SERANG-Pilkada Serentak 2018 ditetapkan pada tanggal 27 Juni 2018.
Sedikitnya 171 daerah ikut serta menggelar perhelatan demokrasi lima
tahun tersebut. Di Banten, empat kabupaten/kota terdaftar, antara lain
Kota Serang, Kabupaten Lebak, Kota Tangerang dan Kabupaten Tangerang. Di
antara keempat daerah itu, tiga petahana kembali meramaikan bursa,
bahkan jadi calon tunggal.
KEEMPAT pasang kepala daerah tersebut akan habis masa jabatannya pada
2018 dan awal 2019. Di Kabupaten Tangerang, kepemimpinan
Zaki-Hermansyah akan berakhir pada 22 Maret 2018. Jabatan Jaman-Sulhi di
Kota Serang berakhir pada 5 Desember 2018. Demikian juga di Kota
Tangerang, Arief-Sachrudin yang akan mengakhiri jabatan mereka pada 24
Desember 2018. Sedangkan di Kabupaten Lebak, Iti Octavia dan Ade Sumardi
akan mengakhiri kepemimpinan mereka pada 15 Januari 2019.
Di antara empat kepala daerah yang segera habis masa jabatannya itu,
tiga diantaranya kembali meramaikan bursa pencalonan. Mereka antara
lain, Bupati A. Zaki Iskandar, Walikota Arief R. Wismansyah, dan Bupati
Iti Octavia Jayabaya. Sedangkan Walikota Serang, Tb. Haerul Jaman, tidak
lagi bisa mencalonkan diri karena sudah memimpin dua periode. Jaman,
kali ini mendorong isterinya bertarung menggantikan posisinya di kursi
walikota.
Berkaitan hal ini, Peraturan Mendagri Nomor 74 Tahun 2016 telah
mengatur cuti di luar tanggungan negara bagi gubernur dan wakil
gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota.
Bagi mereka yang hendak mencalonkan kembali di pilkada, wajib mengambil
cuti tersebut.
Dalam aturan, masa cuti itu diambil sejak dimulainya masa kampanye pasangan calon kepala daerah hingga berakhir. Dan selama cuti, para kepala daerah incumbent atau petahana, bebas tugas dan dilarang memanfaatkan fasilitas negara. Mereka menjadi warga biasa sampai cutinya berakhir.
Di sinilah jabatan strategis seorang gubernur sangat terasa. Pasalnya, untuk mengisi kekosongan kepemimpinan selama masa kampanye di tingkat bupati/wakil bupati atau walikota/wakil walikota, Gubernur mengusung tiga pejabat untuk selanjutnya disodorkan kepada Mendagri agar ditetapkan salah satunya sebagai Plt Bupati/Walikota.
Disebut strategis, karena gubernur punya hak mengusulkan. Meskipun dalam aturan, mereka yang layak diusulkan harus berasal dari pejabat pimpinan tinggi pratama di Pemprov Banten. Kondisi ini yang mengharuskan adanya koordinasi yang kuat antara masing-masing bupati/walikota dengan gubernurnya. Setidaknya, gubernur bisa diminta untuk memilih pejabat yang berkomitmen kuat mengamankan program-program strategis selama masa cuti tersebut.
Dalam aturan, masa cuti itu diambil sejak dimulainya masa kampanye pasangan calon kepala daerah hingga berakhir. Dan selama cuti, para kepala daerah incumbent atau petahana, bebas tugas dan dilarang memanfaatkan fasilitas negara. Mereka menjadi warga biasa sampai cutinya berakhir.
Di sinilah jabatan strategis seorang gubernur sangat terasa. Pasalnya, untuk mengisi kekosongan kepemimpinan selama masa kampanye di tingkat bupati/wakil bupati atau walikota/wakil walikota, Gubernur mengusung tiga pejabat untuk selanjutnya disodorkan kepada Mendagri agar ditetapkan salah satunya sebagai Plt Bupati/Walikota.
Disebut strategis, karena gubernur punya hak mengusulkan. Meskipun dalam aturan, mereka yang layak diusulkan harus berasal dari pejabat pimpinan tinggi pratama di Pemprov Banten. Kondisi ini yang mengharuskan adanya koordinasi yang kuat antara masing-masing bupati/walikota dengan gubernurnya. Setidaknya, gubernur bisa diminta untuk memilih pejabat yang berkomitmen kuat mengamankan program-program strategis selama masa cuti tersebut.
