JAKARTA - Bank Indonesia (BI) akhirnya menaikkan suku bunga acuan,
BI-7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR), sebesar 25 basis poin (bps) menjadi
6 persen. Kebijakan itu bertujuan agar defisit transaksi berjalan atau
current account deficit (CAD) tidak melebar.
BI memperkirakan sepanjang tahun ini CAD berada di bawah 3 persen
dari Produk Domestik Bruto (PDB). Proyeksi itu sudah memperhitungkan
posisi neraca perdagangan Oktober 2018 yang mengalami defisit cukup
tajam.
“Perkiraan kami, defisit transaksi berjalan] yang di bawah 3 persen
PDB itu sudah memperhitungkan neraca perdagangan yang hari ini diumumkan
defisit 1,82 miliar dollar AS.
Untuk tahun depan, diusahakan turun ke kisaran 2,5 persen PDB,” papar Gubernur BI, Perry Warjiyo, di Jakarta, Kamis (15/11).
Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada 14–15 November 2018 memutuskan
untuk menaikkan bunga acuan BI7DRR sebesar 25 bps menjadi 6 persen.
Dengan kenaikan itu, bunga acuan BI telah dikerek 175 bps sepanjang
tahun ini.
Ketika bunga acuan naik, diharapkan kurs rupiah bisa menguat sehingga
beban impor tidak terlalu mahal. Penurunan beban impor itu kemudian
diharapkan bisa menurunkan defisit transaksi berjalan.
“Dari pemerintah juga sudah banyak yang dilakukan dan ke depan akan
ada lagi kebijakan konkret untuk menurunkan defisit transaksi berjalan.
Namun, langkah- langkah yang ditempuh perlu waktu untuk bisa berdampak
kepada transaksi berjalan.
Perlu waktu,” tegas Gubernur BI. Indonesia mengalami defisit
transaksi berjalan sejak 2012. Data terakhir, CAD mencapai 3,37 persen
dari PDB pada kuartal III-2018.
“Dalam jangka pendek aliran modal asing, kondisi global, sedang
diliputi ketidakpastian. Oleh karena itu, BI dan pemerintah sepakat
menurunkan defisit transaksi berjalan tahun ini di bawah 3 persen dan
tahun depan sekitar 2,5 persen,” jelas Perry.
Bank sentral menilai membengkaknya CAD di kuartal III-2018 berdampak
negatif pada fundamental ekonomi Indonesia. Pengetatan likuiditas global
mendorong aliran modal asing kembali ke Amerika Serikat (AS).
Transaksi modal dan finansial yang kerap digunakan untuk membiayai CAD, tidak mampu membendung bengkaknya transaksi berjalan.
“Kenaikan suku bunga tersebut juga untuk memperkuat daya tarik aset
keuangan domestik dengan mengantisipasi kenaikan suku bunga global dalam
beberapa bulan ke depan,” tutur Perry.
Sementara itu, kenaikan bunga acuan BI memberikan sentimen positif
pada nilai tukar rupiah. Pada perdagangan di pasar spot, Kamis, mata
uang RI itu ditutup di posisi 14.665 rupiah per dollar AS, atau menguat
122 poin (0,82 persen) dari penutupan Rabu (14/11). Namun sepanjang
tahun ini (year-to-date/YTD), rupiah masih terdepresiasi 8,19 persen.
Menanggapi kenaikan bunga BI, Ekonom Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta, Achmad Ma’ruf, mengatakan keputusan bank sentral itu mesti
disikapi pemerintah dengan meningkatkan kegiatan ekspor dan investasi.
“Kenaikan bunga acuan untuk menaikkan daya tarik aset keuangan di
mata investor asing. Nah, dengan masuknya kembali dana asing mesti
dimanfaatkan untuk kegiatan produktif, seperti ekspor dan investasi,”
ujar dia.
Kinerja Perdagangan
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan neraca perdagangan Oktober
2018 mencatat defisit 1,82 miliar dollar AS. Selama Oktober 2018, ekspor
tumbuh 3,59 persen secara tahunan (year-on-year/ YoY) menjadi 15,80
miliar dollar AS,
sedangkan impor pada periode sama tumbuh lebih kencang yakni 23,66
persen mencapai 17,62 miliar dollar AS. Kepala BPS, Suhariyanto,
mengungkapkan impor migas memacu kenaikan tajam laju impor.“Karena ada peningkatan impor minyak mentah, hasil minyak dan gas,” kata Suhariyanto. Kinerja perdagangan Oktober 2018 itu bertolak belakang dengan surplus perdagangan 310 juta dollar AS pada September lalu.
Jika dihitung secara kumulatif, defisit perdagangan sepanjang 2018 ini sudah mencapai 5,55 miliar dollar AS. Menanggapi defisit perdagangan itu, ekonom Indef, Eko Listianto, mengatakan pengumuman BPS itu sudah diprediksi.
Menurut dia, kebutuhan dalam negeri Indonesia tinggi. Apalagi memasuki kuartal IV, pemerintah maupun swasta menggenjot kinerja. Namun, mayoritas konten berasal dari impor.
“Untuk momentum akhir tahun, libur Natal dan Tahun Baru, semua terjadi pada bulan-bulan ini. Implikasinya impor yang meningkat, namun ekspor tumbuh tipis sekali,” jelas Eko. bud/YK/WP
0 comments:
Post a Comment