حَتَّي يُرَاجِعُ دِيْنَهُمْ
(رواه أحمد والطبراني والبيهقي عن إبن عمر رض)
Apabila manusia kikir membelanjakan dinar dan dirhamnya, dan berjual beli dengan ‘inah, serta mengikut ekor sapi (mengejar dunia hingga lalai kewajiban terhadap Allah) dan meninggalkan jihad di jalan Allah, maka Allah pasti menjadikan mereka hidup hina, dan Dia tidak akan menghilangkan kehinaan itu dari mereka, hingga mereka kembali (ke jalan) Agama mereka (Islam).
(HR Ahmad, Thabrani dan Baihaqi, dari Ibnu Umar r.a.)
Hadis yang senada dengan hadis di atas adalah hadis berikut: Abdullah bin ‘Umar r.a. berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَاتَبَايَعْتُمْبِالْعِيْنَةِوَأَخَذْتُمْأَذْنَابَالْبَقَرِوَرَضِيْتُمْبِالزَّرَعِوَتَرَكْتُمُالْجِهَادَ،سَلَّطَاللهُ
عَلَيْكُمْذُلاًّلاَيَنْزِعُهُحَتَّىتَرْجِعُوْاإِلَىدِيْنِكُم
‘Apabila kalian telah berjual beli dengan cara ‘inah, dan kalian
telah disibukkan memegang ekor-ekor sapi, dan telah senang dengan
bercocok tanam dan juga kalian telah meninggalkan jihad, niscaya
Allah subhanahu wa ta’ala akan kuasakan/timpakan kehinaan
kepada kalian, tidak akan dicabut/dihilangkan kehinaan tersebut hingga
kalian kembali kepada agama kalian’.” (HR Abu Dawud, dari Abdullah ibnu Umar r.a.)
Hadis di atas memperingatkan kaum muslimin, bahwa ada empat hal yang mendatangkan bala’ (bencana) berupa kehidupan hina, yaitu: 1. Kikir, 2. Makan riba, 3. Mengejar kenikmatan dunia melupakan kewajiban Agama, dan 4. Tidak berjuang/berjihad menegakkan Agama Allah.
Manusia Kikir
Watak dasar manusia memang cinta kepada harta benda dan kikir untuk membelanjakannya. Al Qur’an dan Hadits Nabi banyak menyebutkannya.
Q.s. Al-‘Adiyat (ayat 8) menyebutkan bahwa manusia sangat suka dan cinta kepada harta benda yang banyak. Demikian juga disebutkan bahwa, manusia memandang indah terhadap harta benda yang amat banyak berupa emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak, dan sawah ladang (Q.s. Ali Imron ayat 14). Q.s. An Nisa ayat 128 menegaskan bahwa manusia berbakat kikir.
Demikian juga, hadis Nabi riwayat Bukhari dari Ibnu Abbas menegaskan bahwa seandainya manusia mempunyai (sebanyak) dua jurang harta benda, niscaya dia akan mencari yang ketiga; (padahal) yang akan memenuhi perut manusia (ibaratnya) hanyalah debu; Allah menerima taubat orang yang mau bertaubat.
Karena manusia berwatak dasar kikir itu, maka ajaran Islam memerintahkan manusi agar membelanjakan hartanya itu untuk kepentingan (jihad) menegakkan agama Allah dalam berbagai macam bentuknya. Apabila ia mau melaksanakannya, maka Allah pun mengimbanginya dengan akan diberi balasan pahala, baik berupa janji Allah akan memberikan ganti harta yang dibelanjakan semasa di dunia itu, maupun pahala yang akan dinikmatinya di akhirat kelak. Namun, sebaliknya, ada ancaman terhadap orang yang tidak mau membelanjakan hartanya sesuai dengan petubjuk Allah. Bahwa ia akan mengalami bala’, bencana , seperti dinyatakan oleh hadits yang kita bahas ini; yaitu hidup hina sebagai manusia, yanbg tidak mempunyai derajat kemuliaan di tengah-tengah masyarakat, meskipun secara personal bisa jadi menampakkan hidup senang.
Mengutamakan kesenangan pribadi dari pada kepentingan Agama Allah merupakan pangkal dari kerdilnya umat dalam menghadapi persoalan-persoalan kehidupan di dunia. Sebab, iman menuntut agar kita lebih mencintai Allah dan Rasul-Nya daripada anak, orang tua, bahkan juga kesenangan diri sendiri.
Harta benda kita adalah anugerah dari Allah. Kesyukuran kita atas anugerah itu ialah dengan membelanjakannya sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya. Kikir adalah watak pembawaan manusia yang dipupuk oleh bisikan-bisikan setan. Membiarkan diri mendengarkan bisikan-bisikan setan berarti membiarkan diri jatuh ke dalam jurang kehinaan hidup. Untuk menghindari bisikan setan, hendaklah iman selalu ditumbuhsuburkan, sehingga sanggup mengatasi bujuk-rayuan setan yang tidak akan pernah berhenti merayu hawa nafsu.
