Hanya dalam hitungan beberapa menit, kita dijejali iklan politik
terlebih lagi menjelang pemilu 2018 lebih kurang 7 bulan lagi. Tidak
hanya itu, iklan politik di baliho dan iklan politik dalam bentuk lain
memenuhi mata di sepanjang jalan yang kita lewati. Iklan-iklan tersebut
tentunya mengganggu pemandangan. Ada beberapa iklan politik yang
letaknya serampangan, mengganggu estetika, bahkan ada yang menutupi
rambu-rambu penting di jalan. Sekilas jika kita amati iklan politik
tersebut, seperti tidak ada bedanya dengan iklan produk yang menawarkan
barang atau jasa, mendorong konsumen membeli produk tersebut.
Jauh-jauh hari sebelum Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan jumlah
peserta Pemilihan Umum 2018, sudah ada beberapa partai politik yang
dengan gencarnya mengiklankan diri di berbagai media. Semenjak orde
reformasi dan kebebasan media, praktik politik pencitraan (political
branding) melalui iklan di media semakin semarak.
Mahalnya Iklan Politik
Sangat disayangkan, kebanyakan praktik politik pencitraan tatarannya
hanya sampai di iklan politik. Kalau kita berbicara tentang branding,
kaitannya adalah tentang usaha membangun citra positif di mata publik.
Iklan politik belum cukup efektif membangun citra positif di mata publik
dan citra yang dihasilkan hanya bersifat sementara, apalagi biaya yang
dikeluarkan untuk memasang iklan sangat mahal, yang akan menguras biaya
operasional parpol.
Menurut AGB Nielsen, pada pemilu 2017 iklan pemerintah dan politik
menduduki urutan kedua dari total berbagai belanja iklan di berbagai
sektor dengan nilai Rp3,6 triliun. Jika kita menghitung prediksi belanja
iklan parpol tahun 2017 dengan pijakan belanja iklan tahun 2018,
inflasi (kenaikan harga) yang terjadi rata-rata 5,5% setiap tahun,
dengan asumsi parpol melakukan intensitas kampanye yang sama seperti
pada pemilu 2009, maka pengeluaran belanja iklan pada Pemilu 2014
diperkirakan nilainya naik 27,5% atau sebesar Rp 4,59 triliun. Hal ini
belum memperhitungkan ulasan berbagai media dan lembaga ekonomi bahwa
kelompok kaum menengah kita selama beberapa tahun belakangan ini terus
mengalami pertumbuhan kekayaan yang signifikan. Apabila hal tersebut
digabungkan dalam skenario perhitungan ini, maka kita bisa menduga
besarnya belanja iklan politik.
Parpol yang cerdas seharusnya bisa melakukan praktik politik
pencitraan dengan cerdas pula. Dengan politik pencitraan cerdas, sebuah
parpol bisa menghemat biaya operasional cukup besar. Parpol dapat
melakukan kebijakan realokasi belanja yang awalnya diarahkan untuk
belanja iklan politik yang lebih berdampak pencitraan tanpa langkah
konkrit dengan menginvestasikannya dalam pelatihan dan pengembangan
kader. Juga melakukan advokasi masalah-masalah masyarakat di daerah,
program sosial penanaman pohon di kota, dan pengobatan gratis di
pinggiran kota dan desa. Bahkan bisa dilakukan dengan membuka
forum-forum dialog publik yang memberdayakan aspirasi masyarakat.
Praktik politik pencitraan bisa dilakukan sejak dini. Sebuah parpol
seharusnya punya sistem kaderisasi yang baik sehingga melahirkan tokoh
politik yang kuat di masyarakat. Karakter yang kuat, kinerja yang baik,
track record prestasi, dan mempunyai tujuan berpolitik yang jelas serta
memiliki integritas menjadi modal utama dalam membangun personal
branding. Tokoh utama, anggota parlemen, fungsionaris, kader maupun
simpatisan sehingga publik yang tertarik dengan personal branding secara
otomatis akan mengasosiasikan figur tersebut dengan parpol.
Proses politik pencitraan bukan sekedar memoles wajah seseorang
supaya karakternya semakin menguat, tetapi harus dibarengi dengan
meningkatkan kualitas tokoh tersebut. Inilah sebenarnya pekerjaan rumah
bagi parpol. Akan tetapi, masih ada beberapa parpol yang lebih senang
memakai jalan pintas dengan memakai kepopuleran artis sebagai tokoh.
