JAKARTA - Pemerintah mesti serius mencegah alih fungsi atau konversi
lahan pertanian produktif menjadi nonproduktif, seperti untuk
pengembangan properti.
Sebab, saat ini laju alih fungsi lahan pertanian terus meningkat
sehingga akan menurunkan produktivitas pangan nasional. Padahal di sisi
lain, kebutuhan pangan nasional terus bertambah seiring dengan
pertumbuhan jumlah penduduk.
Jika konversi lahan itu gagal dibendung maka akan mengancam ketahanan pangan, yang akhirnya menjalar pada ketahanan nasional.
Pasalnya, Indonesia harus bergantung pada negara lain untuk memenuhi
kebutuhan rakyat. Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan
luas lahan baku sawah terus menurun. Pada 2018, luas lahan tersebut
tinggal 7,1 juta hektare (ha), turun dibandingkan pada 2017 yang masih
sekitar 7,75 juta ha.
Angka luas lahan tersebut diperoleh dengan metodologi Kerangka Sampel
Area (KSA) menggunakan data hasil citra satelit Lembaga Penerbangan dan
Antariksa Nasional (LAPAN) dan Badan Informasi Geospasial (BIG).
Menanggapi kerawanan pertanian nasional itu, Guru Besar Pertanian
UGM, Dwijono Hadi Darwanto, mengemukakan kebijakan perdagangan,
pertanian, dan industri nasional semestinya satu visi menuju target
swasembada dan kesejahteraan petani sebagai pelaku utama pertanian
pangan nasional.
“Tanpa visi yang jelas, segala kebijakan pada akhirnya hanyalah
pragmatisme demi keuntungan sekelompok penguasa,” tegas dia, ketika
dihubungi, Jumat (26/10).
Terkait dengan kebijakan impor pangan, Dwijono mengatakan debat soal
data produksi pertanian susah diikuti ujung pangkalnya karena
masing-masing pihak memiliki kepentingan.
Tapi faktanya, kesejahteraan petani tidak pernah meningkat, alih
fungsi lahan pertanian tidak terbendung, dan urbanisasi sulit
dikendalikan. “Artinya ada yang pasti, yakni ekonomi pertanian makin
terbelakang.
Buktinya, petani dan desa masih jadi pusat kemiskinan dan impor tidak
bisa direm,” imbuh dia. Dia menilai ada problem teknis dalam jangka
pendek yang sebenarnya tidak terlalu sulit untuk diatasi, seperti daya
serap Bulog yang terkendala oleh badan hukum, yakni harus mengambil
untung dan juga Harga Pokok Pembelian (HPP) pemerintah yang sering di
bawah harga pasar.
Selain itu, Harga Eceren Tertinggi (HET) sejumlah komoditas pangan
juga makin menekan petani. Padahal, Dwijono memaparkan bahwa petani akan
tergerak berproduksi, menjaga lahannya dari alih fungsi kalau usahanya
menguntungkan.
Artinya, HPP menarik dan tidak ada HET yang menurunkan harga di
tingkat petani. Secara pangsa pasar, dia menjelaskan beras premium
dengan harga antara 20 ribu–30 ribu rupiah per kilogram (kg) sudah ada
peminatnya sendiri.
Dengan adanya HET, berarti pemerintah menyulitkan orang kaya yang
ingin mendapat beras lebih bagus dari yang mayoritas beredar di pasar.
Petani pun sulit memproduksi beras premium.
“Semestinya yang dilindungi negara hanya daya beli masyarakat
menengah ke bawah. Dan jangan mengorbankan petani. Akibatnya, petani
enggan bercocok tanam dan mendorong alih fungsi lahan,” jelas Dwijono.
Kebijakan Strategis
Mengenai konversi lahan, Kepala BPS, Suhariyanto, mengemukakan
sebenarnya pencetakan lahan baru masih berlangsung, namun kecepatannya
tidak sebanding dengan penyusutan yang terjadi.“Kecepatannya jauh lebih lambat dari konversi, sehingga lahan kita menyusut jadi 7,1 juta ha,” kata dia, Kamis (25/10). Suhariyanto mengingatkan jika kondisi ini terus dibiarkan, penyusutan lahan pertanian dari tahun ke tahun akan berdampak pada ketahanan pangan.
“Kalau terjadi terus ini akan jadi bahaya di ketahanan pangannya, apalagi jumlah penduduk Indonesia akan semakin meningkat,” jelas dia. Oleh karena itu, dia menyarankan perlu ada kebijakan strategis untuk mencegah penyusutan lahan pertanian.
Tujuannya, agar petani tidak tergiur menjual lahan. “Ke depan, mungkin perlu dibuat sebuah kebijakan agar lahan sawah ini tadi tidak akan menyusut lagi.
Misalnya, dengan membuat seperti luas lahan abadi, agar petani jangan sampai mengkonversi tetapi juga perlu ada insentif ke sana,” tukas Suhariyanto. Sementara itu, pemerintah menyatakan tengah menyusun aturan agar lahan sawah tidak mudah dikonversi untuk aktivitas lain.
Selama ini, banyak pemilik sawah yang menjual lahannya untuk kegunaan lain seperti industri, jalan tol, hingga properti. Alasannya, lahan yang dijual itu dihargai lebih tinggi dibandingkan penghasilan dari kegiatan bertani.
0 comments:
Post a Comment