PERHELATAN
Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) yang berlansung di sejumlah
provinsi, kabupaten, dan kota di Indonesia, acapkali melibatkan para
artis dan aktor menjadi kandidat. Sebut saja Julia Perez, Ratih
Sanggarwati, dan Maria Eva. Selama ini, partai politik meyakini,
popularitas dan pencitraan sosial sang artis dapat menjadi daya tarik
yang akan mendulang suara dari para konstituennya. Bagaimana
signifikansi dan relevansi politik pencitraan artis dalam Pemilukada di
Indonesia? Untuk mengetahuinya, beberapa waktu lalu Ana Sabhana Azmy
dari UIN Online berbincang dengan Pakar Komunikasi Politik dan Dosen UIN Jakarta, Gun Gun Heryanto M.Si,, di ruang dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDKOM). Berikut petikannya.
Bagaimana Anda melihat pencitraan politik para selebritas yang berlaga dalam Pemilukada tahun ini?
Menurut saya Pemilukada menjadi pesta demokrasi di tingkatan lokal
setelah melalui fase demokratisasi Pemilu Presiden secara langsung. Nah,
di dalam rentang 2009 ke 2010 ini, banyak kita temui Pemilukada di
berbagai daerah. Sebagai konsekuensi demokrasi, Pemilukada memungkinkan
semua orang untuk mendaftarkan dan mencalonkan diri sebagai kandidat,
termasuk dari kalangan selebritas. Maka kemudian kita menyaksikan,
banyak bermunculan figur artis yang mencalonkan diri dalam pertarungan
Pemilukada, seperti Julia Perez, Ratih Sanggarwati, Maria Eva, dan
lainnya. Dengan begitu, saya melihat bahwa demokrasi memang memungkinkan
semua orang berkompetisi. Tapi, tentu saja ketika mencalonkan diri,
setiap orang harus menyadari kapabilitasnya. Dalam politik, popularitas
tidak cukup menjamin seseorang untuk memperoleh suara yang memadai dari
konstituen. Benar, bahwa politik adalah art of possibilities, tetapi art of possibilities juga membutuhkan strategi, dan strategi itu tidak hanya citra yang sering digunakan oleh para artis.
Jika
strategi bukan hanya citra, berarti ada kebutuhan lain, yaitu
komunikasi politik. Bagaimana Anda melihat komunikasi politik para artis
yang berlaga dalam Pemilukada?
Saya melihat bahwa banyak
dari kaum selebritas yang berlaga di Pemilukada belum memenuhi
strategi-strategi komunikasi politik yang seharusnya ada dalam diriÂ
seorang kandidat. Sebagai contoh, Julia Perez yang tiba-tiba mencalonkan
diri di wilayah Pacitan. Dia mengatakan kepada publik melalui wawancara
di salah satu stasiun televisi swasta, bahwa dia baru mencari melalui
internet mengenai apa kebutuhan dari wilayah Pacitan, setelah ia
memproklamirkan diri menjadi kandidat. Ini adalah indikasi atas
terjadinya political jumping. Yang saya maksud dengan political jumping
adalah tidak melalui tahapan atau proses. Dalam komunikasi politik, itu
cukup rentan. Bahwa selebritas masuk dalam ranah politik, itu adalah
hal lumrah. Di Amerika misalnya, banyak selebritas yang masuk dalam
ranah politik, namun mereka tidak melakukan political jumping.
Harus menjadi catatan, bahwa jangan sampai mereka mencalonkan diri dalam politik, tetapi tidak mempunyai track record. Sebagai contoh, Joseph S Strada yang mencalonkan diri dalam ranah politik dengan memulai sebagai anggota parlemen, maka ia terpilih sebagai wakil presiden dan terakhir sebagai presiden. Ia mengalami historisitas berjenjang, yang memungkinkan ia mempunyai kapabilitas politik, untuk masuk dalam jajaran elit politik. Contoh lain adalah Arnold Schwarzeneger, yang dari jauh hari telah aktif dalam sebuah partai sebelum ia menjadi seorang Gubernur.
Bagi
saya, bukan masalah layak atau tidak layak untuk para artis dalam
mencalonkan diri, tetapi harus melihat pada kapabilitasnya. Kita dapat
melihat kapabilitas dari tiga hal. Pertama, kapabilitas intelektual.
Artinya ia memiliki penguasaan konsep kepemerintahan yang terkait dengan
jabatan publiknya nanti. Kedua, kapabilitas moral, yaitu memiliki
posisi yang tidak rentan untuk digugat atau diserang pihak lain karena
tingkah lakunya. Banyak kita lihat para artis kontroversial yang
tersandung masalah karena masa lalunya. Nah, inilah yang saya
khawatirkan, jangankan mengurusi wilayah publik, mengurusi wilayah
privat pun ia kesusahan. Ketiga, kapabilitas jaringan, yaitu punya
jaringan yang luas, karena politik bukan persoalan how to lead the network, maka ia akan kesusahan, karena politik bukan persoalan single fighter,
tapi adalah mengatur sekian banyak sumber daya. Sumber daya ini
contohnya adalah basis konstituen, figur yang memberikan pengabsahan,
partai politik, organisasi massa, dan pressure group. Ini semua harus diatur dengan suatu seni.
