Persoalan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) masih menghantui bangsa dan negara Indonesia. Hukuman, terutama bagi pelaku korupsi, masih belum sepenuhnya memberikan efek jera. Pelakunya rata-rata masih berasal dari pejabat negara tantangan dan rintangan terkait dengan KKN menggerogoti nilai-nilai kehidupan berbangsa dan bernegara. Berbagai cara dan metode sudah dilakukan oleh komisi pemberantasan korupsi (KPK). KPK sudah bekerja secara maksimal dan optimal dalam melakukan berbagai penindakan terhadap kejahatan korupsi, tetapi memang aparatur belum mempunyai kesadaran penuh terhadap tindak pidana korupsi. Mengabaikan peraturan dan ketentuan perundang-undangan dalam penggunaan anggaran dan keuangan negara menjadi potret masih maraknya korupsi di Indonesia.
Banyaknya data yang menunjukan tindak pidana korupsi yang cukup memperihatinkan. Tindak pidana korupsi pada tahun 2023 menunjukkan adanya 86 penyelidikan dan tahun sebelumnya yaitu tahun 2024 perinciannya yakni 87 perkara penyelidikan dari data tersebut pada tahun 2016 mengalami peningkatan yang cukup besar hal ini menunjukkan bahwa minimnya kesadaran masyarakat, terutama elit terhadap tindak pidana korupsi. Korupsi belum memiliki efek jera yang signifikan, efektif, dan kurang memberikan dampak perilaku yang implikatif, terutama para pejabat pemerintahan, karena korupsi bersinggungan dengan penyalahgunaan wewenang. Padahal korupsi sudah masuk pada zona merah yang dikategorikan sebagai extraordinary crime atau termasuk kejahatan luar biasa.
Tingginya angka tindak pidana korupsi diikuti oleh aspek pelayanan yang tidak baik alias kurang profesional. Terbukti, bahwa siapa yang melayani dan melayani apa kepada siapa. Pelayanan mempunyai keterkaitan erat dengan tindak pidana korupsi. Jika perilaku birokrat adalah koruptor, maka pelayanan yang diberikan hanya berorientasi pada kepentingan individu atau kelompoknya. Pelayanan publik menjadi orientasi utama dalam pencapaian tujuan pemerintahan yang baik. melalui pelayanan publik, aspek pelayanan lainnya dapat dioptimalkan. Optimalisasinya berdasarkan pada aspek penilaian kinerja pelayanan. Penilaian kinerja menjadi barometer apakah pelayanan yang diberikan sudah baik atau tidak.Intruksi presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang percepatan pemberantasan korupsi menginstruksikan bahwa salah satunya adalah terkait dengan peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat, dalam bentuk jasa ataupun perizinan, melalui transparansi dan standarisasi. Intruksi ini berlaku bagi setiap aparatur yang secara langsung berkomunikasi dengan masyarakat. Tentunya, pelayanan yang prima dan baik harus dikedepankan. Pungli harus dijadikan sebagai musuh utama dalam pelayanan publik, karena dari situlah persoalan yang muncul Tercapainya pemerintahan yang baik (good governance) adalah salah satunya dengan meningkatkan kualitas pelayanan publik menjadi salah satu barometer kepuasaan masyarakat dalam menerima pelayanan.
Pelayanan yang baik dan berkualitas tentunya akan mempunyai dampak positif terhadap penilaian masyarakat terhadap aspek pelayanan yang diberikan. Aparatur negara sebagai pelayan bagi masyarakat menjadi keniscayaan bahwa public service adalah orientasi utama yang harus dikedepankan dalam pelayanan. Namun demikian, reformasi birokrasi menjadi tonggak keterbukaan dan transparansi; dibangun berdasarkan nilai-nilai akuntabilitas dan aksesibilitasnya. Reformasi birokrasi menjadi jujukan penting untuk mengubah perilaku dan mindset aparatur negara dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Sistem dan tatanan pemerintahan terus melakukan berbagai proses perubahan menjadi lebih baik. (*)
0 comments:
Post a Comment