |
AKHIR 2016, sekitar 22 penerima Nobel Perdamaian di dunia bersatu
membuat surat terbuka. Isinya, meminta Aung San Suu Kyi, penasihat
negara Myanmar sekaligus penerima Nobel Perdamaian, membuka mata dan
mengakhiri derita etnis Rohingya.
Namun, rupanya seruan itu dianggap angin lalu. Represi kembali
terjadi. Bahkan, versi pemerintah, jumlah korban tewas nyaris menyentuh
angka 400 orang. Plus, 38 ribu orang lainnya melarikan diri.
Tentu saja, jumlah tersebut hanyalah hitungan di atas kertas.
Praktisi HAM yakin kenyataannya jauh di atas itu. Mereka menuding
pemerintah Myanmar tengah melakukan genosida alias pembunuhan masal
terhadap etnis tertentu.
Rohingya memang tidak pernah diterima di Myanmar. Mereka berkali-kali
menjadi sasaran represi militer. Bahkan, UU Kewarganegaraan Myanmar
yang disahkan pada 1982 dengan jelas tidak mengakui Rohingya.
’’Militer menyuruh kami masuk rumah. Jika tidak menurut, mereka akan
membakar rumah kami, menembaki kami, atau membunuh kami. Orang muslim
tidak memiliki hak apa pun,’’ ujar Nobin Shauna, salah satu etnis
Rohingya yang lari ke Bangladesh.
Aksi serupa pernah mereka alami pada Oktober tahun lalu. Menurut
pemerintah Myanmar, 102 korban tewas dan 70 ribu orang lainnya
menyelamatkan diri ke negara lain terdekat, Bangladesh.
Hingga Kamis (31/8), militer mengklaim telah menewaskan 370 anggota
Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA). Lalu, ada dua pejabat pemerintah,
13 pasukan keamanan, dan 14 warga sipil yang menjadi korban. Militer
mengabaikan korban yang tewas karena menyeberangi derasnya arus Sungai
Naf atau Teluk Benggala saat melarikan diri. Dalam tiga hari terakhir,
46 etnis Rohingya tewas ketika dua kapal yang mereka tumpangi terbalik
di Sungai Naf.
’’Kami yakin mereka adalah etnis Rohingya,’’ kata Letkol S. M. Ariful
Islam, komandan pasukan penjaga perbatasan Bangladesh, kemarin (1/9).
Yang memilukan, ada 19 anak dalam daftar korban tewas tersebut.
Keselamatan mereka yang masuk Bangladesh pun tidak terjamin. Mereka
harus bertahan di ruang terbuka karena pemerintah setempat tidak punya
lahan lagi untuk menampung pengungsi. Pemerintah Bangladesh angkat
tangan.
PBB dan berbagai lembaga kemanusiaan menyalahkan sikap pemerintah
Myanmar atas kejadian di Rakhine saat ini. Mereka menegaskan bahwa
kelompok ARSA muncul tahun lalu lantaran pemerintah sudah melanggar HAM
secara terus-menerus dan sistematis selama beberapa dekade. ’’Cara
pemerintah merespons serangan ARSA pada Oktober tahun lalu kian memupuk
ekstremisme,’’ tutur Kepala Lembaga HAM PBB Zeid Ra’ad Al Hussein.
Kritikan kepada Suu Kyi juga terus bermunculan. Direktur Eksekutif
Nexus Fund Sally Smith menganggap pernyataan Suu Kyi di media membuat
situasi makin panas. Suu Kyi menyebut mereka yang ditembaki militer
sebagai teroris. Dia seakan membenarkan perlakuan militer Myanmar. ’’Dia
adalah peraih Nobel Perdamaian, tapi tampaknya yang terjadi saat ini
dia hanya peduli dengan kedamaian penduduk Buddha, bukan Rohingya,’’
tegasnya.
Sementara itu, Mahkamah Agung (MA) India memberikan secercah harapan
bagi etnis Rohingya yang mencari suaka di negara tersebut. Kemarin MA
setuju mengadakan dengar pendapat alias hearing terkait dengan rencana
Perdana Menteri (PM) India Narendra Modi untuk mendeportasi seluruh
etnis Rohingya di wilayahnya. Hearing akan dilakukan pada Senin (4/9).
Pernyataan Modi yang dilontarkan sebulan lalu itu tentu membuat
sekitar 40 ribu etnis Rohingya di India ketir-ketir. Tidak ada
pengecualian. Semua bakal dikembalikan. Baik itu yang tidak memiliki
dokumen maupun yang sudah didata Badan Pengungsi PBB (UNHCR) sebagai
pencari suaka. Pernyataan Modi tersebut menuai banyak kritik dari
berbagai lembaga HAM, lembaga kemanusiaan, dan politisi. Tetapi,
pemerintah India bergeming.
Etnis Rohingya jelas tidak mau kembali ke Rakhine, Myanmar. Terlebih,
saat ini konflik kembali terjadi di wilayah tersebut. Kembali ke
Myanmar sama saja dengan menyetorkan nyawa. Dua etnis Rohingya di India
akhirnya mengajukan petisi. Mereka adalah Mohammad Salimullah dan
Mohammad Shaqir. Salimullah datang ke India via Bangladesh pada 2012.
Shaqir tiba setahun sebelumnya.
’’Anda tidak bisa mengusir seseorang untuk menghadapi kematian di
negara lain. Itu melanggar pasal 21 tentang HAM,’’ jelas Prashant
Bhushan, pengacara yang mewakili dua etnis Rohingya tersebut. Salah satu
isi pasal 21 konstitusi India adalah melindungi hidup dan kebebasan
personal bagi warga negara India maupun bukan.
Nasib etnis Rohingya ibarat bola yang dioper ke sana-kemari. Mereka
tidak diakui di mana pun. Rohingya merupakan etnis terbesar yang tidak
mempunyai negara alias stateless. Myanmar menolak etnis Rohingya sebagai
warga negara meski mereka sudah tinggal di Rakhine selama berabad-abad.
Bangladesh juga tidak mengakui Rohingya adalah etnis Bengali.
Bangladesh menampung sekitar 450 ribu etnis Rohingya sejak konflik pecah
pada 1990-an. (*)
(Reuters/CNN/NYT/sha/c14/any/JPC)
0 comments:
Post a Comment