Di era otonomi daerah, sinkronisasi perda dan aturan pusat harus segera diselesaikan. Pertumbuhan investasi langsung pada 2018 setidaknya bisa mencapai 6 persen. |
JAKARTA — Sejumlah kalangan mengemukakan beberapa syarat agar Paket
Kebijakan XVI yang dikeluarkan berupa Peraturan Presiden (Perpres)
mengenai percepatan kemudahan berusaha, bisa berjalan efektif. Syarat
itu antara lain standarisasi keahlian sumber daya manusia (SDM) dan
partisipasi pemerintah daerah.
Ekonom Indef, Bhima Yudhistira, mengatakan Paket Kebijakan XVI sebenarnya cukup bagus karena ada sistem perizinan yang terintegrasi dari kementerian di pusat hingga tingkat kabupaten/kota.
Diharapkan, dengan sistem perizinan terpadu banyak investor yang
tertarik untuk menanamkan modalnya. “Pertumbuhan investasi langsung di
tahun 2018 setidaknya bisa mencapai 5,8–6,0 persen,” kata dia, di
Jakarta, Jumat (1/9).
Selama tujuh tahun terakhir, realisasi investasi dinilai seret. Rata-rata realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) hanya 27,5 persen dari total komitmen setiap tahun. Di sisi lain, rata-rata realisasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) hanya 32 persen.
Terkait efektivitas paket baru tersebut, Bhima menyatakan ada beberapa tantangan yang mesti diselesaikan. Pertama, soal standardisasi keahlian SDM yang mengurus perizinan mulai dari pusat dan daerah. “Jangan sampai sistem yang sudah baik justru menghambat investasi karena pelaksana perizinan, terutama di daerah tidak mampu mengoptimalkan proses perizinan yang ada,” jelas dia.
Kedua, berkaitan dengan partisipasi daerah. “Bagaimanapun juga saat ini kita ada di era otonomi daerah. Karena itu, sinkronisasi perda (peraturan daerah) dan aturan pusat harus segera diselesaikan,” kata Bhima.
Menurut dia, percepatan perizinan harus melibatkan pemerintah daerah. Dengan demikian, upaya meningkatkan rating kemudahan berbisnis bukan kerja pemerintah pusat semata.
“Targetnya memang cukup berat di posisi 40 besar. Tapi, saya optimistis asalkan konsisten soal reformasi perizinan bisa dongkrak peringkat hingga 70 besar di 2018, dari posisi 91 saat ini,” tandas Bhima.
Sementara itu, Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) DKI Jakarta, Sarman Simanjorang, mengatakan pelaku usaha sangat mengapresiasi inisiatif pemerintah untuk melihat hambatan investasi yang ada saat ini.
“Ke depan, peringkat kita sebagai salah satu negara yang layak tujuan investasi akan membaik. Namun, itu tidak ada artinya jika investor tidak masuk. Nah, itulah mengapa investor enggan masuk, berarti masih ada hambatan yang perlu dibenahi,” kata Sarman.
Menurut dia, pembentukan Satuan Tugas (Satgas) untuk pengawalan dan penyelesaian hambatan perizinan dalam pelaksanaan berusaha (end to end) juga sangat tepat dan harus diberikan kewenangan penuh untuk mengambil keputusan.
Sarman menambahkan tolok ukurnya harus jelas, mulai dari jaminan lama waktu perizinan, biaya, dan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah.
“Jangan sampai investor yang sudah mendapat izin dari pemerintah
pusat, malah dipersulit di daerah. Momentum tingkat kepercayaan ini
harus benar-benar dimanfaatkan agar investor segera masuk dan menanamkan
modal di Indonesia,” tukas dia.
Perizinan Usaha
Seperti dikabarkan, Presiden Joko Widodo meluncurkan Paket Kebijakan XVI di Gedung BEI, Kamis (31/8). Paket tersebut mencakup mengenai upaya percepatan penerbitan perizinan usaha dari tingkat pusat hingga daerah.
Jokowi mengungkapkan paket kebijakan itu dikeluarkan berupa Perpres mengenai percepatan kemudahan berusaha. Aturan ini bertujuan untuk memberikan kemudahan berusaha dari tahap pertama hingga akhir. “Jadi, Perpres yang diumumkan bertujuan kemudahan berusaha. Tahap pertama pembentukan satgas laku, lalu perizinan checklist,” kata Presiden.
Landasan paket kebijakan tersebut karena pemerintah menilai pertumbuhan investasi di Indonesia masih rendah yakni sebesar 1,97 persen dari rata-rata per tahun (2012–2016). Selain itu, capaian target rasio investasi sebesar 32,7 persen (2012–2016) di bawah target RPJMN sebesar 38,9 persen pada 2019.
Hal itu disebabkan pelayanan perizinan saat ini masih bersifat parsial dan tidak terintegrasi, sekuensial (berurutan), belum seluruhnya dilayani di Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), belum sepenuhnya menggunakan teknologi informasi (on-line), serta biaya perizinan yang tidak jelas.
Di samping itu, paradigma birokrasi masih sebagai “pemberi izin” dan belum “melayani”.
0 comments:
Post a Comment