![]() |
Sekelompok tenaga kerja Indonesia merasa sampai perlu meluncurkan kampanye permintaan bantuan pangan kepada pemerintah Indonesia. |
Banyak pekerja migran Indonesia (PMI) mengalami berbagai bentuk
pelanggaran hak kerja di tengah pandemi Covid-19, namun pemerintah
mengatakan telah melakukan beragam langkah guna menjamin pemenuhan hak
PMI.
Sejumlah pekerja migran asal Indonesia mengaku mengalami
pelanggaran hak kerja selama wabah virus corona, mulai dari pemutusan
hubungan kerja (PHK), gaji tidak dibayar, ketakutan melaporkan kondisi
kesehatan karena khawatir ditangkap oleh aparat keamanan akibat bekerja
secara ilegal, bekerja ekstra tanpa diberikan insentif, hingga
kelaparan.
Hal itu terungkap dari hasil survei dampak Covid-19
terhadap PMI yang dilaksanakan oleh Human Rights Working Group (HRWG)
bersama dengan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) dan Jaringan Buruh
Migran (JBM).
SBMI dan JBM menilai bantuan yang diberikan pemerintah hanya bersifat
kedaruratan dan tidak menjamin kehidupan mereka di negara penempatan
selama wabah Covid-19 berlangsung.
Sementara, pemerintah Indonesia menyebut telah meminta kepada pemberi
kerja di negara penempatan untuk memberikan seluruh hak PMI, baik
pesangon PHK dan juga pembayaran gaji.
Pemerintah Indonesia juga meminta PMI untuk menghubungi perwakilan pemerintah ketika mengalami masalah di negara penempatan.
`Tidur di atas lemari, mengurus 50 orang hingga kabur`
Sebagian
besar PMI yang bekerja di Hong Kong, Singapura, dan Taiwan masih
mendapatkan gaji bulanan. Tapi mereka harus kerja ekstra tanpa intensif
dan merasa kesepian akibat dilarang keluar rumah.
"Kami mengalami
eksploitasi. Jam kerja bertambah, hak libur hilang, dilarang keluar
rumah. Untuk salat dan istirahat saja sulit. Kami pun tidak punya kamar
jadi ada yang tidur di sofa, kamar mandi, dapur bahkan di atas lemari,"
kata Nurhalimah, perwakilan SBMI di Hong Kong.
Masalah serupa juga
dialami oleh Ari, seorang pekerja migran yang kini bekerja di sebuah
panti jompo di Taiwan. Dia mengaku sebelum pandemi hanya merawat paling
sedikit sembilan orang, namun kini lansia yang harus dirawatnya
berjumlah lima kali lipat.
"Biasanya satu orang mengurus sembilan
sampai 12 orang. Tapi sekarang harus mengurus hingga 50 orang. Itu
sangat berat bagi kami," cerita Ari.
Sementara itu, di Singapura,
terdapat beberapa pekerja asal Indonesia yang memilih kabur dari rumah
majikan akibat pekerjaan yang tidak ada habisnya, seperti diungkapkan
oleh Supriyatin.
Belum lagi, tambahnya, gajinya juga dipotong imbas dari lesunya ekonomi selama pandemi.
"Kerja
bertambah karena majikan kerja dari rumah, anak sekolah dari rumah.
Banyak yang tidak betah dan kabur. Apalagi gaji dipotong dari S$600
menjadi Sing$400 sampai ekonomi keluarga normal," tutur Supriyatin.
PMI Arab Saudi: `Beli sikat gigi saja susah`
Di
Arab Saudi, sekitar 54% pekerja asal Indonesia tidak mendapatkan gaji.
Bahkan dalam satu kasus, ada sekitar 30 pekerja yang kelaparan.
"Ada
30 tenaga skill yang bekerja di restoran tidak dapat makan, tidak
digaji, didiskriminasi, bahkan [beli] sikat gigi saja tidak bisa. Sudah
dapat bantuan untuk 15 hari [dari KJRI] tapi sudah habis, lalu ke depan
bagaimana?" kata perwakilan SBMI dari Arab Saudi, Roland Kamal.
Roland
menambahkan pekerja migran yang paling berdampak adalah mereka yang
bekerja secara ilegal karena mereka takut ditangkap aparat keamanan jika
keluar rumah. Namun di sisi lain, mereka tidak memiliki uang dan tidak
juga mendapatkan bantuan.
"Lalu yang parah lagi bagi mereka yang
sakit dan tidak bisa keluar rumah. Ada satu korban menunggu di rumah
lima hari, dan saat dibawa ke RS langsung meninggal dunia," katanya.
Di
kasus lain, seorang responden survei mengungkapkan "Satu setengah bulan
tanpa uang sama sekali, bahan makanan terbatas sampai beberapa hari
kedepan. Setelah itu, kelaparan."
Roland pun meminta pemerintah
untuk segera melakukan repatriasi kepada PMI ilegal dan terus memberikan
bantuan bagi PMI yang kesulitan.
