Data KPK menunjukkan bahwa sejak 2004 hingga Januari 2024 ada 22 gubernur dan 148 bupati atau walikota yang ditangkap KPK. Itu baru data KPK, belum lagi jika digabungkan dengan data Kejaksaan dan Kepolisian. Berdasarkan pengumpulan data oleh Indonesia Corruption Watch (ICW), sepanjang 2010-Juni 2023 ada 253 kepala daerah yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh aparat penegak hukum.
Selain - tentu saja - sifat serakah, ada penyebab lainnya mengapa kepala daerah korupsi, yaitu tingginya biaya politik ketika mereka mencalonkan diri. ICW mencatat biaya politik yang tinggi terjadi karena dua hal, yaitu politik uang berbentuk mahar politik (nomination buying) dan jual beli suara (vote buying). Kajian Litbang Kemendagri pada 2015 menyebut, untuk mencalonkan diri sebagai bupati/wali kota hingga gubernur membutuhkan biaya Rp 20–100 miliar. Padahal, pendapatan rata-rata gaji kepala daerah hanya sekitar Rp 5 miliar selama satu periode.
Biaya politik yang mahal membuat para calon kepala daerah menerima bantuan dari donatur atau sponsor. Hal ini menjadi perhatian Ketua KPK Firli Bahuri saat menyampaikan Seminar Nasional Antikorupsi di Lampung pada Senin, 25 April 2022, lalu.
Firli menyitir hasil penelitian KPK tahun 2017 yang menyebut 82,3 persen calon kepala daerah dibantu pendanaannya oleh sponsor. Bahkan kata Firli, biaya yang dikeluarkan calon kepala daerah pada Pilkada jauh lebih besar dari harta kekayaan yang dimilikinya. Dengan menerima bantuan sponsor, para calon kepala daerah merasa utang budi dan harus membayar "kebaikan" tersebut. Akhirnya hal ini menimbulkan konflik kepentingan yang mendorong mereka untuk korupsi.
Tidak ada makan siang gratis, ada harapan yang tergantung dari donasi yang diberikan sponsor. Firli memaparkan, harapan sponsor jika calon mereka menang antara lain kemudahan untuk perizinan, tender proyek, keamanan bisnis, akses menentukan kebijakan daerah, hingga akses agar kolega bisa menjabat di pemerintahan.
"Bagaimana mereka mengembalikan utang (politik) itu? Mereka akan mencarikan proyek dan diberikan ke donatur, selesai utangnya. Dari mana uangnya? Dari APBD, APBN," kata Firli.
Lima Modus Korupsi Kepala Daerah
Konflik kepentingan tersebut pada akhirnya akan melahirkan korupsi dana pemerintah. Pengamatan KPK, ada lima modus korupsi yang biasa dilakukan oleh para kepala daerah.
Kelima modus tersebut adalah dengan melakukan intervensi dalam penggunaan APBD; campur tangan dalam pengelolaan penerimaan daerah; ikut menentukan dalam pelaksanaan perizinan dengan pemerasan, benturan kepentingan dalam proses pengadaan barang jasa dan manajemen ASN seperti rotasi, mutasi, dan pengangkatan pegawai; dan penyalahgunaan wewenang terkait pengangkatan dan penempatan jabatan pada orang dekat, pemerasan dalam proses rotasi, mutasi, dan promosi.
Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango, seperti dikutip media pada Mei 2021, memberikan empat rekomendasi kepada pemerintah daerah untuk mencegah korupsi kepala daerah. Rekomendasi pertama, berkoordinasi dengan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) dan BPKP Perwakilan di daerah yang diberi mandat untuk melakukan pengawasan dan pendampingan terkait pengadaan barang/jasa (PBJ) dan penguatan Aparat pengawasan Intern Pemerintah (APIP).
Kedua, memperdayakan dan mendukung APIP melakukan pengawasan dalam program percepatan penanganan COVID-19, sehingga refokusing atau realokasi anggaran APBD tidak berdampak pada fungsi APIP. Ketiga, seluruh jajaran pemerintahan daerah menghindari transaksi penyuapan, pemerasan, gratifikasi, dan potensi benturan kepentingan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dan keempat, mendukung tindak lanjut poin-poin rencana aksi dalam aplikasi Monitoring Centre of Prevention (MCP) tahun 2021 sebagai bentuk komitmen kepala daerah.
Sementara ICW memberikan dua rekomendasi untuk mengurangi potensi korupsi kepada daerah. Pertama adalah perbaikan tata kelola partai mulai dari kaderisasi hingga pendanaan partai politik.
Menurut ICW langkah ini penting karena sumber utama korupsi kepala daerah ada pada partai politik. Politik berbiaya tinggi menurut ICW terjadi karena partai tak ubahnya sebagai mesin pengumpul dana jelang pemilu. Kader instan dengan modalitas besar bermunculan, menyingkirkan kader potensial dari internal partai.
Rekomendasi kedua dari ICW adalah penguatan sistem pengawasan dalam proses pengadaan barang dan jasa melalui keterbukaan informasi dan data yang mudah diakses oleh masyarakat. Menurut ICW, sistem pengadaan elektronik memang sudah dilakukan, tapi ada sejumlah informasi dan data yang masih sulit diakses masyarakat.
Dengan menjalankan berbagai rekomendasi tersebut, diharapkan ke depannya kita tidak akan lagi melihat ada kepala-kepala daerah yang diborgol sambil mengenakan rompi oranye. Karena miris sekali menyaksikan orang yang dipercaya bisa membangun daerah kita, malah berkhianat.
0 comments:
Post a Comment