Partai
politik sebagai salah satu sumber daya memegang peranan penting dalam
proses rekrutmen politik para selebritas, bagaimana Anda melihat partai
politik di Indonesia saat ini?
Saya melihat partai politik
di Indonesia belum menunjukkan fungsi dan misi yang diidealkan, bahwa
partai politik masih bergantung pada figur. Sebagai contoh, PDIP
tergntung pada figur Megawati, Demokrat pada SBY, PAN pada Amien Rais,
Hanura pada Wiranto, dan Gerindra pada Prabowo. Posisi elit yang
menjadi figur partai ini sangat dominan, sehingga sangat memungkinkan
terbentuknya group think. Group think itu adalah suatu budaya dalam
organsiasi atau partai politik, di mana pemikiran warga atau anggota
partai politik sangat interdependen pada figur politik yang mereka akui
sebagai pemilik otoritas dalam mengambil keputusan.
Selain masih memiliki ketergantungan politik, saya melihat bahwa ada kemunculan pragmatisme. Artinya, berpartai lebih pada orientasi who get what, when and how, siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana, apa yang bisa didapat dari partai. Ini adalah salah, karena semestinya berpartai lebih pada peraihan rasionalitas bernilai. Artinya ia merasionalisasikan idealismenya dengan kerja-kerja partai yang akan membangun kesadaran politik warga partainya. Karena seyogyanya partai dapat memberikan semacam pencerahan. Tentu saja kepentingan di partai politik sah-sah saja, tapi pemberdayaan politik juga menjadi penting.
Dalam buku Anda, ada dua jenis politisi, yaitu wakil dan ideologi. Bagaimana Anda melihat pencalonan artis dalam jenis ini?
Jika sang artis tidak melalui proses kaderisasi dan rekrutmen serta
dibina menjadi loyalis, ia akan masuk pada jenis politisi wakil.
Sedangkan, politisi ideologi adalah seorang kandidat yang melalui proses
kaderisasi. Inul Daratista atau Maria Eva jelas tidak melalui proses
kaderisasi dan hanya menjadi vote gater untuk mengdongkrak
suara, itu adalah politisi wakil. Lain halnya dengan Wanda Hamidah yang
melalui proses kaderisasi, ia termasuk pada jenis politisi ideolog. Ada
tiga prasyarat kaderisasi; pertama, direkrut menjadi bagian dari partai
politik, kedua, dibina menjadi loyalis dengan cara membesarkan partai
melalui kiprahnya di dalam sistem politik. ketiga, baru diorientasikan
pada jabatan-jabatan publik. Jika tiga hal ini diimplikasikan dengan
baik, sebetulnya akan menjadikan artis bukan hanya sebagai pemanis atau
pelengkap penderita. Mengapa? Karena sebenarnya, ini adalah kekuatan
dahsyat, dengan popularitas yang dimiliki oleh para artis, ia hanya
tinggal menciptakan faktor lain dalam komunikasi politik.
Pencitraan
politik penting bukan hanya pada politisi wakil saja yang banyak
direpresentasikan oleh para artis, tapi juga bagi politisi ideolog,
mereka juga membutuhkan sebuah citra. Bagi saya, politik pencitraanÂ
adalah penting dan niscaya bagi siapa pun, baik politisi ideolog maupun
politisi wakil. Ini sudah sangat menyatu di negara manapun dengan sistem
politik apapun. Meski politik pencitraan sudah menjadi semacam
kebutuhan, kita harus ingat bahwa politik citra bukanlah segalanya. []
Biodata:
Gun
Gun Heryanto lahir di Cianjur, Jawa Barat, 12 Agustus 1976. Pendidikan
S1 dijalani di Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah dan
Komunikasi, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Gelar Magister Sains (M.Si)
ia raih dari Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia.
Kini ia sedang menjalani studi S3 di Program Doktor Ilmu Komunikasi
Unpad Bandung.
Selain aktif di dunia akademik, bapak satu anak ini juga aktif sebagai konsultan komunikasi untuk Balai Diklat Sekretariat Jenderal DPR-RI. Ia pun pernah menjadi tim ahli pembentukan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Provinsi Banten. Aktif serta berbisnis di bidang konsultan komunikasi melalui bendera PT. Lasswell Visitama yang didirikannya pada tahun 2007.
0 comments:
Post a Comment