Suara itu terdengar sangat jelas sekali, menggetarkan gendang telinga
ini sampai ke hati. Baru-baru ini mereka menyerang kota lagi, setelah
beberapa hari berlalu.
“Ziyad, bangun ziyad! Apa telingamu telah ditulikan karena suara yang
menggema ini? Ayo bangun!” aku berusaha membangunkan adikku yang sedang
tidur terlelap.
“Ah, kakak, ada apa ini? Ap-”
“Sudah nanti lagi bicaranya, cepat keluar!” aku memotong perkataannya.
“Ah, kakak, ada apa ini? Ap-”
“Sudah nanti lagi bicaranya, cepat keluar!” aku memotong perkataannya.
Benar saja di daerah belakang rumahku asap berkepul-kepul, kurang
lebih berjarak 400 meter dari rumahku, kejadian ini menimpa rumah-rumah
yang telah runtuh itu seketika.
“Betapa biadabnya ini!” aku bergeming dalam hati.
“Betapa biadabnya ini!” aku bergeming dalam hati.
Zaman sekarang sudah dikuasai penuh dengan teknologi, 40 tahun silam
peperangan memang kerap terjadi, hanya bermodal senjata buatan pandai
besi ulung, demi membela hak tanah kami sebagai warga yang diisolir oleh
mereka, kami terus memperjuangkannya hingga sekarang. Tak ada satu pun
titik temu, entah itu semisal perdamaian.
“Zaid!!” Teriak seseorang jelas di depanku.
“Zaid kemarilah!!”
Aku bersama adikku menghampirinya.
“Beruntung kalian berdua selamat, sebelum terlambat mari kita menuju tempat aman.”
“Zaid kemarilah!!”
Aku bersama adikku menghampirinya.
“Beruntung kalian berdua selamat, sebelum terlambat mari kita menuju tempat aman.”
Tanpa banyak berbicara, kami mengikutinya. Sembari melihat
sekeliling, terlihatlah hancurnya rumah-rumah yang sekarang rata dengan
tanah. Pepohonan yang rindang kini tidak menampakkan lagi keelokkannya.
Kini tanah menjadi gersang. Teknologi menjadi andalan mereka sekarang
ini, teknologi yang hanya bisa membombardir meluluhlantahkan
sekelilingnya, bukankah biadab? Menggunakan teknologi sebagai senjata
pemusnah massal.
“Kini kita sampai di tempat. Bantulah pasukan kita walau pun dengan
doa, semoga diantara doa orang yang banyak ini, dari kalian lah doa itu
dapat terkabul.”
“Terima kasih pa Ram telah mengantar kami.” kataku.
“Tenang saja, ini sudah menjadi tugasku untuk menolong umat. Aku akan berpatroli lagi barangkali menemukan seseorang yang perlu ditolong.” aku memegang tangannya, menghentikan langkah pa Ram.
“Izinkan aku ikut pa!”
“Zaid, tidak perlu lah kamu membantu kami, jagalah adikmu saja. Aku sangat berterima kasih kamu mau mengulurkan tangan kepada kami.”
“Baiklah pa. Hati-hati, semoga Allah Swt merahmatimu, pa.” ujarku sembari melambaikan tangan padanya.
“Terima kasih pa Ram telah mengantar kami.” kataku.
“Tenang saja, ini sudah menjadi tugasku untuk menolong umat. Aku akan berpatroli lagi barangkali menemukan seseorang yang perlu ditolong.” aku memegang tangannya, menghentikan langkah pa Ram.
“Izinkan aku ikut pa!”
“Zaid, tidak perlu lah kamu membantu kami, jagalah adikmu saja. Aku sangat berterima kasih kamu mau mengulurkan tangan kepada kami.”
“Baiklah pa. Hati-hati, semoga Allah Swt merahmatimu, pa.” ujarku sembari melambaikan tangan padanya.
Tidak hanya ada adikku dan aku, banyak orang-orang berkumpul di sini,
yang merupakan salah satu rumah sakit pusat dan tempat yang tidak
lumayan jauh dari rumah kami. Mulai dari orang yang berlumuran darah,
jerit kesakitan, tangisan anak kecil, mengisi penuh rumah sakit ini. Aku
peluk adikku yang baru berumur 10 tahun itu. Suasana penuh haru dalam
ruangan, namun kebengisan luar biasa di luaran sana. Dari sini pun sama
terdengarnya, suara bom meledak, roket bertabrakan, membuat riuh tempat
ini karenanya.
“Kak, semoga papa sama mama tidak sengsara ya, semoga buah yang mereka petik adalah setimpal.” kata Ziyad dengan tangisnya.
“Tentu adikku, mana mungkin mereka yang berjuang dalam kebenaran mendapati yang sebaliknya. Dan semoga benar perkataanmu, adikku.” kataku menenangkannya.
“Tentu adikku, mana mungkin mereka yang berjuang dalam kebenaran mendapati yang sebaliknya. Dan semoga benar perkataanmu, adikku.” kataku menenangkannya.
Betul, orangtua kami telah meninggal karena kebengisan ini. Mereka
memperjuangkan hak kami, maka balasannya akanlah setimpal. Itu yang kami
percayai. Namun beribu sayang selalu aku lontarkan kepada saudara kami,
yang mengakhiri hidupnya lebih tragis lagi, bunuh diri. Tidak suka
dengan kondisi melebihi batasnya, karena penderitaan ini kesabaran telah
kedaluwarsa. Begitu yang mereka keluhkan. Tentu tidaklah berlaku
bagiku, karena hanya sia-sia saja yang bakalan kudapati. Dan aku sangat
membenci hal itu.
Sekarang aku mencoba memantapkan hati ini untuk tegar, bersiap melaju
ke medan pertempuran. Biar pun dikata janganlah ikut membantu, sungguh
aku sudah tidak tahan akan keadaan ini. Membuat dadaku sesak saja, dan
tak lebih daripada banyaknya keluar air mata. Aku tegaskan lagi pada
diri ini, beranilah melangkah.
“Adikku, doakan kakakmu ini, yang akan mengikuti peperangan dan
meninggalkanmu di sini seorang. Kakak harap adik mengerti, karena kakak
sangat menyayangimu maka kakak harus ikut berjuang mengikuti langkah
perjalanan orangtua kita. Tentu adik pun dapat berpartisipasi dalam
perang ini, maka bantulah orang di sekitarmu ini semampumu, bantulah
mereka yang kesakitan, janganlah adik sia-siakan air mata mereka yang
terus mengalir hingga kekeringan.” ucapku sembari memeluknya.
“Kakak berangkat!” aku beranjak pergi meninggalkannya.
“Semoga perkataan kakak terkabulkan, aku akan memenuhi perintah kakak semampuku.”
“Kakak berangkat!” aku beranjak pergi meninggalkannya.
“Semoga perkataan kakak terkabulkan, aku akan memenuhi perintah kakak semampuku.”
Terlihat sesungging senyuman merekah itu dari adikku. Tulus dan tanpa
tersisa ragu dalam raut wajahnya. Aku melangkahkan kaki menuju ruang
perlengkapan perang. Bersiap bertempur menatap ke depan dengan mantap.
“Akhirnya tiba waktunya untukku berperang. Kebenaran pasti tak kan sirna dari bumi ini!”
Cerpen Karangan: Aldi Febrian
0 comments:
Post a Comment