Terhadap penemuan-penemuan teknologi moderen seperti sekarang ini, apabila kita tidak pandai menrimanya dengan ukuran-ukuran iman, akan menarik kita kepada mengejar hidup mewah, yang sekaligus berakibat merasa sayang untuk membelanjakan harta untuk kepentingan Agama Allah. Hal ini disebabkan karena tidak pernah merasa puas untuk memenuhi keinginan-keinginan hawa nafsunya.
Kita terima penemuan-penemuan teknologi moderen dengan tangan terbuka dan senang hati, jika teknologi itu dapat menjadi sarana untuk lebih menyempurnaka pengabdian kita kepada Allah, bukan malah menjadikan menjauhkan kita dari suasana beribadah.
“Jagalah dirimu jangan sampai berbuat aniaya, sebab aniaya itu akan mendatangkan kegelapan pada hari kiamat, jangan pula memupuk tabiat kikir, sebab kikir itu telah merusak ummat sebelum kamu; kekikiran telah membawa mereka saling membunuh dan menghalalkan hal-hal yang wajib dihormati dalam hidup mereka” (HR Muslim, dari Jabir r.a.)
Berjual Beli dengan ‘Inah
Memakan riba dengan dalih jual beli. Yang disebut jual beli dengan ‘inah itu, misalnya, seseorang (A)menjual suatu barang kepada orang lain (B) dengan harga Rp 100 ribu, pembayarannya ditangguhkan misalnya dalam jangka satu bulan. Belum sampai satu bulan, orang yang membeli barang itu (B) menjual kembali kepada (A) dengan pembayaran tunai seharga Rp 80 ribu. Ketika tiba waktu satu bulan, (B) berkewajiban membayar kepada (A) sebesar Rp 100 ribu. Ada selisih Rp 20 ribu, hakikatnya adalah riba yang diperoleh dengan dalih jual beli barang, padahal maksudnya tidak lain untuk menerobos hukum larangan makan riba.
Berdalih untuk lari dari ketentuan hukum seperti disebutkan dalam hadis di atas hanya merupakan salah satu bentuk saja. Masih banyak bentuk-bentuk dalih lain, yang semuanya menunjukkan sikap tidak mau mentaati ketentuan hukum agama, karena bisikan hawa nafsu, ingin mendapat harta sebanyak mungkin, atau karena kikir tidak mau membelanjakan harta sesuai dengan tuntunan Agama, tetapi secara formil tidak ingin dikatakan melanggar ketentuan hukum Agama.
Sebagai contoh dalih untukmenghindari kewajiban zakat, ketika harta yang dimiliki yang sudah sampai nisab zakat dan menjelang jangka kepemilikan setahun, diberikan kepada orang lain. Tetapi beberapa waktu kemudian diminta lagi, setelah dirasa terhindar dari kewajiban untuk menunaikan zakatnya. Contoh lain, seseorang yang memiliki uang yang sudah hampir terkena wajib zakat, dibelikan tanah atau rumah, dengan alasan kalau laku akan dijual, kalau tidak akan dipakai sendiri, atau sebaliknya. Dalih yang demikian banyak diberikan jalannya dalam kitab fikih, padahal dalih semacam itu mupakan salah satu cara memupuk tabiat kikir, tidak mau membayarkan zakat, yang akan mendatangkan bencana bagi ummat.
Mengikuti Ekor Sapi
Ungkapan ini sebagai kiasan bagi orang yang mengejar kekayaan dunia tanpa mengenal batas, hingga melalaikan kewajiban-kewajiban ibadah, seperti shalat, dan sebagainya. Di kota-kota besar, banyak kesibukan orang untuk mencukupi kebutuhan hidup, menyita banyak waktu, tenaga dan pikiran, sehingga menimbulkan perasaan bahwa kewajiban shalat lima waktu sehari semalam itu terlalu berat untuk dilaksanakan pada waktunya. Hal ini sebenarnya adalah wajar, sebab apabila perhatian orang justru kepada harta kekayaan yang ingin diraihnya, maka pasti akan mudah tergoda oleh bisikan-bisikan setan untuk melalaikan kewajiban Agama.
Namun, bila upaya untuk mencari harta kekayaan itu dijadikan sebagai sarana untuk menyempurnakan pengabdian kepada Allah, maka bagaimanapun sibuk seseorang dalam mencari harta kekayaan dunia, dia akan selalu ingat kepada kewajiban agamanya.
