Oleh Yal Aziz
MANTAN Gubernur Sumatera Barat, Hasan Basri Durin pernah mengingatkan masyarakat tentang memilih pemimpin. Katanya, hati-hati dalam memilih pemimpin, jika salah dalam memimilih tunggulah kehancuran dimasa yang akan datang.
Sebenarnya, agama Islam juga telah memberikan tatacara memilih yang baik sesuai dengan ajaran agama Islam. Bahkan Islam tidak mengenal dikotomi atau sekulerisasi yang memisahkan antara dunia dan akhirat, termasuk dalam memilih pemimpin.
Pemimpin seperti gubernur, bupati atau walikota, merupakan faktor penting dalam kehidupan bermasyaraat dan bernegara. Maksudnya, seorang pemimpin itu haruslah, sederhana, jujur, baik, cerdas dan amanah dan niscaya rakyatnya akan makmur. Sebaliknya jika pemimpinnya tidak jujur, korup, serta menzalimi rakyatnya, niscaya rakyatnya akan sengsara.
Untuk itu agama Islam melalu Hadits Nabi Muhammad SAW sebagai salah satu bukti begitu seriusnya Islam memandang persoalan kepemimpinan ini “Jika ada tiga orang bepergian, hendaknya mereka mengangkat salah seorang di antara mereka menjadi pemimpinnya.” (HR Abu Dawud dari Abu Hurairah).
Konsep Islam tentang kepemimpinan sebenarnya sudah ideal. Contoh paling ideal pemimpin islam tentu saja Nabi Muhamad Saw. Baginda Rasul Allah tersebut merupakan seorang yang memimpin dengan hati. “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”. (QS Al-Ahzab:21).
Sebagai agama yang sempurna, Islam juga memiliki tata cara bagaimana memilih pemimpin yang baik, diantaranya:
Mukmin
Beriman kepada Allah (Mukmin) dan beragama Islam (Muslim) yang baik.
“Yakni seorang Muslim yang memiliki dua sifat, seperti disebutkan dalam
Alquran Surah Yusuf ayat 55, “hafizhun ‘alim. Hafizhun” artinya adalah
seorang yang pandai menjaga. Yakni, seorang yang punya integritas,
kepribadian yang kuat, amanah, jujur dan akhlaknya mulia, sehingga patut
menjadi teladan bagi orang lain atau rakyat yang dipimpinnya sebagai
dasar kepemimpinan dalam islam .
Amanah
Seorang pemimpin yang amanah kan berusaha sekuat tenaga untuk
menyejahterakan rakyatnya, walaupun sumber daya alamnya terbatas seperti
pada ayat ayat alquran tentang amanah . Sebaliknya pemimpin yang
khianat sibuk memperkaya diri sendiri dan keluarga serta
kolega-koleganya, dan membiarkan rakyatnya tak berdaya. “Rasulullah SAW
mengingatkan, sifat amanah akan menarik keberkahan, sedangkan sifat
khianat akan mendorong kefakiran,” papar Didin yang juga pimpinan
Pesantren Mahasiswa dan Sarjana Ulil Albab, Bogor.
Alim
Artinya adalah seorang yang memiliki kemampuan dan pengetahuan yang
memadai untuk memimpin rakyatnya dan membawa mereka hidup lebih
sejahtera. Fakta menunjukkan Indonesia pernah mempunyai seorang
pemimpin Muslim yang amanah dan berpengetahuan tinggi (hafizhun ‘alim),
yakni Prof Dr BJ Habibie. “Beliau ahli tahajud, ahli puasa Senin Kamis,
gemar membaca Alquran, dan seorang ahli pesawat yang keilmuannya diakui
oleh dunia internasional. Selama menjadi presiden RI, beliau terbukti
sukses melaksanakan tugasnya.
Rajin Menegakkan Ibadah
Shalat adalah barometer akhlak manusia. “Pemimpin yang baik dan layak
dipilih adalah pemimpin yang menegakkan shalat. Shalat melahirkan
tanggung jawab. Kesadaran keimanan / tauhid / transendental dibangun
melalui shalat sebagimana doa pemimpin dalam islam .
Gemar Berzakat dan Sedekah
Zakat itu bukan membersihkan harta yang kotor, melainkan membersihkan
harta kita (harta yang bersih) dari hak orang lain. seorang pemimpin
yang rajin berzakat dan berinfak, tidak akan korupsi.”Sebab dia yakin
Allah sudah menjamin rezekinya, dan sesungguhnya rezeki yang halal lebih
banyak daripada rezeki yang haram. Kalau sudah yakin seperti itu, untuk
apa melakukan korupsi yang sangat dibenci Allah?.
Suka Berjamaah / Bergaul dengan Masyarakat
Suka berjamaah, artinya suka bergaul dengan masyarakat, berusaha
mengetahui keadaan rakyatnya dengan sebaik-baiknya, dan mencarikan jalan
keluar atas persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakatnya. Sifat suka
berjamaah atau memperhatikan masyarakat ini ditunjukkan dalam shalat
fardhu berjamaah. Rasulullah setiap selesai shalat fardhu berjamaah lalu
duduk menghadap kepada jamaah sebagai cara menguatkan iman dan taqwa .
Fakta ini bertujuan untuk mengetahui kondisi jamaah, termasuk memperhatikan apakah jumlah jamaah tersebut lengkap atau tidak. Kalau ada yang tidak hadir shalat berjamaah, ditanya apa penyebabnya. Kalau ternyata orang tersebut sakit, Rasulullah bersama para sahabatnya lalu menjenguk orang yang sakit tersebut.
Kini masyarakat Indonesia sedang berada pada masa penjaringan bakal calon kepala daerah, baik untuk calon gubernur, bupati dan walikota dan bahkan telah mulai diapungkan masyarakat dan partai politik.
Sebagai masyarakat awam, tentu kita berhara kepada masyarakat dalam menentukan pilihan agar mempertimbangkan masalah ketaqwaan, seprti terlihat si calon rajin menunaikan shalat lima waktu dalam sehari.
Yang tak kalah pentingnya, juga calom pemimpin di tahu dan mengerti dengan budaya daerah yang punya filosifi yang harus di pahami Jadi jangan sampai salah pilih. Semoga. (penulis ketua JMSI )
0 comments:
Post a Comment