![]() |
| Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Firman Soebagyo |
Jakarta -Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Firman Soebagyo
menyebut pembahasan Revisi Undang-Undang (RUU) Penyiaran belum rampung.
Baleg berupaya mencarikan jalan keluar karena belum ada keputusan bulat
soal model penguasaan frekuensi antara multi mux versus single mux.
"Baleg
berfungsi mencarikan jalan keluar lain yaitu dengan istilah hybrid.
Tapi karena hybrid belum dikenal di norma hukum, maka tugas kami membuat
norma hukum baru. Membuat norma apa pun yang penting untuk kepentingan
masyarakat dan negara itu dibenarkan," uar Firman kepada wartawan di
Senayan, Jakarta, Rabu (31/1/2018).
Model multi mux berarti
penguasaan frekuensi dipegang oleh banyak pemegang lisensi, meliputi
perusahaan-perusahaan penyiaran swasta dan pihak pemerintah. Model
single mux berarti sebaliknya, penguasaan frekuensi sepenuhnya ada di
tangan negara.
Ada pula model sintesis single dan multi mux yakni hybrid. Pada model ini, pemerintah dan swasta membagi jatah frekeunsinya.
Dengan
konsep hybrid, negara dan pengelola swasta menurut Firman mendapatkan
hak yang sama. Nantinya akan diatur soal kepemilikan frekuensi yang
diperbolehkan pada masing-masing instansi penyiaran swasta.
"Sekarang
pihak swasta itu sudah menyerahkan frekuensinya, yang puny 4
(frekuensi) diserahkan pada negara 3, yang punya 2 (frekuensi)
diserahkan 1 dan yang punya 1 dipertahankan. Dalam UU, kalau satu
perusahaan punya 1 frekuensi itu bisa jadi 12 channels kalau beresolusi
rendah. Tapi kalau resolusi tinggi paling 8 channels. Kalau perusahaan
itu cuma sanggup mengelola 3 channels, maka channel lainnya harus
dikerjasamakan dengan calon-calon pelaku usaha di bidang penyiaran. Itu
diatur. Artinya tidak ada monopoli," paparnya.
Di sisi lain,
Firman mengaku memahami kegelisahan Komisi I DPR yang menyebutkan adanya
bentuk monopoli dari pihak swasta apabila dibiarkan mengelola frekuensi
sendiri. Komisi I DPR menyarankan agar diterapkan model single mux.
Tapi
saran ini belum menjadi keputusan bersama. Firman menolak bila Komisi I
DPR membawa putusan itu ke sidang paripurna tanpa melalui rapat pleno
Baleg. Firman menyebut hal tersebut melanggar UU.
"Itu yang masih
terjadi tarik-menarik single dan multi tanpa menyelesaikan masalah. Oleh
karena itu, kemarin saya dengar bahwa Komisi I ada pertemuan dengan
pimpinan DPR lalu dilanjutkan Bamus kemudian diputuskan seperti itu
(dibawa ke sidang paripurna). Saya menyayangkan mungkin pihak yang tahu
hukum dan membiarkan gitu," tuturnya.
Firman mengingatkan agar
semua pihak menaati aturan terkait pembahasan revisi UU. DPR ditegaskan
Firman tidak boleh menabrak aturan yang dibuat sendiri.
"Saya
sebagai pimpinan Baleg tentunya meluruskan dan mengingatkan kepada semua
pihak, termasuk pimpinan DPR dan fraksi-fraksi. Karena kalau itu
dipaksakan, maka setidak-tidaknya ada 2 UU yang dilanggar," imbuhnya.
Firman
menyebut aturan yang bisa dilanggar bila revisi UU langsung dibawa ke
paripurna yakni UU No 12 Tahun 2017 Tentang Tata Cara Penyusunan UU, UU
No 17 Tahun 2014 Tentang Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Kemudian Peraturan DPR No 1 Tahun 2014 Tentang Tata Tertib, dan Peraturan DPR No 2 Tahun 2014 Tentang Tata Cara Penyusunan UU.
Soal perdebatan mengenai
sistem single mux dan multi mux, eks Ketua Komisi Penyiaran Indonesia
(KPI) Judhariksawan sebelumnya menilai sistem single mux hanya akan
menambah beban negara.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas
Hassanudin ini menyatakan sistem single mux tidak tepat untuk saat ini.
Apalagi menurutnya, saat ini Indonesia memiliki hutang luar negeri yang
cukup besar.
Penerapan single mux disebut bertentangan dengan asas demokratisasi penyiaran.
"Kemudian
penyiaran ini hendak dikendalikan lagi oleh negara ini akan menjadi
pertanyaan konsep demokrasi yang kita usung dan konsep demokratisasi
penyiaran," ujarnya.







0 comments:
Post a Comment