Setiap bicara tentang korupsi, pertanyaan pertama yang muncul dalam
benak saya adalah: apa yang salah dengan bangsa ini sehingga korupsi
terjadi di mana-mana, nyaris tak bisa dihentikan? Bukankah semua
politisi dan juga birokrat telah berikrar untuk tidak melakukan korupsi?
Bukankah sejumlah peraturan perundang-undangan telah dibuat untuk
menjerat para koruptor? Bukankah ikrar dan penandatanganan zona
integritas nyaris menjadi ritual di berbagai lembaga negara?
Berita-berita
penangkapan para koruptor, baik yang dilakukan KPK maupun kepolisian
hampir setiap hari kita dengar dari pemberitaan media. Gerakan
masyarakat, baik LSM maupun Ormas yang menyuarakan semangat anti korupsi
dan pernyataan perang melawan korupsi terus bergema di mana-mana.
Fatwa-fatwa keagamaan terkait dengan perlawanan terhadap korupsi sudah
sering dikeluarkan oleh organisasi-organisasi keagamaan. Singkatnya,
semua ikhtiar sudah dilakukan, namun mengapa bangsa ini belum bisa
keluar dari “kutukan” sebagai negara yang tingkat korupsinya masih cukup
tinggi?
Kegelisahan saya itu kadang terobati
jika menyaksikan pemimpin-pemimpin muda yang muncul di berbagai daerah
dan berhasil menekan tindakan korupsi di wilayahnya. Saya juga senang
melihat anak-anak muda yang tergabung dalam berbagai gerakan untuk
melawan dan terus menelisik modus-modus baru korupsi. Saya juga gembira
mendengar tokoh-tokoh agama terlibat aktif dalam upaya perang melawan
korupsi. Namun, kegembiraan tersebut terkadang sirna jika mendengar
berita seorang gubernur, bupati/walikota, anggota DPR, pengusaha, hakim,
dan aparat penegak hukum lainnya, ditangkap KPK. Gelayut antara
kekhawatiran dan harapan (khawf wa raja’) ini yang terus bergumul dalam
benak saya. Tentu, yang harus kita lakukan adalah menekan dan
menghilangkan hal-hal yang menumbuhkan kekhawatiran di satu sisi, dan
terus menerus menghidupkan dan menumbuhkan harapan, di sisi lain.
Dalam
fiqih Islam, ada beberapa istilah yang biasa dikaitkan dengan persoalan
korupsi, meskipun istilah-istilah itu tidak sama persis dengan
pengertian korupsi. Beberapa istilah yang dikenal dalam fiqih, misalnya
sariqah (pencurian), ghulul (penggelapan), risywah (suap), ghashab
(mengambil milik orang lain tanpa ijin pemiliknya), ikhtilas
(pencopetan/pengutilan), qath’uth thariq (perampokan). Istilah-istilah
tersebut unsur-unsurnya hampir semua ada dalam tindak pidana korupsi.
Oleh karena itu, tindak pidana korupsi sudah sepantasnya mendapatkan
hukuman yang berat. Kalau para koruptor tidak mendapat hukuman yang
berat, atau para koruptor itu bisa menentukan kebenaran, maka akan
muncul kehancuran. Hal demikian diisyaratkan Allah SWT dalam QS.
al-Mu’minun (23), ayat 71: “Dan seandainya kebenaran itu menuruti
keinginan mereka, pasti binasalah langit dan bumi dan semua yang ada di
dalamnya.”
0 comments:
Post a Comment