![]() |
Pertemuan Komunitas Relawan Tanpa Warna (RTW) di BSD Tangerang |
Gaung Pilpres 2019 Sudah mulai Terdengar Masing Strategi Untuk Mendapat Simpati dari Pemilih sudah mulai di lakukan ada dua Kekuatan yang yang akan tampil di Pilpres 2019 kekuatan Pendukung Pemerintah dan Pendukung Non Pemerintah sedangkan Pendukung Pemerintahan yang didukung oleh koalisi partai Politik dengan kubu oposan yang perlu di perhitungakan karena mereka memiliki basic massa yang jelas dan terstruktur di semua lapisan daya
tawar-menawar politisnya sesungguhnya kurang ideal dalam praksis
demokrasi.
Situasi semacam itu bisa mengarah pada pemerintahan
yang oligarkis, yang terlalu sibuk membagi-bagi kue politik di kalangan
elite pendukung pemerintah, dengan risiko abai terhadap kepentingan
masyarakat, terutama yang di kalangan akar rumput.
Itu sebabnya,
dalam perpolitikan mutakhir di Tanah Air, kekuatan oposan seperti yang
dimainkan oleh Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan Partai
Keadilan Sejahtera (PKS) secara konsisten perlu diapresiasi.
Dalam
konteks persiapan menuju Pilpres 2019, konstelasi pengkubuan yang
terlampau berat dukungannya terhadap petahana yang membuka peluang
raibnya pesaing petahana sehingga harus melawan kotak kosong dalam
pencoblosan agaknya perlu dihindari.
Dari sinilah apresiasi perlu
diberikan kepada Ketua Umum Partai Gerindra Parabowo Subianto yang siap
maju melawan petahana (Joko Widodo) dalam rivalitas meraih kursi
kepresidenan dalam Pilpres 2019.
Bukan hanya kepada Prabowo dan
Gerindra, apresiasi yang tak kalah nilainya juga layak diberikan kepada
parpol dan elite yang memilih menjadi bagian dari koalisi kubu pesaing
petahana. Sejauh ini, partai politik yang konsisten untuk menjadi kubu
opisisi adalah PKS dan Gerindra.
Partai Amanat Nasional (PAN), dalam posisi politiknya saat ini, boleh dibilang abu-abu karena kadernya masih ada yang duduk di pemerintahan meskipun Tokoh seniornya, Amien Rais, merupakan pengkritik utama kebijakan pemerintah.
Akan halnya dengan Partai Demokrat, peran politiknya dalam berelasi dengan pemerintah juga tak selugas Partai Gerindra dan PKS.
Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB) juga bermain-main dengan peran politiknya.
Meskipun partai yang punya banyak pendukung dari kaum nahdiyin ini
berkoalisi dan kadernya memperoleh kursi kementerian untuk menjadi
pembantu Presiden Jokowi, dalam hal dukungan terhadap capres untuk
Pilpres 2019 masih menimbang-nimbang situasi politik mutakhir.
Yang
ideal, cukuplah jika koalisi pendukung petahana untuk Pilpres 2019
tidak semakin gemuk dengan bergabungnya parpol-parpol yang selama ini
masih menunggu perkembangan politik dalam menentukan dukungan koalisi.
Jokowi
sebagai petahana yang resmi dideklarasikan oleh parpol pengusungnya
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) untuk maju sebagai capres
pada Pilpres 2019 sudah didukung oleh partai besar lain Partai Golkar
dan Partai Nasdem, PPP, Partai Hanura, dan beberapa parpol pendatang
baru seperti Perindo dan Partai Solidaritas Indonesia.
Bila PAN
mengikuti langkah politik pendirinya Amien Rais, yang cenderung
mengisyaratkan kontra terhadap kebijakan Jokowi, ada kemungkinan untuk
bergabung dalam koalisi yang mendukung Prabowo.
Persoalannya, jika
terjadi keberimbangan kekuatan politik antara petahana dan penantangnya
dalam Pilpres 2019, ada sejumlah pihak yang memandangnya sebagai bahaya
karena akan terjadi pengkutuban kekuatan, yang akan membelah rakyat
menjadi dua kekuatan yang saling berhadap-hadapan dan bisa
mengkhawatirkan kestabilan dan keamanan politik menjelang pencoblosan
Pilpres yang berbarengan dengan Pileg.
Salah satu politikus yang
khawatir atas situasi pembelahan dua kubu itu adalah Ketua Umum PPP
Romahurmuziy. Sebetulnya kekhawatiran semacam itu tak perlu sebab
pengalaman berdemokrasi yang semakin matang yang diimbangi dengan
konsolodasi yang kian mantap antara pimpinan puncak Polri dan TNI akan
menihilkan kemungkinan instabilitas dan kerusuhan dalam pencoblosan
Pilpres 2019.
Prabowo Subianto dalam kiprah politiknya juga
memperlihatkan kematangan. Itu bisa dibaca saat dia bersilaturahim
dengan Jokowi baik di rumah pribadinya maupun di Istana Presiden. Saat
itu Prabowo mengatakan kepada pers bahwa situasi politik yang
gontok-gontokan harus dihindarkan.
Oleh sebab itu, pesimisme dalam
menapaki momen penting pencoblosan Pilpres dan Pileg 2019 tak perlu
digaung-gaungkan di ruang publik. Sebaliknya, optimisme tentang
stabilitas dan kemanan dalam hajatan akbar demokrasi pada 2019 itu
justru perlu dikumandangkan.
Tentu semua itu, kestabilan dan
keamanan, akan dengan mudah terpelihara dan terkawal ketika para elite
politik yang bersaing dalam perebutan kekuasaan itu punya komitmen
bersama untuk siap menang sekaligus untuk siap kalah.
Kekalahan
dalam politik hanyalah kemenangan yang tertunda. Dan parpol yang
berperan sebagai oposan pun tak kalah bernilainya dalam upaya meluruskan
kebijakan pemerintah yang dipandang merugikan kepentingan banyak orang.
Apresiasi
terhadap oposan, terutama oposan yang konsisten seperti Gerindra dan
PKS tentu di tataran politik nasional perlu diberikan sebab tanpa mereka
demokrasi menjadi pincang.
Sangat tidak ideal buat pemantapan
demokrasi di Tanah Air jika kubu yang digalang Gerindra dan PKS tidak
mengajukan rival bagi petahana dalam Pilpres 2019. Prediksi suram
pengamat politik bahwa petahana sangat mungkin berkompetisi dengan kotak
kosong, dengan demikian, bisa dicegah.
Bahkan, sekalipun bukan
Prabowo sendiri yang mungkin akan berkompetisi melawan petahana, publik
layak mengapresiasi Ketua Umum Partai Gerindra itu sejauh dia andil
dalam menghadirkan dan mendukung tokoh yang akan menjadi pesaing
petahana.
Rivalitas dalam politik pada akhirnya hanyalah momen
rutin untuk menentukan pemimpin politik terbaik, yang tak perlu
dipandang sebagai pertarungan hidup mati dengan mengerahkan tenaga dan
dana habis-habisan, apalagi dengan slogan: menang atau mati sekalian.
Politikus
yang negarawan pastilah bervisi jauh ke depan: dalam rivalitas merebut
kursi kekuasaan, Pilpres 2019 bukanlah akhir segalanya. Kalah di Pilpres
2019, masih ada Pilpres 2024 dan seterusnya.
Oleh Sindu Adi Pradono SH
Pengamat Kebijakan Publik
0 comments:
Post a Comment