JAKARTA – Semua elite politik diminta untuk saling menahan diri. 
Jangan kemudian mendorong lahirnya kegaduhan yang tak perlu. Aksi dukung
 mendukung calon presiden, harus mengedepankan cara yang mengedukasi 
warga, bukan memprovokasi publik dengan slogan-slogan yang bisa memicu 
reaksi dari pihak yang berlawanan.
“Untuk menghindari kegaduhan berkelanjutan, warga negara atau 
kelompok masyarakat diharapkan memilih diksi kampanye yang tidak 
memperkuat kebencian pada pasangan calon lain. Pemilihan presiden 
seharusnya jadi ajang kontestasi gagasan,” kata Ketua Setara Institut, 
Hendardi, di Jakarta, Senin (27/8).
Itu disampaikan menanggapi ricuhnya aksi deklarasi gerakan ganti 
presiden. Menurut Hendardi, mengekspresikan aspirasi, misal lewat unjuk 
rasa, memang dijamin oleh konstitusi. Namun dia berharap, aspirasi yang 
terkait pemilihan presiden tidak melahirkan kegaduhan.
Alasan Faktual 
Warga, kata Hendardi, harus disuguhi informasi alasan-alasan faktual 
untuk memilih atau tidak memilih seorang calon. Bukan diprovokasi dengan
 slogan yang tidak mencerdaskan. Aksi ganti presiden itu merupakan 
aspirasi politik warga negara yang disuarakan di ruang-ruang terbuka. 
Tujuannya untuk memengaruhi pilihan warga negara pada kontestasi politik
 pemilihan presiden 2019. “Secara normatif, aspirasi tersebut merupakan 
hal biasa saja, bahkan penyampaiannya di muka umum merupakan hak yang 
dijamin oleh konstitusi, karena UUD 1945 menjamin kebebasan berpendapat 
dan berkumpul,” katanya.
Hendardi melanjutkan pelarangan yang berlebihan atas aksi tersebut 
pada batas-batas tertentu bertentangan dengan semangat konstitusi dan 
demokrasi. Secara operasional hak untuk bebas berpendapat dan berkumpul 
dijamin dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU Nomor 9 Tahun 
1998 tentang Tata Cara Mengemukakan Pendapat di Muka Umum.
“Namun demikian, mengingat kebebasan berpendapat dan berkumpul 
merupakan hak yang bisa ditunda pemenuhannya (derogable rights), maka 
tindakan aparat keamanan yang melarang beberapa acara tersebut dapat 
dibenarkan,” kata Hendardi. Tapi dengan catatan, kata dia, jika 
betul-betul terdapat alasan objektif yang membenarkannya.
Alasan-alasan objektif dimaksud dapat berupa potensi instabilitas 
keamanan, potensi pelanggaran hukum, baik dalam terkait konten kampanye 
yang oleh beberapa pakar bisa dikualifikasi makar dan pelanggaran hukum 
pemilu. Khususnya larangan penyebaran kebencian dan permusuhan, maupun 
dalam konteks waktu kampanye. ags/N-3
 






 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
0 comments:
Post a Comment