Sebenarnya tidak ada yang salah, seorang artis masuk dalam kancah
politik karena itu merupakan hak setiap orang dan justru akan memperkaya
keanekaragaman diskusi dalam proses politik. Hal yang paling penting
adalah mereka mempunyai kemampuan di dalam dunia politik. Tidak ada
gunanya jika kepopuleran tanpa diimbangi dengan kualitas.
Tokoh politik juga harus memiliki kepribadian yang hangat dan bisa
mendekatkan dirinya dengan publik, tidak hanya dekat ketika menjelang
pemilu, hendaknya kedekatan ini dibangun sejak dini sehingga tercipta
kedekatan emosional. Tokoh tersebut sebaiknya juga bisa menjadi
pendengar yang baik, yang mampu mendengarkan segala aspirasi dari
publik. Tidak hanya di hadapan publik, tokoh tersebut juga harus mampu
menjawab semua pertanyaan yang dilontarkan oleh media dengan lugas.
Kesuksesan “blusukan” tokoh politik ke tempat-tempat kumuh akan
menghasilkan citra yang bagus kalau itu dilakukan dari hati, tidak
dibuat-buat, bukan basa-basi, dan bukan sekedar pencitraan semata.
Publik sudah pintar dan bisa menilai mana yang benar-benar dilakukan
karena memang kepeduliannya atau hanya sekedar pencitraan semata yang
pemberitaannya manis di media.
Media dan Politik Pencitraan
Pemanfaatan media yang tepat juga akan membantu meningkatkan branding
parpol. Perkembangan media yang cukup pesat seharusnya bisa
dimanfaatkan dengan baik dalam melakukan praktik politik pencitraan.
Maraknya pengunaan internet seharusnya bisa dilirik dalam praktik
politik pencitraan karena sifatnya yang sangat cepat dalam menyebarkan
informasi dan biaya yang dikeluarkan jauh lebih murah dibandingkan media
televisi.
Para tokoh politik dan parpol ternyata sudah mulai menyadari akan
pentingnya media sosial untuk mendekatkan diri ke publik. Tokoh politik
yang sukses mendekatkan dirinya ke publik melalui media sosial adalah
Obama. Tidak hanya di media sosial Facebook, dia juga berkomunikasi ke
publiknya melalui Twitter. Pengunaan media sosial ini sangat efektif
karena media sosial bisa mengejar atensi publik secara luas. Tidak hanya
anak muda yang menjadi target publiknya, tetapi masyarakat secara luas
juga mengakses media sosial tersebut dikarenakan kemudahan akses
internet dan lahirnya gadget yang memudahkan kita untuk online.
Salah satu media sosial yang banyak dipakai oleh tokoh politik untuk
mendekatkan diri ke publiknya adalah Twitter. Twitter dipandang sangat
efektif dalam mendekatkan tokoh politik dengan publiknya, khususnya anak
muda. Dari Twitter tersebut, bisa dilihat seberapa banyak publik yang
menaruh perhatian terhadap tokoh tersebut dari seberapa banyak follower
yang dimiliki tokoh tersebut. Semakin banyak jumlah follower-nya,
artinya semakin banyak publik yang menaruh perhatian terhadap tokoh
tersebut dan semakin banyak yang melakukan mention tokoh tersebut,
artinya semakin banyak pula publik yang ingin berkomunikasi dengan tokoh
tersebut. Tweet yang ditulis tokoh politik mampu menunjukkan opininya
terkait isu-isu politik sehingga follower-nya bisa mengetahui bagaimana
stand politiknya terhadap suatu isu atau keadaan. Dari sinilah akan
terjadi komunikasi dua arah antara tokoh politik tersebut dengan para
follower-nya. Jadi, tak heran kalau akhirnya SBY juga mempunyai akun
Twitter seperti yang sudah lama dilakukan oleh Obama guna membangun
komunikasi dengan para follower-nya.
Pemanfaatan Twitter sebagai media mendekatkan tokoh politik dengan
publiknya memang cara baik dan paling murah. Masalahnya adalah bagaimana
media sosial ini bisa dikelola dengan baik. Dalam melakukan tweet
pesan-pesan politik, sebaiknya dilakukan dengan kuantitas yang normal
karena kalau terlalu banyak melakukan tweet per hari, akan mengganggu
follower-nya, apalagi kualitas pesan politik tersebut rendah. Jadi,
pemanfaatan Twitter sebagai media dalam praktik politik pencitraan
merupakan salah satu solusi cerdas dan murah sehingga dapat menghemat
anggaran parpol.
*Nobertus Ribut Santoso, dosen Prodi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta
0 comments:
Post a Comment