UMAT Islam harus menyadari bahwa dalam Islam memelihara ukhuwah islamiyah
adalah kewajiban setiap Muslim. Karena itu, lalai atau bahkan merusak
jalinan ukhuwah islamiyah adalah dosa, sebagaimana meninggalkan bentuk
kewajiban-kewajiban yang lain. Setiap Muslim dan setiap komponen umat
Islam sudah sepantasnya melakukan ta’âruf (saling mengenal), ta’âluf (saling merekatkan), tafâhum (saling memahami), tafâqud (saling respek/peduli) dan ta’âwun
(saling menolong).Semua itu akan menjadi kunci pembuka hati
persaudaraan, menambah kedekatan, menciptakan kesepahaman dan sikap
toleran sekaligus menghilangkan sikap iri dan dengki.
Fakta Empiris
Sejarah mencatat bahwa umat ini pernah menyandang predikat menjadi
umat terbaik selama belasan abad. Gelar tersebut diraih ketika umat
berpegang teguh pada ajaran islam. Yakni, penerapan Islam sebagai
sebuah sistem dalam bingkai Khilafah Ar Rosyidah. Namun kondisi
memilukan mulai terjadi lantaran benteng islam tersebut diruntuhkan kaum
kafir.
Setelah keruntuhan Khilafah, kaum kafir penjajah secara terus menerus
tetap melakukan upaya penghancuran sampai hari ini. Mereka melemahkan
umat dengan membagi wilayah menjadi puluhan negara-bangsa.
Untuk melanggengkan jajahan mereka menempatkan para penguasa yang
setia melayaninya. Kapitalisme-sekularisme -demokrasi menjadi ajaran
yang wajib diterapkan para penguasa jika ingin tetap duduk dikursi
kekuasaan. Jadilah umat ini tercerai berai yang menjadikan kepentingan
dan manfaat belaka sebagai ikatannya,bukan islam lagi.
Usaha untuk mengembalikan kejayaan islam telah dilakukan banyak
jamaah pergerakan. Jamaah tersebut ada untuk memenuhi seruan Allah Subhanahu Wata’ala dalam surah Ali Imran ayat 104. Allah Subhanahu Wata’ala meminta
agar ada di antara umat Islam kelompok yang bekerja untuk menyerukan
Islam dan melakukan amar makruf nahi mungkar. Bertahun tahun sudah
jamaah berusaha sekuat tenaga untuk mengembalikan benteng perisai umat.
Usaha tersebut belum mengantarkan pada tujuan utama , meski umat mulai
sadar akan kewajibannya.
Semua jamaah harus menyadari, bahwa kegagalan mereka karena ada
musuh yang selalu berusaha menghalangi perjuangan. Musuh sebenarnya
adalah kapitalis yang dipimpin negara adidaya Amerika serikat.
Ya,kumpulan negara-negara penjajah. Yang semua insfrastruktur mereka
miliki., Mulai dari kekayaan melimpah hasil jarahan,media pembentuk
opini-penebar fitnah,tehnologi canggih, jumlah pasukan yang tak
terhingga bahkan para penguasa boneka yang siap mengabdikan dirinya 24
jam penuh tanpa syarat. Semua musuh miliki,yang tidak ada hanya satu
yakni ridha pencipta.
Ukhuwah islamiyah adalah rantai ikatan suci yang tak kenal
batas wilayah.Tidak seperti nasionalisme. Di Indonesia, nasionalisme
hanya ada dari Sabang sampai Merauke. Melewati garis batas negara,
nasionalsme pun hilang.Makanya wajar-wajar saja, Indonesia (walaupun
berpenduduk Muslim terbesar dunia), tidak galau waktu Afganistan, juga
Palestina, dibombardir Israel.Tidak perlu dipikirkan mereka nun jauh di
sana. Pikirkan saja negeri sendiri. Begitu kata para nasionalis.
Ungkapan seperti ini tidak akan muncul jika ukhuwah islamiyah
yang dijadikan pemersatu. Seharusnya sakit Palestina adalah juga derita
Indonesia. Air mata Afganistan juga sedih Indonesia. Alasannya
sederhana, kita sama-sama Muslim. Kaum muslim ini ibarat satu tubuh,
kata Rasulullah saw., bila satu sakit maka sakit pulalah bagian yang
lain. Ukhuwah islamiyah satu-satunya ikatan yang mampu menembus
garis batas negara, garis imajinatif yang sengaja dibuat kaum kafir
untuk memecah belah umat.
Kalau di al-Quds, kita punya Salahuddin al-Ayubi. Di Indonesia, ada
Pangeran Diponegoro. Dua pahlawan Islam ini punya kesamaan, sama-sama
menentang dominasi kafir penjajah.Diponegoro berjuang atas dasar cinta
kepada Allah dan jihad. Ini terbukti dalam surat seruan jihad yang
dikirimkan Diponegoro untuk masyarakat Kedu. Ada isinya yang begitu
menggetarkan jiwa, “Jikalau sudah sampai surat undangan kami ini, segera
sediakan senjata, rebutlah negeri dan ‘bentuklah agama Rasul’.Kalau
saja ada yang berani tidak percaya dengan bunyi surat saya ini, maka
akan saya penggal lehernya.” Apakah ini kalimat dari seorang nasionalis?
