JAKARTA KONTAK BANTEN Tata kelola Pemilu dan partai politik yang belum baik di Indonesia
dinilai sebagai salah satu faktor turunnya Indeks Persepsi Korupsi (IPK)
atau Corruption Perception Index (CPI). Pernyataan itu disampaikan anggota Dewan Pengawas (Dewas) Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), Syamsuddin Haris, saat disinggung terkait
turunnya skor IPK Indonesia pada 2022. Pada 2022 IPK Indonesia sebesar
34, turun 4 poin di banding 2021 yang sebesar 38.
Menurut dia, IPK bukan hanya berbicara kinerja KPK, tapi secara keseluruhan.
"Variabel yang mempengaruhi skor atau
IPK tidak semata-mata tergantung KPK, apalagi hanya penindakan KPK,"
kata Syamsuddin kepada wartawan, saat pemaparan Laporan Kinerja Dewas
KPK Tahun 2023, di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi KPK, Jalan HR Rasuna
Said Kav C1, Setiabudi, Jakarta Selatan, Senin (15/1).
Dia juga mengatakan, variabel yang mempengaruhi IPK di antaranya ekonomi, penegakan hukum, politik, serta demokrasi.
"Kalau
variabel demokrasinya jeblok, variabel politiknya jeblok, ekonominya
juga tidak begitu baik, apalagi penegakan hukumnya juga tak begitu baik,
otomatis skor total atau indeks total IPK Indonesia merosot," urainya.KPK, sambung dia, hanya bisa berkontribusi pada konsistensi penindakan
yang tidak tebang pilih dan pencegahan agar menghasilkan IPK yang lebih
baik. Mengingat pencegahan korupsi tidak bisa semata-mata dilakukan KPK,
tapi harus melibatkan semua pihak.
"Sebagai contoh korupsi
politik. Apa yang bisa dilakukan KPK dengan korupsi politik? Kita tidak
menyentuh tata kelola partai politik, padahal itu salah satu sumbernya.
Kita lihat saja saat ini, jelang Pemilu, bagaimana buruknya. Tata kelola
Pemilu juga belum baik," pungkasnya.
0 comments:
Post a Comment