Hasil Survei terhadap pekerja migran
Hasil
survei HRWG bersama dengan SBMI dan JBM pada periode 21-30 April 2020
menunjukan beragam masalah yang dihadapi pekerja migran Indonesia di
sejumlah negara.
Survei itu menemukan sekitar 54% PMI yang bekerja sebagai buruh
pabrik dan konstruksi seperti di Malaysia dan Arab Saudi banyak yang
tidak mendapat gaji.
Sementara, 95% PMI di Singapura dan Hong Kong
meski masih bekerja dan mendapatkan gaji, mereka mendapatkan beban
kerja berganda, pembatasan mobilisasi, perampasan hak libur, depresi dan
tidak mendapatkan upah lembur.
Sementara itu, PMI yang bekerja di
sektor manufaktur di Taiwan dan Korea Selatan tidak diizinkan keluar
rumah atau asrama sehingga mereka mulai menghadapi gangguan psikologis,
ungkap survei tersebut.
Survei dilakukan menggunakan layanan SurveyMonkey dengan mengumpulkan 149 responden yang bekerja di sembilan negara tujuan.
Pemerintah didesak aktif lindungi PMI
HRWG, SBMI dan JBM
mendesak pemerintah untuk memberikan bantuan bahan pokok makanan untuk
menjamin hak hidup PMI secara berkesinambungan.
Deputi Direktur
HRWG Daniel Awigra pun mendesak pemerintah untuk melindungi hak-hak
pekerja migran yang dipecat, tidak digaji, dan mengalami eksploitasi.
"Lalu
memberikan jaminan sosial [BPJS] terhadap pekerja migran dan
keluarganya. Melanjutkan program repatriasi pekerja migran Indonesia tak
berdokumen dari Arab Saudi dan Malaysia karena mereka merupakan
kelompok migran yang paling terdampak," kata Daniel
Berdasarkan data Migran Care, diperkirakan terdapat sekitar 4,5 juta pekerja migran Indonesia di luar negeri.
Sebagian besar diantara mereka adalah perempuan (sekitar 70%) yang bekerja di sektor domestik (sebagai PRT) dan manufaktur.
Selebihnya, sekitar 30?alah laki-laki yang bekerja sebagai buruh perkebunan, konstruksi, transportasi dan jasa.
Menteri
Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah mengatakan sebanyak 587 PMI
terpapar virus corona dan 11 di antaranya meninggal dunia. Laporan itu
didapat dari 12 Atase Ketenagakerjaan di 11 negara.
Sementara itu,
Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) memperkirakan
terdapat 34.300 PMI yang pulang dari Mei hingga Juni dengan alasan cuti
lebaran, habis kontrak dan dipecat akibat pandemik corona.
Respon dan upaya Pemerintah
Kendati begitu, Menaker Ida Fauziyah mengatakan pemerintah telah melakukan beragam langkah guna menjamin pemenuhan hak PMI.
Dia
mengungkapkan, perwakilan pemerintah di luar negeri, termasuk para
atase ketenagakerjaan (atnaker) telah dan terus berkoordinasi, baik
dengan Kementerian Ketenagakerjaan setempat, maupun dengan pihak agensi
dan juga pihak pemberi kerja.
"Kami melakukan mediasi dan meminta
agar jika di-PHK diberikan pesangon dan hak lainnya sesuai aturan yang
berlaku, dan diberikan kesempatan untuk bisa bekerja pada
pengguna/perusahaan yang lain," katanya kepada wartawan BBC News
Indonesia, Raja Eben Lumbanrau.
Demikian halnya, lanjut Ida,
dengan gaji yang tidak dibayar. Dia menegaskan perwakilan pemerintah
akan membantu untuk memastikan agar gaji mereka dibayar.
"Untuk
itu perwakilan telah membuka layanan pengaduan, khususnya pada masa
pandemi Covid-19 ini dan siap membantu penyelesaian permasalahan yang
dihadapi oleh para PMI.
Oleh karenanya PMI tidak perlu takut untuk menghubungi perwakilan manakala ada masalah-masalah yang dihadapi," tegas Ida.
Sementara
itu, juru bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah mengatakan,
langkah yang sudah dan akan terus dilakukan pemerintah adalah
menyalurkan kebutuhan pokok kepada PMI baik bekerja secara legal maupun
ilegal, seperti di Malaysia maupun negara di Timur Tengah.
"Seperti
Malaysia contohnya, dari awal April hingga saat ini pemerintah telah
menyalurkan lebih dari 230 ribu paket sembako kepada mereka untuk bisa
bertahan dalam kurun waktu satu minggu tanpa memperhatikan dia pekerja
legal atau ilegal," katanya.
Lanjutnya, pemerintah pun terbuka dan
siap membantu mencari solusi bersama bagi PMI yang membutuhkan tanpa
mengenal status legal ataupun ilegal.
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-52607651?xtor=AL-73-[partner]-[viva.co.id]-[headline]-[indonesian]-[bizdev]-[isapi]
0 comments:
Post a Comment