Barangkali pemahaman agak sesat atau memang sengaja menggunakan
istilah-istilah yang terdengar enak tapi tidak cocok dalam konteksnya.
Seperti menggunakan istilah “Vox Populi Vox Dei” dalam praktek demokrasi
negara Indonesia saat ini. Istilah ini dari bahasa Latin yang diartikan
secara harafiah sebagai “Suara Rakyat adalah Suara Tuhan.” Membenarkan
istilah ini dalam konteks politik apalagi dalam praktek demokrasi saat
ini, seakan menerima cara berpikir yang sesat dan dalam waktu bersamaan
melecehkan suara rakyat sekaligus suara Tuhan.
“Vox Populi Vox Dei” adalah semboyan hukum yang digunakan dalam
sistem hukum anglo saxon, dimana suara juri diyakini oleh Hakim sebagai
suara Tuhan, karena Juri mewakili berbagai kelompok masyarakat/rakyat.
Sebaliknya hakim mengingatkan para Juri untuk mengambil keputusan
sebijaksana mungkin karena menyangkut “bersalah” atau “tidak bersalah”
seseorang yang diperhadapkan di pengadilan, oleh karenanya suara juri
(yang adalah keterwakilan masyarakat/rakyat) adalah suara Tuhan. Ini
dalam konteks Hukum bukan Politik.
Sementara di dalam praktek politik, adakah yang bisa menjamin bahwa
benar suara rakyat adalah suara Tuhan? Jika suara rakyat adalah suara
Tuhan, apa artinya demokrasi jika kedaulatan rakyat dimaksudkan sebagai
kedaulatan tuhan? Mestinya dalam Pemilihan Umum, Pilihan yang benar
adalah pilihan yang rasional dalam arti siapapun yang dipilih oleh
rakyat itu karena pertimbangan yang matang dari akal budi yang sehat dan
hati nurani yang tulus. Pastinya pilihan tersebut tidak didasarkan pada
wahyu, wangsit, ataupun ilham ilahi.
Konstitusi kita menyatakan dengan jelas bahwa Kedaulatan berada di
tangan Rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Dengan
demikian sungguh keliru jika pemilihan umum yang merupakan sarana
kedaulatan rakyat untuk memilih wakil-wakilnya baik di legislatif maupun
di eksekutif adalah pilihan Tuhan. Oleh karena itu perlu dikritisi
lebih serius soal sistem demokrasi ataukah theokrasi di Negara Indonesia
ini?
Pemilihan umum merupakan medan perebutan kekuasaan secara legal bukan
spiritual. Oleh karena itu sama sekali tak ada hubungannya dengan
keberadaan Suara Tuhan. Tidak ada pengadilan tuhan apabila terjadi
kecurangan dalam pemilu seperti manipulasi suara. Yang ada hanyalah
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia apabila terjadi perselisihan
hasil pemilihan umum karena adanya pelanggaran pemilu yang terstruktur,
sistematis dan masif.
Manipulasi suara dalam pemilu sering terjadi karena politik transaksi
menjadi jalan gampang bagi para calon untuk meraup suara
sebanyak-banyaknya. Money politic seakan menjadi fenomena buruk yang
selalu membayangi setiap perhelatan pemilu. Seringkali pemilih tidak
malu-malu menawarkan suaranya untuk dibeli oleh para calon atau tim
suksesnya, dengan harga yang bervariasi. Pemilu seakan menjadi
kesempatan atau musiman panen rupiah oleh para pemilih dengan berbagai
alasan.
Suara menjadi barang komoditas politik dalam perebutan kekuasaan. Hal
ini memang tidak dapat dipungkiri apabila melihat demokrasi itu
sendiri. Pemerintahan baik legislatif maupun eksekutif terbentuk melalui
Pemilu. Pemilu tidak lain dari mengumpulkan suara pemilih yang kemudian
suara tersebut dikonversi ke dalam perolehan jumlah kursi. Oleh karena
suara ini yang menjadi rebutan para politikus, maka tidak sedikit yang
akhirnya menempuh cara-cara yang tidak legal antara lain melalui politik
transaksional/ money politic. Tentunya tidak sedikit calon yang
terpilih karena politik transaksional seperti ini. Lantas, bagaimana
keabsahan suara rakyat adalah suara tuhan apabila calon terpilih hanya
karena money politic?
Pasca reformasi, pemilu makin hari makin demokratis, menghasilkan
para calon terpilih karena meraup suara mayoritas. Tetapi pemilu yang
demokratis ini juga menghasilkan tidak sedikit legislator, gubernur,
bupati dan walikota yang terjerat berbagai kasus antara lain yang paling
banyak adalah korupsi. Jika dalam pesta demokrasi ini suara rakyat
adalah suara tuhan, maka pejabat-pejabat tersebut mestinya pilihan
tuhan. Bagaimana bisa hanya beberapa waktu saja pilihan Tuhan ini
ditetapkan sebagai tersangka, terdakwa dan selanjutnya divonis bersalah
oleh pengadilan.
Dengan demikian “Vox Populi Vox Dei” atau Suara Rakyat adalah Suara
Tuhan tidak tepat atau setidaknya belum cocok dalam suasana Demokrasi
yang sementara berjalan di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini.
Justru yang perlu ditingkatkan saat ini adalah kesadaran pemilih bahwa
betapa berharganya suara kita, dan tidak dengan mudah menjualnya.
Hendaknya pemilih memilih calon yang ada karena calon tersebut memiliki
kecerdasan politik dan integritas yang baik.
Ada ungkapan yang lebih enak dan konstitusional yakni “Salus populi
suprema lex”, Kesejahteraan Rakyat adalah Hukum yang Tertinggi, oleh
karena itu hendaknya Pemilu bertujuan untuk memilih anggota DPR RI, DPD,
DPRD Prov./Kab./Kota dan bahkan memilih Presiden, Gubernur, Bupati dan
Walikota, bersama wakilnya masing-masing, benar-benar memperjuangkan dan
mewujudkan kesejahteraan rakyat.
0 comments:
Post a Comment