Bukan.Ini kalimat yang kental dengan seruan keimanan dari seorang
jihadis.
Ini baru Diponegoro.Belum lagi kita bicara tentang Imam Bonjol dengan
Perang Paderi-nya.Tengok pula Kapitan Pattimura yang bernama asli Ahmad
Lusy, seorang pejuang Islam asal negeri Ambon Manise.Sejarah telah
“mengkristenkan” dan menghilangkan identitas mujahidnya.Mari kembali
membaca sejarah.Kemerdekaan Indonsia tidak lahir dari semangat
nasionalisme, tetapi muncul dari semangat jihad dengan dorongan keimanan
semata.
Begitu rindu kita pada suasana sejarah pada tahun 1566. Waktu itu
Sultan Alaiddin Riayat Syah, penguasa negeri Aceh Darussalam,
mengirimkan surat kepada Sultan Sulaiman al-Qanuni. Suratnya berisi
sebuah pengaduan bahwa armada laut Portugis sering menganggu pedagang
Muslim yang sedang berlayar; juga kerap lancang menghadang jama’ah haji
di Selat Malaka, yang hendak menuju Makkah.Aduan ini direspon Sultan
dengan mengutus bala tentara bantuan.Dikirim secara bergelombang.Yang
dikirim pun bukan tentara sembarangan, namun 500 tentara yang ahli seni
bela diri, juga lihai mempergunakan senjata.
Inilah indahnya ukhuwah islamiyah. Aceh Darussalam tak merasa sendiri
saat itu.Mereka percaya, punya saudara seiman yang siap membantu, juga
saudaranya yang ada di pusat Kekhilafahan.Khilafah menganggap Nusantara
adalah bagian darinya.Tak ada alasan untuk menolak permohonan bantuan
dari sesama Muslim walau membentang jarak yang begitu jauh.
Nasionalisme, tidak akan bisa begitu. Ikatan dan kepeduliaannya hanya
sebatas wilayah negara.Sekarang Mujahidin Suriah memanggil-manggil dunia
Islam untuk membantu. Namun, semua diam. Lagi-lagi, logika nasionalisme
yang dipakai: Itu urusan luar negeri, tak perlu terlalu dirisaukan.
Untuk membendung arus kebangkitan Islam, Barat bisa kompak dan
bersatu padu dalam memaksakan penerapan demokrasi-sekularisme pada
negeri-negeri muslim. Justru yang mengherankan, persatuan belum bisa
terwujud pada jamaah islam. Jamaah masih sibuk dan merasa cukup dengan
agenda masing-masing. Padahal persatuan adalah ajaran islam dan kunci
kekuatan umat, Persatuan Allah Subhanahu Wata’ala wajibkan
dengan ukhuwah islamiyah yang mendasarinya. Disinilah pentingnya
seluruh jamaah islam harus menjadikan penerapan sistem islam sebagai
agenda utama umat, Jangan pernah tergoda lagi dengan sistem musuh yang
sengaja mereka siapkan. “Dan bahwa ini adalah jalanKu yang lurus,
maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan yang lain,
karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya”.(Qs Al-An’am : 153).
Cara efektif menuju persatuan tersebut adalah kembali pada aturan Allah swt. Imam Al Qurthubi mengatakan, “Maka Allah Subhanahu Wata’ala
mewajibkan kita berpegang kepada kitabNya dan Sunnah NabiNya, serta
-ketika berselisih- kembali kepada keduanya. Dan memerintahkan kita
bersatu di atas landasan Al Kitab dan As Sunnah, baik dalam
keyakinan dan perbuatan.Hal itu merupakan sebab persatuan kalimat dan
tersusunnya perpecahan (menjadi persatuan), yang dengannya
mashlahat-mashlahat dunia dan agama menjadi sempurna, dan selamat dari
perselisihan. Dan Allah memerintahkan persatuan dan melarang dari
perpecahan yang telah terjadi pada kedua ahli kitab”.(Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an 4/164).Dengan persatuan kita buat Allah Subhanahu Wata’ala senang meski kafir munafiq tidak tenang.
Saat HTI mengalami ujian. Ancamam pembubaran sedang ditebar. Sebagai
saudara seakidah kita wajib membelan haknya untuk berserikat. “Orang muslim adalah saudara muslim lainnya, ia tidak akan menganiayanya dan tidak akan menyerahkannya (kepada musuh).” (HR. Bukhari dan Muslim).
Apa yang sedang menimpa HTI kemungkinan besar juga akan menimpa
jamaah lainya. Maka semua jamaah pergerakan wajib merapatkan barisan,
bahu membahu melawan musuh sebagai konsekwensi keimanan didada.
“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam berkasih sayang bagaikan
satu tubuh, apabila satu anggota badan merintih kesakitan maka sekujur
badan akan merasakan panas dan demam.” (HR. Muslim). Apa yang sedang dirasakan HTI bisa jadi suatu saat akan menimpa kita semua. Saatnya jalin ukhuwah islamiyah demi persatuan umat. Kalau tidak sekarang kapanlagi , dan kalau tidak kita lantas siapa lagi? Wallahu a’lam bish showab.*
Direktur PSAC (Political and Strategic Analysis Centre)
0 comments:
Post a Comment