JAKARTA - Sikap dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tidak akan
berubah terkait dengan syarat pencalonan anggota Dewan Perwakilan Daerah
( DPD). MK tetap pada putusanya bahwa partai politik dilarang menjadi
calon anggota DPD, seperti tertuang dalam putusan MK Nomor 30/
PUU-XVI/2018.
“Tidak mungkin ada keputusan baru, apalagi yang menyimpang dari
putusan MK sebelumnya,” kata Juru Bicara Mahkamah Konstitusi (MK) Fajar
Laksono, di Jakarta, Selasa (20/11).
Komisi Pemilihan Umum (KPU) sejak minggu lalu telah mengirimkan surat
ke MK untuk meminta audiensi terkait syarat pencalonan anggota Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) pada Pemilu 2019, khususnya status pencalonan
Ketua Umum Partai Hanura, Oesman Sapta Odang (OSO). KPU akan meminta
pertimbangkan MK mengenai bagaimana KPU seharusnya menyikapi status
pencalonan OSO sebagai anggota DPD.
KPU telah mencoret OSO sebagai calon anggota DPD lantaran tidak
menyerahkan surat pengunduran diri dari partai politik. Menurut putusan
Mahkamah Konstitusi (MK), anggota DPD dilarang rangkap jabatan sebagai
anggota partai politik. Aturan mengenai larangan anggota DPD rangkap
jabatan tercantum dalam putusan MK No 30/PUUXVI/ 2018 yang dibacakan
pada Senin, (23/7/2018).
Atas putusan KPU itu, OSO melayangkan gugatan ke Mahkamah Agung (MA)
dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). MA mengabulkan gugatan uji
materi OSO terkait PKPU Nomor 26 Tahun 2018 yang memuat syarat
pencalonan anggota DPD itu.
Majelis Hakim PTUN juga mengabulkan gugatan Ketua Umum Partai Hanura
itu dan membatalkan surat keputusan (SK) KPU yang menyatakan OSO tidak
memenuhi syarat (TMS) sebagai calon anggota DPD. Hakim juga
memerintahkan KPU untuk mencabut SK tersebut. Hakim memerintahkan KPU
untuk mengganti SK OSO dari TMS menjadi memenuhi syarat (MS).
Fajar menegaskan, dalam audiensi yang akan digelar antara MK dengan
KPU nanti, MK hanya akan memberi penegasan terhadap putusan yang telah
dibuat 23 Juli 2018 lalu. “Jadi kira-kira, MK akan memberikan penegasan
terhadap putusan, bahwa putusan MK berlaku sejak selesai diucapkan dalam
sidang pleno yang terbuka untuk umum,” ujar Fajar.
Sementara itu, komisioner KPU, Pramono Ubaid Tanthowi, mengatakan,
dalam mengambil keputusan, KPU harus berdasarkan pada UU dan
putusan-putusan lembaga peradilan yang berwenang.
Di tempat terpisah, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik
Universitas Indonesia (Puskapol UI), Aditya Perdana, menyarankan KPU
mengikuti putusan MK No. 30/PUUXVI/ 2018. “Rujukan KPU sebaiknya harus
ke MK, karena rujukan dalam judicial review peraturan perundang-undangan
paling tinggi ke sana,” ujarnya saat dihubungi koran jakarta.
0 comments:
Post a Comment