Oleh karena itu, niat menjadi hal yang penting dalam usaha mencari harta kekayaan. Apabila niatnya karena sunguh-sungguh untuk menyempurnakan pengabdiannya kepada Allah sudah tentu akan mendapatkan bimbingan dari Allah, sehingga selama usaha mencarinya itu tidak akan melalaikan kewajiban agamanya. Caranya mencari harta pun tidak akan melanggar larangn-larangan Agama. Apabila sudah diperoleh harta itu, dia akan membelanjakan hartanya sesuai dengan pedoman yang digariskan Allah dan RasulNya.
Tetapi, sebaliknya, apabila niat mencari kekayaan itu adalah semata untuk mendapatkan harta kekayaan, maka niscaya setan yang akan mempunyai banyak kesempatan untuk melalaikan orang tersebut dari kewajiban agamanya.
Meninggalkan Jihad di Jalan Allah
Jihad tidak selalu harus dimaknai sebagai perjuangan dengan kekuatan senjata (perang). Segala perjuangan (bersungguh-sungguh) untuk menegakkan Agama Allah, dengan harta, tenaga, pikiran dan sebagainya, merupakan pengertian jihad yang lebih luas.
Meninggalkan jihad di jalan Allah berarti suatu sikap acuh tak acuh (abai) terhadap Agama Allah; apakah ia dapat tegak atau tidak, kalaupun masih ada eksistensinya, apakah ajaran-ajarannya dapat dilaksanakan dengan semestinya atau tidak; semua hal yang berkenaan dengan usaha mewujudkan ajaran Agama Islam dalam kehidupan masyarakat, apabila tidak mendapat perhatian lagi, merupakan pertanda menipisnya ghirah terhadap ajaran Agama Islam. Apabila hal ini dibiarkan, akhirnya orang benar-benar tidak memiliki perhatian lagi terhadap keadaan pelaksanaan ajaran Agama Islam, maka pada saat itulah kehancuran pasti dialami. Ummat yang beragama Islam tidak berkualitas, bahkan menjadi bahan cemooh orang, menjadi permainan orang lain, mudah diadudomba, dan sebaganinya.
Ruju’ (Kembali) kepada Agama Allah
Untuk memperoleh janji Allah, sebagaimana disebutkan dalam Al Qur’an surat Ali Imran ayat 139, bahwa kaum muslimin mesti berderajat tinggi, apabila benar-benar beriman, maka jalan yang ditunjukkan oleh hadis yang kita bahas ini adalah, hendaknya kaum muslimin kembali kepada agama Islam dalam arti yang sebenar-benarnya. Kita tanamkan keyakinan bahwa Islam adalah agama Allah yang mutlak benar. Agama Islam diturunkan sebagai pernyataan kasih sayang Allah kepada alam semesta. Agama Islam memberikan pedoman hidup yang menjamin kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Kita fahami benar-benar ajaran Islam secara murni, tidak dicampuri tafsiran-tafsiran hawa nafsu. Kita berhasrat betul untuk melaksanakan ajaran Islam, bukan sekedar dirasakan sebagai kewajiban yang datang dari Allah, tetapi kita yakini sebagai hal yang memang benar-benar kita perlukan dalam kehidupan, guna memperoleh cita-cita hidup sejahtera dan bahagia.
Kepada orang lain yang belum mengenal Islam, kita tawarkan kebenaran ajaran Islam itu, melalui dakwah. Tidak hanya secara teoritis, melainkan juga dengan contoh yang kita tunjukkan dalam praktik hidup kita sehari-hari (dakwah bil hal). Jangan sekali-kali kita bertindak yang justru menjadi fitnah bagi Agama Islam.
Rasulullah SAW sukses mendakwah Islam oleh karena beliau dapat memberikan contoh teladan praktik hidup sesuai dengan ajaran agama. Kalau kita ingin sukses mendakwahkan Islam, jejak Rasulullah itu mutlak harus kita ikuti. Masyarakat sering tidak memperhatikan nilai-nilai kebenaran teoritis dari ajaran Agama, tetapi lebih banyak tertarik dan lebih mudah memperhatikan kepada amalan/praktik nyata dalam hidup pragmatis.
Kenyataan kehidupan kita saat ini telah cukup memberikan peringatan agar kita bersegera merujuk (kembali) kepada Agama Allah yang telah sama kita yaknini mutlak benar itu. Apalagi, Allah telah memberikan janji-Nya:
وَٱلَّذِينَ جَـٰهَدُواْ فِينَا لَنَہۡدِيَنَّہُمۡ سُبُلَنَاۚ
“Orang-orang yang berjihad (bersungguh-sungguh) untuk mencari keridhaan Kami, pasti Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami..” (Q.s. Al Ankabut: 69)
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir
0 comments:
Post a Comment