![]() |
, “Sesungguhnya sebagian ajaran yang masih dikenal umat manusia dari perkataan para nabi terdahulu adalah bila kamu tidak malu, berbuatlah sesukamu.” (HR Bukhari). |
Malu itu sebagian dari iman, demikian sabda Nabi Muhammad SAW. Ucapan
Rasulullah secara teologis mengisyaratkan setiap perbuatan hendaknya
dilandasi rasa malu. Sifat baik tersebut hakikatnya menunjukkan kualitas
iman seseorang.
Memang, manusia itu mahkluk bermoral
ambigu, satu sisi menyenangi kebaikan dan di sisi lainnya kerap
melanggar nilai dan norma. Kita membenci korupsi, tapi kita juga memberi
ruang proses-proses berlangsungnya perbuatan tunaadab itu.
Kita
mengutuk suap, kolusi, dan nepotisme, tapi dalam kesempatan tertentu
kita juga menjadi pelakunya. Rasa malu dalam situasi seperti ini menjadi
barang langka dan berlaku seolah tak pernah terjadi apa-apa.
Padahal,
jika rasa malu itu dipancarkan dalam kehidupan beragama, berbangsa, dan
bernegara, niscaya akan berlimpah kemaslahatan. Rasulullah Muhammad SAW
mengatakan, “Malu itu tidak datang, kecuali dengan membawa kebaikan.”
Internalisasi
perilaku malu berbuat korupsi dan melawan hukum dapat diwujudkan dari
keteladanan para pemimpin. Bila pemimpin itu mewariskan kebajikan dan
taat pada hukum, niscaya masyarakat juga akan meneladaninya.
Kedua,
budaya malu dapat disosialisasikan di ranah keluarga. Peran orang tua
sangat menentukan kualitas karakter dan martabat kepribadian
anak-anaknya.Berbuat kebajikan untuk peduli kepada sesama
dan larangan mengambil yang bukan haknya termasuk tindakan bermoral
yang patut dibudayakan di lingkungan keluarga. Keluarga merupakan
benteng utama menanam benih moral bagi pembentukan nilai-nilai
kepribadian.Ketiga, melestarikan budaya malu hendaknya
diimplementasikan di lembaga pendidikan sekolah. Menurut Emile Durkheim,
sekolah mempunyai tugas dan fungsi untuk menanamkan nilai-nilai yang
bermanfaat guna mempertahankan sistem sosial. Sebagai salah satu agen
sosialisasi, sekolah memiliki peran sentral, yaitu mengubah dan
memproduksi berbagai sistem nilai budaya dari satu generasi ke generasi
berikutnya.
Kebudayaan yang diproduksi bisa berupa ilmu pengetahuan, kecakapan, nilai, dan sikap.
Keempat,
penegakan hukum merupakan salah satu instrumen penting mewujudkan
budaya malu di kehidupan masyarakat. Kerja kolektif dan sinergi
antarlembaga sosial: politik, hukum, dan aparat kepolisian dalam
memberantas korupsi serta-merta tak lepas dari pengawalan publik.
Baik
dan buruknya kualitas budaya malu tergantung pada tajam atau tumpulnya
payung hukum itu ditegakkan. Bila payung hukum tempat berteduh pencari
keadilan tersebut loyo dan rapuh, tak kalah berhadapan dengan uang dan
kekuasaan, jangan harap rasa malu kepribadian bangsa ini bisa dirawat.
Terakhir,
fungsi media massa sejatinya menjadi penompang nilai-nilai budaya
bangsa. Melalui media diupayakan kerja kreatif berupa kampanye
menggalakkan antikorupsi bisa diimplikasikan secara permanen. Sayangnya,
iklan-iklan komersial tak mendidik, seperti iklan rokok yang nyaris
membunuh jutaan orang, lebih sering menyergap ruang publik.
Sebaliknya,
iklan antikorupsi kering dan garing. Pertanyaannya, beranikah media
massa kita mengampanyekan antikorupsi serupa dengan iklan rokok sehingga
gaungnya berbunyi, “Peringatan: Koruptor Membunuhmu.”
Sebuah
pesan moral dari Rasulullah Muhammad SAW, “Sesungguhnya sebagian ajaran
yang masih dikenal umat manusia dari perkataan para nabi terdahulu
adalah bila kamu tidak malu, berbuatlah sesukamu.” (HR Bukhari).
Sayang
sekali, bangsa kita gagal menyelami adab malu. Bangsa kita lebih suka
berbuat apa saja tanpa rasa malu dan berakhir sebagai bangsa yang
memalukan. Na’udzubillah.
Oleh Sindu Adi Pradono SH
Aktivis ICW Jakarta
0 comments:
Post a Comment