Politik Beretika Wujud Peradaban Bangsa
Selamat Tahun Baru 2020! Kini kita telah resmi memasuki tahun politik
menjelang pemilihan kepala daerah serentak 23 September mendatang.
Seperti tahun-tahun politik sebelumnya, sudah dapat diprediksikan para
politisi akan mewarnani 2020 dengan sejumlah manuver politik. Sayangnya,
kadang-kadang atraksi para politisi tersebut kurang etis, padahal
menurut C. G. Jung dkk dalam JSCOPE (1998:258), perkembangan etika
sebuah bangsa merupakan wujud peradaban bangsa tersebut.
Etika dan Moral
Dr. Umaimah Wahid pada kuliah Komunikasi Politik di Universitas Budi
Luhur (21/12/2019) menjelaskan bahwa etika dalam pandangan filsafat
merupakan konsep nilai-nilai baik dan buruk, dalam pandangan ilmu
merupakan sebuah kajian yang dapat didiskusikan secara terus menerus,
dalam praktiknya etika merupakan hukum perilaku (moral). Artinya, secara
konsep setiap orang dan/ budaya meyakini dan menyetujui adanya
nilai-nilai baik-buruk, tetapi tidak semua orang mempelajarinya, bukan
juga sebuah jaminan bahwa nilai-nilai tersebut akan diterapkan oleh
setiap orang dalam kehidupan sehari-hari.
Prof. Tremblay dalam Global Research (04/06/2010) menjelaskan, secara
ideal “ethical expertise” kecerdasan etis sebuah bangsa memiliki
pengaruh signifikan terhadap tingkat transparansi pemerintah di negara
tersebut. Artinya, kemapanan moral sebuah bangsa dapat diukur dari
tingkat keterbukaan penyelenggara negara. Semakin transparan pemerintah
sebuah negara, semakin rendah tingkat korupsi di negara tersebut, maka
semakin tinggi tingkat kemapanan moral bangsa itu.
Menurut Prof. Tremblay (ibid) Selandia Baru dan Denmark adalah contoh
bangsa yang memiliki kemapanan moral yang tinggi. Hal ini tercemin dari
indeks keterbukaan pemerintahnya yang menduduki peringkat 1 dan 2
sebagai negara yang paling transparan di dunia pada 2009. Bahkan hingga
2018 lalu, kedua negara tersebut secara bergantian masih menduduki
posisi teratas (transparency.org, 2018).
Prof. Snook menceritakan kepada nzherald (30/06/2000) bahwa pada
1970an wacana pendidikan moral di Selandia Baru mengalami penolakan
karena dianggap bukan kewajiban dari sekolah. Negara tersebut baru
melegalkan regulasi tentang pendidikan karakter bagi anak usia 6-16
tahun pada 29 September 1989 (Education Act 1989).
Jika dibandingkan dengan Indonesia, istilah kewarganegaraan pertama
kali muncul pada 1957 dan pendidikan moral di Indonesia telah
dilaksanakan sejak 1959 dengan nama “Civics Manusia Indonesia Baru”
dengan “Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi (TUBAPI)” sebagai buku acuan
(UNY). Secara teoritis, seharusnya bangsa Indonesia memiliki kemapanan
etis dan transparansi yang lebih tinggi dibandingkan Selandia Baru.Perbandingan di atas menunjukkan bahwa tidak berarti mereka yang baru
memperolehpendidikan moral adalah individu-individu yang memiliki
kemapanan moral lebih rendah, tidak juga menjadikan mereka yang lebih
dulu mempelajari nilai-nilai moral sebagai orang yang paling bermoral.
Pertanyaannya kemudian, faktor-faktor apa yang menyukseskan pendidikan
moral di Selandia Baru hanya dalam 20 tahun? Dan apa yang membuat
pendidikan moral di Indonesia masih cenderung kurang efektif bahkan
setelah diterapkan lebih dari 60 tahun? Bagaimana cara memperbaiki
sistem pendidikan moral di Indonesia?
Etika Politik
Menurut International Encyclopedia of Ethics (Harvard.edu),
“political ethics (sometimes called political morality or public ethics)
is the practice of making moral judgments about political action, and
the study of that practice.” Dengan kata lain, etika politik yang
kadang-kadang disebut moral politik atau etika publik merupakan praktik
membuat penilaian moral tentang tindakan politik, dan mempelajari
praktik itu. Pada ensiklopedia tersebut dijelaskan bahwa terdapat dua
objek kajian etika politik, yaitu proses politik dan regulasi politik.
Etika dari proses politik berfokus pada para tokoh publik dan
metode-metode yang mereka gunakan untuk memperoleh, menjalankan, dan
mempertahankan kekuasaan. Sementara etika dari regulasi politik
berkosentrasi pada pertimbangan moral dari kebijakan publik dan
undang-undang yang diproduksi oleh para politisi.
Namun demikian, menurut Hampshire dalam Harvard.edu, etika politik
memiliki standar ganda. Di satu sisi, etika menuntut para pemimpin
politik untuk menghindari tindakan yang merugikan orang tidak bersalah,
tetapi hal tersebut mendapatkan pengecualian ketika pelaksanaan tindakan
itu semata-mata demikepentinganmasyarakat yang lebih luas.Hampshire
mencontohkan peristiwa perang, merunutnya dalam teori perang, seorang
presiden dapat menginstruksikan penyerangan terhadap musuh terlepas dari
kemungkinan akan adanya prajurit yang gugur dalam penyerangan.
