![]() |
NEW YORK - Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) menggelar sidang darurat hari ini atas permintaan negara-negara
Muslim terkait keputusan Amerika Serikat (AS) mengakui Yerusalem sebagai
ibu kota Israel.
Utusan Palestina di PBB Riyad Mansour menyatakan, Majelis Umum PBB akan menggelar voting draf resolusi yang mendesak deklarasi AS terkait Yerusalem itu dicabut. Draf resolusi itu telah diveto AS di Dewan Keamanan PBB pada Senin (18/12). Dari 15 anggota Dewan Keamanan PBB, sebanyak 14 anggota mendukung draf resolusi itu dan hanya AS yang menolaknya.
"Kami berharap akan ada dukungan besar di Majelis Umum PBB untuk resolusi itu," ujar Mansour. Hasil voting di Majelis Umum PBB tidak memiliki kekuatan mengikat secara hukum, tapi memiliki bobot tekanan politik yang besar.
Utusan AS di PBB, Nikki Haley, dalam sepucuk surat pada puluhan negara anggota PBB memperingatkan bahwa AS akan mengingat nama siapa saja yang mendukung resolusi mengkritik langkah Washington tersebut. "Presiden akan melihat voting ini dengan cermat dan meminta saya melaporkan kembali negara-negara yang bersuara menentang kami. Kami akan mencatat setiap negara dan setiap suara dalam isu ini," tulis Haley dalam surat tersebut dikutip kantor berita Reuters. Haley mengulangi seruan itu di Twitter. "AS akan mencatat nama-nama," tweet dia.
Sesuai resolusi 1950, sesi khusus darurat bisa dilakukan Majelis Umum PBB untuk mempertimbangkan satu masalah yang memberikan rekomendasi pada para anggota agar mengambil langkah kolektif jika Dewan Keamanan gagal bertindak. Sesi semacam ini hanya pernah digelar 10 kali dan terbaru adalah sidang pada 2009 untuk membahas pendudukan wilayah Yerusalem Timur dan Palestina. Pertemuan hari ini pun mengulang sesi tersebut.
Presiden AS Donald Trump mengubah beberapa dekade kebijakan AS dengan mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Langkah ini memicu kemarahan dari Palestina dan dunia, termasuk aliansi AS. Trump juga berencana memindahkan Kedutaan Besar (Kedubes) AS ke Yerusalem dari Tel Aviv. Draf resolusi PBB itu menyeru semua negara untuk tidak mendirikan misi diplomatik di Yerusalem.
Haley menyatakan, AS memveto resolusi itu untuk membela kedaulatan dan peran AS dalam proses perdamaian Timur Tengah. Dia mengkritik para anggota Dewan Keamanan PBB yang dianggap menghina dan memalukan Washington. Israel menganggap Yerusalem sebagai ibu kota abadi dan tak bisa dibagi dengan Palestina. Adapun Palestina ingin ibu kotanya berada di Yerusalem Timur.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri (Menlu) Turki Mevlut Cavusoglu menyatakan, dia akan ke New York bersama Menlu Palestina untuk menghadiri sidang Majelis Umum PBB terkait Yerusalem. "Kami ingin Amerika mundur dari keputusan salah dan tak dapat diterima ini. Tuhan ingin kita mendorong melalui Majelis Umum PBB resolusi yang mendukung Palestina dan Yerusalem," kata Menlu Turki Mevlut Cavusoglu saat konferensi pers bersama Menlu Iran dan Azeri di ibu kota Baku, Rabu (20/12/2017). Cavusoglu menjelaskan, dia akan pergi ke AS melalui Istanbul bersama Menlu Palestina Riyad al-Maliki.
Presiden Turki Tayyip Erdogan mengkritik tajam langkah Trump. Erdogan menggelar konferensi tingkat tinggi Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) yang menyerukan Yerusalem Timur diakui sebagai ibu kota Palestina. "Mulai sekarang kami akan lebih aktif dalam membela hak-hak rakyat Palestina. Kami akan bekerja lebih keras untuk pengakuan internasional kemerdekaan negara Palestina," kata Cavusoglu di Baku.
Adapun Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) PBB Zeid Ra'ad al-Hussein menyatakan, aksi brutal Israel yang membunuh seorang pria Palestina Ibrahim Abu Thurayeh yang cacat saat unjuk rasa menentang langkah Trump sangat tidak bisa dimengerti. Menurut Zeid, Abu Thurayeh yang berada di kursi roda itu ditembak kepalanya oleh pasukan Israel di dekat pagar perbatasan Israel pada Jumat (15/12/2017).
Meski demikian, Israel mengelak tidak tahu siapa yang membunuh Abu Thurayeh dan tidak ada peluru tajam diarahkan kepadanya. Zeid menegaskan, Abu Thurayeh bukan ancaman saat dia dibunuh secara brutal oleh tentara Israel. "Fakta-fakta yang dikumpulkan sejauh ini oleh staf saya di Gaza dengan kuat menunjukkan bahwa kekuatan yang digunakan terhadapnya itu berlebihan," katanya.
"Dengan kondisinya yang cacat parah, terlihat jelas bagi seseorang yang menembaknya, pembunuhan terhadapnya tak bisa dimengerti. Sungguh aksi yang mengejutkan dan ceroboh," kata pernyataan Zeid.
