Jakarta -Kasus korupsi yang melibatkan pemimpin di daerah bukanlah hal baru di Indonesia. Setidaknya hingga kini tercatat sudah ada 429 kepala daerah yang tersangkut masalah korupsi. Yang paling baru, kasus ini menjerat lingkaran dinasti penguasa di Kabupaten Probolinggo. Bupati Puput Tantriana Sari beserta suaminya, Hasan Aminudin terjaring OTT pada Senin, 30 Agustus 2021. Kasus ini semakin mengafirmasi tesis yang menyebut bahwa ada relasi kuat antara praktik politik dinasti dengan praktik korupsi --, di kasus yang sama juga terjadi di beberapa daerah seperti Banten, Bangkalan, Kutai Timur, Karawang, dan lain-lain.
Fenomena kasus korupsi yang berulang ini menunjukkan bahwa di samping instrumen penegakan hukum semakin melemah, ekosistem politik yang ada sekarang menjadi karpet merah bagi praktik korupsi terlebih pada lingkaran dinasti politik. Pejabat publik mana pun pasti berpeluang melakukan tindak korupsi, namun dalam konteks politik dinasti, praktik ini semakin rentan untuk dilakukan karena rencana kebijakan diseret ke wilayah domestik yaitu wilayah keluarga.
Sederhananya, menjadi pejabat publik saja godaannya tinggi, apalagi situasi itu dikombinasikan dengan budaya dinasti politik. Walau demikian, kita juga harus fair mengakui bahwa tidak semua dinasti politik berakhir dengan hal-hal yang buruk. Tapi diakui atau tidak, di Indonesia dinasti politik cenderung berujung pada hal-hal yang negatif.
Meski bukan yang pertama, kasus Bupati Kabupaten Probolinggo sudah cukup untuk menggambarkan betapa praktik kekuasaan telah "memonopoli" akses dari hulu ke hilir. Dalam peta kuasa di daerah, kondisi ini pada akhirnya mengikis ruang kontrol yang dimiliki publik kepada penguasa.
Jika menoleh ke belakang, kenyataan politik di Kabupaten Probolinggo selama beberapa periode memang berpihak pada dinasti Hasan Aminudin. Pada periode pertama Bupati Tantri memperoleh sebesar 40,7 persen, kemudian meningkat menjadi 57,6 persen pada periode kedua. Namun sayangnya, kebanyakan kepala daerah tidak terkecuali Bupati Puput Tantriana gagal mengoptimalisasi dukungan publik yang diamanatkan kepadanya untuk dikonversi menjadi sebuah tanggung jawab sosial politik.
Berangkat dari sini, seluruh pihak perlu melakukan refleksi kembali dan menegaskan bahwa politik dinasti itu lebih banyak menyumbang kemudaratan dibanding sisi positif selama tidak diikuti tanggung jawab sosial politik secara serius.
Perbaikan Sistem
Pada konteks perbaikan sistem, ada tendensi atau tren bahwa arah sistem politik kita saat ini semakin bercorak mayoritarian, baik itu di pusat maupun di daerah. Misalnya saja Pilkada di Kabupaten Probolinggo 2018 yang lalu, Bupati Tantri ini sebelumnya dicalonkan atau diusung banyak partai besar seperti, PDIP, Gerindra, PPP, Nasdem, Golkar, sedangkan lawannya adalah koalisi PKB dan Demokrat.
Situasi politik seperti inilah yang kemudian mengubah sosio-politik menjadi fabrikasi politik yang melahirkan pola politik turun-temurun dari bapak ke anak, dari istri ke anak atau menantu atau kerabat lainnya. Laku model politik ini kemudian secara perlahan namun pasti telah membentuk pola mayoritarian. Pada akhirnya tahap kandidasi menjadi kunci utama keterpilihan dibanding kontestasi itu sendiri.
Pemimpin di daerah yang terbentuk oleh politik dinasti lebih memiliki penguasaan akses dari hulu ke hilir kuasa atas partai-partai. Hal ini terlihat bagaimana calon mengakumulasikan partai-partai untuk mendukung calon dan pada gilirannya praktik ini berujung pada kontetasi yang timpang.
Pada proses kandidasi seorang calon butuh banyak partai, dan kebanyakan di situ hanya tersedia sedikit kelompok atau individu yang memiliki modal dan kuasa, yang pada akhirnya menyebabkan tidak banyak orang yang dapat berpartisipasi karena tiket partai sudah diborong oleh sekelompok kecil aktor.
Upaya membatasi praktik politik dinasti secara konstitusional pernah dilakukan oleh DPR, karena parlemen menyadari jika tren politik dinasti cenderung mengarah pada sisi negatif. Namun kontruksi hukum tersebut pada akhirnya dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Terlepas dari baik-buruknya dinasti politik, partai politik dihadapkan pada kenyataan politik bahwa dalam konteks pemilihan langsung, siapa yang memiliki elektabilitas tinggi dialah yang berpeluang besar menjadi pemenang. Oleh karena itu, seringkali politik dinasti kemudian memaksakan orang-orang yang berada di lingkup keluarga untuk maju sebagai calon tanpa didahului dengan proses kaderisasi yang mumpuni.
Short-cut politik inilah yang kemudian memupuk praktik political pawn seperti suami dengan istri, maupun orangtua dengan anak. Namun ironisnya proses instan ini masih menjadi alat pemenang yang efektif padahal secara substansial memuat kesalahan fundamental, alih-alih mengoptimalkan SDM justru malah melanjutkan sistem yang tertutup yang sudah terbentuk sebelumnya.
Upaya Preventif
Untuk mengubah citra politik di daerah yang rentan dengan praktik korupsi diperlukan sebuah terobosan. Antara lain, pertama, perlu adanya sebuah proses institusionalisasi aturan dan juga mekanisme di internal partai agar setiap kader berperilaku baik, partai harus ikut dalam arus besar penguatan politik dan demokrasi antara lain seperti, dalam konteks pemilu harus menyodorkan mekanisme yang transparan dan dapat diakses oleh publik tentang kandidasi.Kedua, perlu adanya perubahan regulasi tentang pencalonan yang memungkinkan setelah seorang pemimpin daerah tidak lagi dapat mencalonkan diri kembali, maka istri maupun anaknya harus menunggu selama lima tahun atau satu periode lagi untuk kemudian bisa mencalonkan diri.
Ketiga, mendorong reformasi tata kelola partai politik yang dimulai dari demokrasi internal partai, kode etik partai dan penegakannya, transparansi pendanaan partai, mekanisme rekrutmen hingga kaderisasi. Ini artinya, jika kita mau memperbaiki cita rasa sebuah masakan, maka koki dan dapurnya sendiri harus beres. Dapur politik partai dalam politik kekinian sudah semestinya menggodok setiap kadernya dengan pendekatan meritokrasi.
Lompatan edukasi ini tentu bukan tanpa tantangan, dan yang paling nyata adalah bahwa parpol di Indonesia sebagian besar dimiliki oleh segelintir orang yang tidak merefleksikan skema demokrasi yang sebenarnya. Dan semua ini ke depan akan berpotensi mereproduksi persoalan-persoalan korupsi di sektor politik yang tidak tahu kapan berakhir.
Jadi salah satu kuncinya adalah partai harus melakukan langkah-langkah anti mainstream, seperti misalnya politik tanpa mahar, politik tanpa jual beli nomor urut, berkomitmen untuk tidak mencalonkan mantan koruptor, dan berani untuk tidak mendukung politik dinasti.
0 comments:
Post a Comment