“Salah besar saya kira jika ada yang beranggapan bahwa
bupati/walikota bisa melaju sendiri tanpa membangun komunikasi yang kuat
dengan gubernur. Salah satunya soal Plt. Masa kampanye itu tidak
sebentar. Dulu enam bulan, sekarang sekitar empat bulan, dan ini bukan
waktu sebentar untuk membangun image ke tengah publik. Kita ambil efek
buruknya, misalnya, nama baiknya (bupati/walikota yang cuti) perlahan
dijatuhkan (oleh Plt.). Ini bukan praduga, tapi sangat mungkin terjadi
secara politik,” ungkap Azhar, pemerhati politik di Banten.
Menurut Azhar, sebagai orang yang mengusulkan, gubernur bisa menitipkan banyak hal kepada Plt yang nanti ditunjuk. Maka bila langkah politik bupati/walikota berbeda dengan gubernur, cukup berpotensi terjadi hal-hal yang merugikan seperti yang disampaikannya tersebut.
“Jadi sebaiknya, segeralah merapat kepada gubernur. Terutama bagi kepala-kepala daerah yang langkah politiknya berseberangan dengan gubernur di pilkada kemarin. Yaah.. namanya juga jabatan politik. Dan jika politik bermain, sasarannya pasti kepentingan yang menguntungkan,” simpulnya.
Menurut Azhar, sebagai orang yang mengusulkan, gubernur bisa menitipkan banyak hal kepada Plt yang nanti ditunjuk. Maka bila langkah politik bupati/walikota berbeda dengan gubernur, cukup berpotensi terjadi hal-hal yang merugikan seperti yang disampaikannya tersebut.
“Jadi sebaiknya, segeralah merapat kepada gubernur. Terutama bagi kepala-kepala daerah yang langkah politiknya berseberangan dengan gubernur di pilkada kemarin. Yaah.. namanya juga jabatan politik. Dan jika politik bermain, sasarannya pasti kepentingan yang menguntungkan,” simpulnya.
Pejabat Pemprov Siap-siap
Bukan hanya para kepala daerah, sejumlah pejabat tinggi di lingkungan Pemprov Banten juga merugi jika memupuk rasa sinis terhadap kepemimpinan Banten saat ini. Tidak ada alasan bagi siapapun di lingkungan Pemprov Banten, untuk tidak melupakan perbedaan pilihan di pilkada Banten kemarin.
Soalnya, takdir sudah tertulis. Wahidin dan Andika, adalah gubernur dan wakil gubernur Banten periode 2017-2022. Kepemimpinan WH-Andika akan jadi icon perubahan di Banten. Siapa yang kelak tidak mendukung, berisiko dinilai tidak pro rakyat.
Terlebih, di dunia birokrasi, WH berpengalaman. Tindak tanduk birokrat yang tidak tulus bekerja, pasti terlihat. Apalagi berniat memperkaya diri. Dengan sepak terjangnya memimpin Kota Tangerang selama dua periode, WH dipastikan tahu persis sela birokrasi berbuat nakal.
“Sebaiknya kembalilah pada niat dasar dan kode etik birokrasi. Kepemimpinan WH adalah ujian memulihkan kepercayaan publik terhadap birokrasi Banten. Dengan kecerdasan dan pengalaman WH, saya kira tidak akan sulit baginya memilah pejabat yang tulus mengabdi, atau yang terkotak-kotak,” pesan sejumlah aktivis pemerhati birokrasi Banten.
Bukan hanya para kepala daerah, sejumlah pejabat tinggi di lingkungan Pemprov Banten juga merugi jika memupuk rasa sinis terhadap kepemimpinan Banten saat ini. Tidak ada alasan bagi siapapun di lingkungan Pemprov Banten, untuk tidak melupakan perbedaan pilihan di pilkada Banten kemarin.
Soalnya, takdir sudah tertulis. Wahidin dan Andika, adalah gubernur dan wakil gubernur Banten periode 2017-2022. Kepemimpinan WH-Andika akan jadi icon perubahan di Banten. Siapa yang kelak tidak mendukung, berisiko dinilai tidak pro rakyat.
Terlebih, di dunia birokrasi, WH berpengalaman. Tindak tanduk birokrat yang tidak tulus bekerja, pasti terlihat. Apalagi berniat memperkaya diri. Dengan sepak terjangnya memimpin Kota Tangerang selama dua periode, WH dipastikan tahu persis sela birokrasi berbuat nakal.
“Sebaiknya kembalilah pada niat dasar dan kode etik birokrasi. Kepemimpinan WH adalah ujian memulihkan kepercayaan publik terhadap birokrasi Banten. Dengan kecerdasan dan pengalaman WH, saya kira tidak akan sulit baginya memilah pejabat yang tulus mengabdi, atau yang terkotak-kotak,” pesan sejumlah aktivis pemerhati birokrasi Banten.
0 comments:
Post a Comment