JAKARTA - Upaya pemerintah memperkuat fundamental ekonomi Indonesia
dengan memperbaiki defisit transaksi berjalan atau current account
deficit (CAD) semestinya mengarah kepada terwujudnya kemandirian energi,
pangan, dan barang konsumsi khususnya yang bisa diproduksi di dalam
negeri.
Sebab, kebergantungan terhadap impor energi, pangan, dan barang
konsumsi tersebut merupakan biang terjadinya defisit neraca perdagangan
yang akhirnya memperlebar CAD.
Pengamat ekonomi Indef, Abra Tallatov, mengemukakan produktivitas
energi nasional mesti dipacu dengan memanfaatkan sumber energi baru dan
terbarukan (EBT) yang tersedia secara gratis dan melimpah di Tanah Air,
terutama energi surya, bayu, dan panas bumi. Sayangnya, lanjut dia,
kebijakan saat ini bukannya mendorong dan memberikan stimulus yang besar
bagi investasi di sektor EBT.
Pemerintah justru mau mengobral insentif untuk sektor batu bara,
bahkan menambah kuota produksi batu bara. “Lesunya minat investasi di
sektor EBT terbukti dari realisasi investasi di sektor Energi Baru
Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) per kuartal III-2018 yang hanya
800 juta dollar AS, sangat jauh atau hanya 40 persen dari target yang
ditetapkan sebesar 2,01 miliar dollar AS,” ungkap Abra, di Jakarta,
Selasa (20/11).
Pengamat energi dari Institut Teknologi Sepuluh November (ITS),
Surabaya, Ali Musyafa, menambahkan sudah selayaknya pemerintah
mengutamakan pengembangan energi terbarukan dibandingkan energi jenis
fosil untuk memenuhi kebutuhan energi nasional.
Menurut dia, hal itu wajib dilakukan mengingat telah diamanatkan
dalam UU, dan dapat menekan defisit neraca migas yang selama ini menjadi
sumber defisit perdagangan.
“Pemerintah sangat perlu mengembangkan EBT. Di samping sudah ada
UU-nya juga sudah ada permennya (peraturan menteri). Apalagi sekarang
ini negara sedang menderita defisit energi konvensional migas,” jelas
Ali. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), impor migas sepanjang
tahun ini melesat 23,66 persen (year-on-year/yoy), dan menjadi faktor
kunci yang membuat neraca perdagangan defisit hingga 5,51 miliar dollar
AS secara year-to-date (ytd).
Akan tetapi, sejumlah kalangan menyesalkan pemerintah sama sekali
tidak mengeluarkan kebijakan yang secara langsung menyentuh persoalan
defisit migas yang kerap menjadi sumber defisit transaksi berjalan.
Seperti dikabarkan, pemerintah pekan lalu merilis Paket Kebijakan
Ekonomi ke-16 yang berisi tiga kebijakan, yaitu perluasan insentif tax
holiday, relaksasi Daftar Negatif Investasi (DNI), dan pengaturan devisa
hasil ekspor (DHE). Paket ekonomi itu bertujuan memacu investasi asing
demi memperbaiki CAD.
Menanggapi kerawanan sektor energi nasional, Ketua Ikatan Sarjana
Ekonomi Indonesia (ISEI) Jawa Barat, Aldrin Herwany, menjelaskan hal itu
juga terjadi akibat bertambahnya penduduk, jumlah kendaraan bermotor,
dan menggeliatnya industri. Ini menunjukkan adanya pertumbuhan ekonomi
dan investasi, namun di sisi lain juga perlu perhatian dalam pemenuhan
pasokan energi nasional.
“Sudah saatnya kita mulai meningkatkan bauran energi baru terbarukan
untuk mengganti energi fosil. Upaya pembuatan mobil listrik atau
pembangkit energi matahari jangan putus di tengah jalan,” tukas dia.
Terus Membengkak
Direktur Pusat Studi Masyarakat, Irsad Ade Irawan, mengingatkan
kebutuhan energi dan pangan di masa depan akan semakin besar seiring
dengan proyeksi pertumbuhan penduduk. Indonesia akan memiliki jumlah
penduduk produktif lebih besar daripada yang tidak produktif mulai 2025.
Artinya, tanpa usaha yang menyentuh fundamental dalam pemenuhan dua sektor itu maka di masa depan defisit akan makin membesar.
“Perencanaan pemenuhan kebutuhan energi dan pangan di masa depan
selama ini disepelekan, impor terus andalannya. Padahal, di khatulistiwa
sumber pangan dan energi melimpah, namun tidak pernah mau mengurus dari
hulu dan hilirnya,” papar Irsad.
0 comments:
Post a Comment