Utusan Palestina di PBB Riyad Mansour menyatakan, Majelis Umum PBB akan menggelar voting draf resolusi yang mendesak deklarasi AS terkait Yerusalem itu dicabut. Draf resolusi itu telah diveto AS di Dewan Keamanan PBB pada Senin (18/12). Dari 15 anggota Dewan Keamanan PBB, sebanyak 14 anggota mendukung draf resolusi itu dan hanya AS yang menolaknya.
"Kami berharap akan ada dukungan besar di Majelis Umum PBB untuk resolusi itu," ujar Mansour. Hasil voting di Majelis Umum PBB tidak memiliki kekuatan mengikat secara hukum, tapi memiliki bobot tekanan politik yang besar.
Utusan AS di PBB, Nikki Haley, dalam sepucuk surat pada puluhan negara anggota PBB memperingatkan bahwa AS akan mengingat nama siapa saja yang mendukung resolusi mengkritik langkah Washington tersebut. "Presiden akan melihat voting ini dengan cermat dan meminta saya melaporkan kembali negara-negara yang bersuara menentang kami. Kami akan mencatat setiap negara dan setiap suara dalam isu ini," tulis Haley dalam surat tersebut dikutip kantor berita Reuters. Haley mengulangi seruan itu di Twitter. "AS akan mencatat nama-nama," tweet dia.
Sesuai resolusi 1950, sesi khusus darurat bisa dilakukan Majelis Umum PBB untuk mempertimbangkan satu masalah yang memberikan rekomendasi pada para anggota agar mengambil langkah kolektif jika Dewan Keamanan gagal bertindak. Sesi semacam ini hanya pernah digelar 10 kali dan terbaru adalah sidang pada 2009 untuk membahas pendudukan wilayah Yerusalem Timur dan Palestina. Pertemuan hari ini pun mengulang sesi tersebut.
Presiden AS Donald Trump mengubah beberapa dekade kebijakan AS dengan mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Langkah ini memicu kemarahan dari Palestina dan dunia, termasuk aliansi AS. Trump juga berencana memindahkan Kedutaan Besar (Kedubes) AS ke Yerusalem dari Tel Aviv. Draf resolusi PBB itu menyeru semua negara untuk tidak mendirikan misi diplomatik di Yerusalem.
Haley menyatakan, AS memveto resolusi itu untuk membela kedaulatan dan peran AS dalam proses perdamaian Timur Tengah. Dia mengkritik para anggota Dewan Keamanan PBB yang dianggap menghina dan memalukan Washington. Israel menganggap Yerusalem sebagai ibu kota abadi dan tak bisa dibagi dengan Palestina. Adapun Palestina ingin ibu kotanya berada di Yerusalem Timur.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri (Menlu) Turki Mevlut Cavusoglu menyatakan, dia akan ke New York bersama Menlu Palestina untuk menghadiri sidang Majelis Umum PBB terkait Yerusalem. "Kami ingin Amerika mundur dari keputusan salah dan tak dapat diterima ini. Tuhan ingin kita mendorong melalui Majelis Umum PBB resolusi yang mendukung Palestina dan Yerusalem," kata Menlu Turki Mevlut Cavusoglu saat konferensi pers bersama Menlu Iran dan Azeri di ibu kota Baku, Rabu (20/12/2017). Cavusoglu menjelaskan, dia akan pergi ke AS melalui Istanbul bersama Menlu Palestina Riyad al-Maliki.
Presiden Turki Tayyip Erdogan mengkritik tajam langkah Trump. Erdogan menggelar konferensi tingkat tinggi Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) yang menyerukan Yerusalem Timur diakui sebagai ibu kota Palestina. "Mulai sekarang kami akan lebih aktif dalam membela hak-hak rakyat Palestina. Kami akan bekerja lebih keras untuk pengakuan internasional kemerdekaan negara Palestina," kata Cavusoglu di Baku.
Adapun Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) PBB Zeid Ra'ad al-Hussein menyatakan, aksi brutal Israel yang membunuh seorang pria Palestina Ibrahim Abu Thurayeh yang cacat saat unjuk rasa menentang langkah Trump sangat tidak bisa dimengerti. Menurut Zeid, Abu Thurayeh yang berada di kursi roda itu ditembak kepalanya oleh pasukan Israel di dekat pagar perbatasan Israel pada Jumat (15/12/2017).
Meski demikian, Israel mengelak tidak tahu siapa yang membunuh Abu Thurayeh dan tidak ada peluru tajam diarahkan kepadanya. Zeid menegaskan, Abu Thurayeh bukan ancaman saat dia dibunuh secara brutal oleh tentara Israel. "Fakta-fakta yang dikumpulkan sejauh ini oleh staf saya di Gaza dengan kuat menunjukkan bahwa kekuatan yang digunakan terhadapnya itu berlebihan," katanya.
"Dengan kondisinya yang cacat parah, terlihat jelas bagi seseorang yang menembaknya, pembunuhan terhadapnya tak bisa dimengerti. Sungguh aksi yang mengejutkan dan ceroboh," kata pernyataan Zeid.
0 comments:
Post a Comment