JAKARTA - Nilai tukar rupiah terus merosot hingga menembus level
psikologis 15.000 rupiah per dollar AS. Bahkan, mata uang RI tersebut
mencapai posisi terlemah dalam 20 tahun terakhir atau sejak krisis
keuangan 1998.
Sejumlah kalangan menilai setidaknya ada dua faktor yang menyebabkan
tekanan depresiasi pada rupiah, yakni kenaikan suku bunga acuan Bank
Indonesia (BI) yang dianggap masih kurang menarik dibandingkan dengan
bunga Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau The Fed. Selain itu, tren
kenaikan harga minyak global yang jauh melampaui asumsi APBN juga
memunculkan sentimen negatif pada kondisi fiskal Indonesia.
Berdasarkan data Bloomberg, nilai tukar rupiah di pasar spot, Selasa
(2/10), ditutup pada level 15.043 rupiah per dollar AS, atau melemah 132
poin (89 persen) dibandingkan posisi penutupan Senin (1/10) di tingkat
14.911 rupiah per dollar AS. Sepanjang tahun ini (hingga 2 Oktober),
mata uang RI itu terdepresiasi hampir 11 persen dan menjadi terlemah
kedua di Asia setelah rupee India.
Analis FXTM, Lukman Otunuga, mengatakan meskipun BI telah menaikkan
suku bunga acuan untuk kelima kalinya sejak pertengahan Mei 2018 menjadi
5,75 persen guna mempertahankan rupiah dan membendung arus modal
keluar, mata uang lokal tetap tertekan oleh penggerak eksternal.
“Bunga acuan gagal untuk membatasi pelemahan rupiah. Apresiasi dollar
akan tetap didukung oleh ekspektasi kenaikan suku bunga AS dan
ketegangan perdagangan AS-Tiongkok. Rupiah bisa terus melemah,” jelas
dia, di Jakarta, Selasa. Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik
UGM, Tony Prasetiantono, menilai ada dua penyebab pelemahan rupiah.
Pertama, pasar merasa bunga acuan BI 7-day Reverse Repo Rate belum
cukup atraktif bagi investor untuk memegang rupiah. “Jika dihitung dari
level terendahnya, The Fed sudah menaikkan suku bunga sampai 200 bps
(basis poin). Sedangkan BI baru 150 bps dari 4,25 persen ke 5,75 persen.
Berarti memang perlu suku bunga yang lebih atraktif lagi,” jelas Tony.
Faktor kedua, imbuh dia, adalah kenaikan harga minyak global yang
memberi sentimen negatif bagi kondisi fiskal Indonesia. “Kini, harga
minyak Brent sudah mencapai 83 dollar AS per barel, jauh melebihi asumsi
harga minyak APBN di level 48 dollar AS per barel. Menurut Tony, rupiah
akan cenderung stabil di level 15 ribu hingga akhir tahun ini jika BI
kembali menaikkan tingkat suku bunga acuan dan pemerintah bisa segera
mengerem impor, sehingga defisit transaksi berjalan bisa ditekan di
bawah tiga persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Sedangkan pengamat ekonomi dari Universitas Airlangga Surabaya, M
Nafik, menyatakan faktor dinamika ekonomi global berperan kuat pada
pelemahan rupiah belakangan ini. Namun, hal itu tidak bisa dibiarkan
begitu saja, mengingat persentase pelemahan rupiah jauh lebih besar
dibanding mata uang negara lain.
“Ini yang harus dijadikan perhatian pemerintah. Jangan karena alasan
eksternal kita seperti diam saja. Harus ada tindakan,” tukas dia.
Menurut Nafik, kenaikan bunga acuan BI tidak akan cukup sehingga harus
ada kebijakan yang tegas untuk mengendalikan impor. Perlu diingat,
kebutuhan pokok dan barang konsumsi banyak yang impor, sehingga ikut
membebani kurs rupiah.
“Intervensi BI juga ada batasnya. Khawatirnya kalau impor tidak
dikendalikan dan cadangan devisa terus terpakai, pelemahan berikutnya
semakin tidak dapat dikendalikan,” papar dia.
Sulit Diprediksi
Sementara itu, Lukman mengemukakan sulit untuk memprediksi sampai
kapan rupiah terus melemah, terutama ketika mengingat nilai tukar sudah
mencapai level terendah sejak 20 tahun terakhir. Apalagi, faktor
eksternal juga berperan kuat dalam pelemahan rupiah.
“Rupiah mungkin tetap tertekan dalam jangka pendek, di tengah
menguatnya dollar dan kekhawatiran atas defisit transaksi berjalan yang
semakin melebar. Ini bisa diperparah jika laporan pekerjaan di AS
melebihi ekspektasi pasar,” jelas dia. Dari sisi eksternal, faktor utama
risiko rupiah berasal dari kebijakan moneter AS.
The Fed pada Desember nanti kemungkinan besar masih akan menaikkan
suku bunga. Mengutip CME Fedwatch, probabilitas kenaikan Federal Funds
Rate pada rapat 19 Desember mencapai 78,5 persen.
0 comments:
Post a Comment