Standar ganda juga terjadi dalam menerapkan kebijakan. Etika menuntut
para politisi untuk adil dalam membuat kebijakan, tetapi dalam praktik
politik para penyelenggara negara dimungkinkan untuk memaksa publik agar
mengadopsi suatu kebijakan tertentu (Gutmann dan Thompson dalam
Harvard.edu), terlepas dari tingkat objektivitas kebijakan tersebut.
Nilai Kebudiluhuran dan Peradaban Bangsa
Berdasarkan penjelasan di atas, diketahui bahwa pertentangan antara
etika politik dan praktik moral merupakan hal yang niscaya. Akan tetapi
keniscayaan itu tidak dapat diterima begitu saja. Karena tingkat
pertentangan antara etika dan moral sangat tergantung pada orientasi
politik dari para politisi. Berbagai studi menunjukkan, ciri dari bangsa
maju ialah tingginya tingkat transparansi pemerintah yang berdampak
pada rendahnya tingkat korupsi.
Korupsi menurut KBBI (2019) ialah penyelewengan atau penyalahgunaan
uang negara (perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau
orang lain. Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa negara dengan
tingkat korupsi yang tinggi mencerminkan politisi yang egosentris,
menjadikan dirinya sebagai titik pusat pemikiran (mementingkan diri
sendiri). Artinya, dalam membuat kebijakan, para politisi tersebut belum
sepenuhnya atau sama sekali tidak berorientasi pada kepentingan publik,
melainkan lebih mengutamakan kepentingan diri dan kelompoknya sendiri.
Dari data transparency.org (2018), transparasi Indonesia berada di
peringkat 89 dari 180 negara, berada 11 peringkat di bawah India yang
menduduki peringkat 78. Dan berada jauh di bawah negara-negara serumpun,
seperti: Singapura (peringkat 3), Brunei Darussalam (peringkat 31), dan
Malaysia (peringkat 61).
Menurut Dr. Umaimah Wahid (Suara Merdeka, 01/09/2018), bilamana
Indonesia menerapkan nilai-nilai kebudiluhuran sebagaimana mestinya,
maka akan tercipta karakter bangsa yangpenuh cinta kasih, suka menolong,
jujur, bertanggung jawab, rendah hati, bertoleransi, suka
bekerjasama,sabar mensyukuri, dan sopan santun. Nilai-nilai
kebudiluhuran yang telah tertanam dalam budaya bangsa selama ratusan
tahun tersebut menunjukkan kedewasaan peradaban (kemajuan, kecerdasan,
kebudayaan) Indonesia masa lampau. Pertanyannya kemudian, apakah
Indonesia hari ini telah mengalami kemunduran budaya?
Jika memperhatikan sikap dan perilaku para politisi yang terlibat
kasus suap dan korupsi, mayoritas dari mereka tampil di media massa
dengan santai dan tanpa rasa bersalah. Lainnya memberikan pernyataan
yang penuh pengingkaran. Sementara yang belum terjerat, sibuk
menggunakan segala kecerdasan dan kekuasaan yang mereka miliki untuk
membuat “lubang-lubang persembunyian” melalui kebijakan-kebijakan yang
memberikan keleluasaan bagi mereka dalam menjalankan aksinya.
Fenomena ini cukup memprihatinkan, karena sepertinya para politisi
itu telah gagal memahami nilai-nilai “cinta kasih, tolong-menolong,
toleransi, dan kerjasama” yang tertanam dalam budaya bangsa Indonesia.
Sesungguhnya, nilai-nilai tersebut berlaku untuk seluruh lapisan sosial
di Indonesia, bukan hanya kepada keluarga, kerabat, dan/
lingkaran-lingkaran sosial tertentu, kemudian mengabaikan lapisan sosial
lainnya.
Dalam politik, sering kali suara kita sebagai rakyat kurang atau
bahkan tidak terdengar. Namun perlu kita ingat bersama, bahwa di negara
demokrasi ini, kedaualatan tertinggi ada di tangan rakyat. Sehingga,
apabila kritik tentang peraturan yang melegalkan para mantan koruptor
untuk kembali mencalonkan diri sebagai kepala daerah tidak terdengar,
merupakan hal yang wajar dan konstitusional apabila kita memberikan
dukungan suara kepada kandidat yang mampu menyampaikan dan
memperjuangkan aspirasi kita.
Untuk itu, demi mewujudkan peradaban bangsa yang mapan, marilah
menggunakan waktu yang tersedia untuk mengedukasi diri tentang para
calon kepala daerah kita, serta menggunakan hak pilih dengan bijaksana.
Sesungguhnya, menciptakan sistem politik yang beretika dimulai dari
pilihan kita. Pilihan itu akan mencerminkan kecerdasan moral diri
sendiri dan bangsa ini. Pada akhirnya, pilihan kita akan berdampak
signifikan terhadap kemajuan bangsa. Maka, marilah kita menjadi pemilih
yang cerdas berbudi luhur! Kenali dan amati sebelum memilih!(RMI/HRU)
0 comments:
Post a Comment