Pemerintah melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyiapkan
dana alokasi khusus (DAK) Fisik Bidang Kesehatan serta Bantuan
Operasional untuk pencegahan dan penanganan virus Corona Covid-19 yang
jumlahnya mencapai hingga Rp19 triliun. Penyediaan dana itu diatur dalam
Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 6/KM.7/2020 tentang Penyaluran
Dana Alokasi Khusus Bidang Kesehatan dan Dana Bantuan Operasional
Kesehatan Dalam Rangka Pencegahan dan/atau Penanganan Corona Virus
Disease 2019 (Covid-19). Aturan ini berlaku sejak 14 Maret lalu.
Dukungan alokasi anggaran untuk penanganan virus corona juga datang
dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian. Tito mengatakan
bahwa pemerintah daerah bisa mengubah anggaran pendapatan dan belanja
daerah (APBD), dialihkan sebagian untuk menanggulangi virus Corona
Covid-19. Revisi APBD tersebut untuk meningkatkan pelayanan rumah sakit
di daerah agar memenuhi standar penanganan virus corona.
“Pertama tentang APBD, dengan fokus meningkatkan kapasitas di bidang
kesehatan untuk pengendalian corona desease, negara dapat melakukan
revisi APBD,” kata Tito saat konferensi pers di kantor Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB), Jakarta, Senin (16/3) lalu.
Besarnya dana tambahan yang dikeluarkan pemerintah di satu sisi
dianggap positif karena penyebaran virus Corona Covid-19 sudah begitu
masif. Namun di sisi lain timbul kekhawatiran ada oknum-oknum tertentu
yang memanfaatkan besarnya dana untuk kepentingan mereka pribadi. Itu
sebabnya, Komisi Pemberantasan Korupsi memberikan warning sejak awal.
Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan pihaknya akan melakukan pengawasan
terhadap pemberian dana oleh pemerintah untuk menghindari adanya
penyelewengan. “Pengawasan yang dilakukan oleh KPK bertujuan agar
pemerintah pusat dan daerah dapat menggunakan anggaran secara efektif
dan bebas dari penyelewengan. Jangan sampai anggaran bencana di korupsi
oknum yang tidak punya empati,” kata Firli dalam keterangannya.
Plt. Juru Bicara KPK Ali Fikri juga mengingatkan agar para pelaku
kepentingan tidak memanfaatkan situasi bencana seperti pada penyebaran
virus Corona. Apalagi ada aturan yang jelas serta ancaman hukuman yang
tinggi bagi para pelaku korupsi bencana termasuk pada wabah penyakit
menular seperti Covid-19.
“KPK mengingatkan kepada segenap pihak agar tidak memanfaatkan
kesempatan dalam situasi bencana non alam saat ini terkait mewabahnya
virus corona. Pasal 2 ayat (2) UU Pemberantasan Tipikor mengatur ancaman
hukuman dan pemberatan pidana bagi pelaku yang melakukan tindak pidana
korupsi terhadap dana-dana yang diperuntukan antara lain untuk
penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional dan lain
sebagainya,” terangnya.
Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 menyebutkan: (1)
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama
20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1
miliar; (2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
‘Keadaan tertentu’ yang dimaksud adalah keadaan yang dapat dijadikan
alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila
tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan
bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional,
penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan
krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengatakan
perlu ada komitmen kuat bagi aparat penegak hukum untuk mencegah atau
menindak para pelaku tindak pidana korupsi apalagi pada saat terjadi
bencana. Sebab selama ini pelaku kerap kali dituntut dan dihukum dengan
pidana rendah, meskipun ancaman hukuman menurut aturan undang-undang
cukup tinggi.
“Harus ada pemberatan terhadap pelaku korupsi bencana. Aparat penegak
hukum termasuk pengadilan juga seharusnya sadar akibat yang ditimbulkan
pelaku korupsi bencana. Tuntutannya harus ada pemberatan, hukumannya
juga,” pungkas Kurnia.
Kasus korupsi bencana
Dalam beberapa perkara, para pelaku korupsi yang berkaitan dengan
bencana alam belum mendapat hukuman maksimal, atau lebih berat,
sebagaimana dimaksudkan dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Contoh pertama pada perkara korupsi penyediaan air oleh Dinas Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) di daerah bencana yang ketika itu
terjadi di wilayah Donggala, Palu, Sulawesi tengah akibat terjadinya
tsunami.
(Baca juga: Melihat Potensi Hukuman Mati Pelaku Korupsi Bencana Alam).
Pada Desember 2018, KPK menggelar OTT terhadap delapan pejabat PUPR
yang berkaitan dengan dugaan suap proyek pembangunan sistem penyediaan
air minum (SPAM). Beberapa proyek pembangunan SPAM diketahui berada
daerah bencana di Donggala, Palu, Sulawesi Tengah yang saat itu baru
terkena bencana tsunami.
Dari hasil penyidikan diperoleh sejumlah tersangka yaitu Anggiat
Partunggul Nahot Simaremare, Kepala Satker SPAM Strategis/ PPK SPAM
Lampung, Meina Woro Kustinah, PPK SPAM Katulampa, Teuku Moch Nazar,
Kepala Satker SPAM Darurat, Donny Sofyan Arifin, PPK SPAM Toba-1 sebagai
tersangka penerima.
Ada pula Budi Suharto, Dirut PT WKE, Lily Sundarsih, Direktur PT WKE,
Irene Irma, Direktur PT TSP, dan Yuliana Enganita Dibyo, Direktur PT
TSP sebagai tersangka pemberi. Total uang suap yang diduga para pejabat
Kementerian PUPR itu ialah Rp 5,3 miliar, AS$5 ribu dan Sin$22.100. Uang
itu diduga merupakan bagian fee 10 persen dari total nilai proyek Rp429
miliar yang didapat oleh kedua perusahaan itu.
Dalam proses penuntutan para tersangka tidak ada yang dituntut 10
tahun atau lebih. Anggiat misalnya yang terbukti menerima uang suap
dengan total sekitar Rp5 miliar dituntut 8 tahun penjara, denda Rp400
juta subsider 4 bulan kurungan, sementara vonisnya 6 tahun denda Rp250
juta subsider 2 bulan kurungan. Meina dituntut 5,5 tahun penjara, denda
Rp300 juta subsider 3 bulan kurungan dan vonisnya 4 tahun denda Rp200
juta subsider 2 bulan kurungan.
Nazar dituntut 8 tahun penjara, denda Rp500 juta subsider 4 bulan
kurungan dan divonis 6 tahun penjara, denda Rp250 juta subsider 2 bulan
kurungan. Sedangkan Donny dituntut 5,5 tahun denda Rp300 juta subsider 3
bulan kurungan dan divonis 4 tahun denda Rp200 juta subsider 2 bulan
kurungan. Hukuman yang dijatuhkan hakim tingkat pertama itu pun masih
dapat berubah, kecuali para pihak tidak mengajukan upaya hukum lanjutan.
0 comments:
Post a Comment