JAKARTA
– Resesi ekonomi global dinilai sudah makin nyata. Indikasi itu
terlihat dari perlambatan ekonomi Singapura yang menjadi barometer
perdagangan dunia. Bahkan, Negeri Jiran itu diperkirakan memasuki
resesi pada kuartal ketiga 2019 akibat perang dagang antara Amerika
Serikat (AS) dan Tiongkok yang terus mengguncang ekonomi negara
tersebut.
Terkait dengan dampak perang dagang, konsultan keuangan global Mc
Kinsey & Company beberapa waktu lalu juga mengingatkan agar negara
Asia mewaspadai risiko terulangnya krisis keuangan 1997 menyusul
tingginya tingkat utang luar negeri (ULN).
Mengenai kinerja ekonomi Singapura, South China Morning Post (SCMP),
Selasa (13/8), mewartakan, setelah pertumbuhan kuartal II-2019
dipastikan turun 3,3 persen, ekonomi Singapura diperkirakan memasuki
resesi pada kuartal III- 2019. Laporan Produk Domestik Bruto (PDB) yang
dirilis kemarin menunjukkan penurunan besar, yakni 3,8 persen dalam tiga
bulan pertama 2019, dan pertumbuhan kuartalan terburuk yang pernah
dialami negara itu selama tujuh tahun.
Secara tahunan, ekonomi Singapura hanya tumbuh 0,1 persen atau turun
dari 1,1 persen pada kuartal pertama. Ini menandai tingkat pertumbuhan
paling lambat sejak krisis keuangan global 2008. Sektor yang
mencatatkan kinerja terburuk antara lain manufaktur, merosot 3,1
persen, serta perdagangan grosir dan eceran yang turun 3,2 persen.
“Singapura adalah acuan untuk perlambatan perdagangan global. Dengan
segala sesuatu yang kita lihat, sangat mungkin bahwa akan ada resesi di
kuartal ketiga tahun ini,” kata ekonom Asia- Pasifik dari perusahaan
asuransi Coface, Carlos Casanova.
Jika pertumbuhan triwulanan Singapura tetap negatif pada kuartal
ketiga tahun ini, berarti negara seluas kota itu telah memasuki resesi
teknis, sebuah skenario yang menurut data lain semakin mungkin terjadi.
Singapura secara drastis menurunkan prakiraan pertumbuhan tahun ini.
Kementerian Perdagangan dan Industri Singapura (MTI) memperkirakan
pertumbuhan antara 0,0 hingga 1,0 persen, atau merosot tajam
dibandingkan prediksi tahunan sebelumnya antara 1,5 sampai 2,5 persen.
Pada Juli lalu, Dana Moneter Internasional (IMF) telah memangkas
perkiraan pertumbuhan 2019 Singapura menjadi 2 persen dari 2,3 persen.
MTI mengatakan sebagian penurunan itu disebabkan meningkatnya
konflik perdagangan AS-Tiongkok dalam beberapa bulan terakhir. Ekonomi
Tiongkok dilaporkan mencetak rekor pertumbuhan terendah pada kuartal
kedua, sebesar 6,2 persen, sejalan dengan kemerosotan Singapura.
Krisis Utang
Sementara itu, McKinsey & Co dalam laporan “Signs of Stress in
The Asian Financial System” mengungkapkan bahwa 25 persen utang swasta
valas jangka panjang di Indonesia memiliki rasio penutupan bunga (interest coverage ratio/ICR) kurang dari 1,5 kali.
Posisi itu terhitung rawan karena itu berarti perseroan menggunakan
mayoritas labanya untuk membayar utang. Indonesia bersama Australia,
Tiongkok, Hong Kong, dan India masuk dalam kategori itu. Utang tersebut
kebanyakan berasal dari sektor utilitas seperti pembangkit listrik dan
jalan tol, dengan porsi 62 persen. Sektor energi dan bahan mentah
menyusul dengan porsi masing-masing 11 persen dan 10 persen.
“Kini, media keuangan dan pengamat bertanya-tanya apakah kenaikan
tingkat utang di Asia bisa memicu krisis yang baru. Sayangnya,
tanda-tandanya terlihat mengancam, dan kesehatan sektor keuangan dan
sektor riil sedang memburuk,” tulis Senior Partner McKinsey Joydeep
Sengupta dan Archana Seshadrinathan, seperti dikutip CNBC Indonesia, Selasa.
Dampak tingkat utang korporasi dan utang rumah tangga yang tinggi
terlihat di Indonesia, Tiongkok, India, dan Thailand. Bahkan, tingkat
utang Indonesia yang berdenominasi dollar AS mencapai 50 persen dari
porsi utang yang ada, atau jauh di atas rata-rata kawasan sebesar 25
persen.
Sebelumnya dikabarkan, gejala krisis akibat ekonomi yang dipompa
oleh utang juga dialami Indonesia. Bahkan ekonom senior, Rizal Ramli,
menyebutkan hampir seperempat perusahaan tercatat di Bursa Efek
Indonesia (BEI) menjadi salah satu faktor yang dapat memicu krisis tahun
depan. Sebab, sebanyak 24 persen emiten tersebut merupakan perusahaan
‘zombie’ karena hanya mengandalkan sistem pembiayaan kembali (refinancing). SB/YK/WP







0 comments:
Post a Comment